x

Iklan

Gendur Sudarsono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penyebab Pidato Gubernur Anies Soal Pribumi Bikin Geger

Jika warga Ibu Kota terbelah lagi justru menyulitkan Anies Baswedan melaksanakan program.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Anies Baswaden sebaiknya mengklarifikasi  isi pidato usai ia dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 16 Oktober 2017.  Ucapan dia soal  ‘pribumi’  memantik reaksi di media sosial dan berpotensi mementahkan rekonsiliasi  warga Ibu Kota yang terbelah selama proses pemilihan gubernur.

Klarifikasi perlu lantaran kata ‘pribumi’ menimbulkan multitafsir.  Anies menyebut istilah itu  berkaitan dengan zaman penjajahan, tapi kemudian juga menghubungkannya dengan keadaan sekarang. Ini bisa kita lihat dari paragraf yang menyingung soal pribumi yang diambil dari salinan transkip  pidatonya yang beredar dan pidato asli yang dimuat di Youtube.

“….Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya. Kita semua,  pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai terjadi di Jakarta ini apa yang dituliskan dalam pepatah Madura, “Itik se atellor, ajam se ngeremme.” Itik yang bertelur, ayam yang mengerami.  Kita yang bekerja keras merebut kemerdekaan,  kita semua yang bekerja keras  mengusir kolonial, kita yang merasakan manfaat kemerdekaan di Ibu Kota ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konteks 'pribumi' menjadi berbeda setelah disusul kalimat lain: “ Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri…..”.  Ungkapan "Itik bertelur, ayam yang mengerami" juga perlu diperjelas maksudnya agar tidak menimbulkan kontroversi.

Tak Konsisten

Alinea yang bermuatan kata ‘pribumi’ sebetulnya bertabrakan dengan  paragraf  sebelumnya.  Pada  bagian sebelumnya Anies justru menyingung soal melting pot—konsep yang biasa dipakai buat menggambarkan kemajemukan penduduk Amerika Serikat.  Negara Amerika kuat karena melting pot.  Indonesia juga memiliki konsep serupa : Bhineka Tunggal Ika. 

Anies menggambarkan Jakarta sebagai melting pot seperti ini:Sejak era Sunda Kalapa, Jayakarta, Batavia hingga kini, Jakarta adalah kisah pergerakan peradaban manusia. Jakarta sebagai melting pot telah menjadi tradisi sejak lama. Di sini tempat berkumpulnya manusia dari penjuru Nusantara, dan penjuru dunia. Jakarta tumbuh dan hidup dari interaksi antar manusia.”

Soal Pribumi dalam Konsitusi

Undang-undang Dasar 1945 pernah mencantumkan  syarat presiden  dengan istilah yang mirip dengan kata pribumi. Syarat itu  dituangkan dalam Pasal 6 UUD 1945: Presiden adalah orang Indonesia asli.

Di zaman  reformasi pasal itu  telah diubah lewat amandemen keempat menjadi:  Calon  Presiden  dan  calon  Wakil  Presiden  harus  seorang  warga  negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.

Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamendemen pun telah menjunjung tinggi  persamaaan hak warga negara.   Hal ini diatur dalam  Pasal 27 Ayat 1  berbunyi: Segala  warga  negara  bersamaan  kedudukannya  di  dalam  hukum  dan  pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.  Adapun pada Pasal 27 Ayat 2 dinyatakan:Tiap­-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Dalam  amandemen kedua UUD yang 1945, soal persaman hak itu ditegaskan lagi dalam Pasal 28D Ayat 3: Setiap  warga  negara  berhak  memperoleh  kesempatan  yang  sama  dalam pemerintahan.

Konsitusi yang sudah diamanden juga amat melindungi hak asasi manusia, yang berlaku bukan hanya bagi warga negara tapi bagi setiap orang. Perlindungan hak asasi itu-- mulai dari kebebasan beribadah, beragama hingga  bebas  dari diskrimasi--diatur lengkap pada  Pasal 281 hingga Pasal 28J.

Instruksi  Presiden Habibie

Presiden  BJ Habibie telah menerbitkan Inpres No.26/1998 tentang  Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi pada 16 September 1998. Perintah yang ditujukan kepada seluruh pejabat pemerintah pusat dan daerah berisi antara lain:

Pertama, menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan kebijakan, dan kegiatan pemerintahan.

Kedua, memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh warga negara Indonesia dalam penyelenggaraan layanan pemerintahan. Tak ada pembedaan dalam segala bentuk, sifat serta tingkatan kepada warga negara Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras maupun asal-usul.

Ketiga, meninjau kembali dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan, kebijakan, program agar sesuai dengan instruksi Presiden itu.

Itulah pentingnya Gubernur Anies menjelaskan lagi isi pidato nya yang menyangkut “pribumi” agar tidak menimbulkan keresahan sosial. Jangan sampai pula warga Ibu Kota terbelah lag dan malah menyulitkan  Anies melaksanakan programnya.*

Baca juga: Pak Anies, Pejabat Daerah Tak Bisa Diistimewakan di Jalan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Gendur Sudarsono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler