x

Iklan

Sari Novita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Film My Generation Angkat Persoalan Hidup Era Global

sebuat opini tentang kemunculan film ini yang sebenernya masalah terjadi pada generasi z tjuga terjadi pada generasi lainnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Film “My Generation” produksi IFI Sinema mulai ramai kemunculannya di status-status akun social media. Film yang disutradarai Upi Avianto, mengangkat problema anak-anak milenial yang kerap disebut “kids zaman now”. Sebutan tersebut menjadi hits dan sempat membuat saya bertanya, “ada apa dengan generasi zaman sekarang, bukankah setiap orang punya keunikan, kelebihan dan kekurangan sendiri tanpa harus membawa tahun kelahiran?”

Ditambah, persoalan anak atau remaja yang selalu dikaitkan dengan pola asuh orang tua yang katanya masih keras mengutamakan keinginannya daripada keinginan anaknya. Anak-anak generasi Z berarti dilahirkan dari orang tua yang usianya tidak jauh dari saya. Melihat teman-teman saya dengan anak-anaknya, tidak terlihat sikap monopoli, berkuasa atas kehendak, malah saling terbuka dan menghargai. Tapi kita tidak pernah tahu kepala dan hati manusia yang sebenarnya atau yang terjadi di luar lingkungan kita. Meski, saya juga menangkap beberapa teman saya yang punya kekhawatiran berlebihan. Bahkan, ada yang selalu menyiapkan buku-buku pelajaran ke dalam tas anaknya. Bagi saya ini justru memanjakan sekaligus menguatkan “label manja” kepada generasi ini­­—meski ada akar permasalahan yang  memicu mereka berperilaku seperti itu.

Ada lagi yang tidur sekamar dengan anak-anaknya, dan kamar tidur dijadikan hanya satu, padahal ada ruang tidur lainnya, entah apa alasannya. Sejak kecil saya selalu senang berbicara dengan orang berusia yang jauh dari saya, mereka bilang dari bayi, seorang anak harus punya kamar dan tidur sendiri dan diajarkan mandiri. Barangkali budaya orang dulu bertentangan dengan era masa kini. Barangkali…

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika saya membaca sinopsis film “My Generation”, menemukan tokoh Konji yang mempunya orang tua over protective dan tokoh Orly yang ibunya single parent yang berpacaran dengan pria berusia jauh lebih muda. Kedua tokoh tersebut bersangkutpaut dengan apa yang saya lihat dan rasakan.

 

Sinopsis My Generation

Empat sahabat, Konji, Orly, Zake, dan Suki, gagal melakukan perjalanan karena  video yang mereka menjadi viral di sekolah mereka. Bukan soal viral yang menjadi masalah namun video yang memuat protes terhadap guru, sekolah, dan orang tua. Lantas, mereka mendapatkan hukuman tidak diperbolehkan pergi liburan.

Namun, peristiwa itu membawa mereka pada kejadian-kejadian dan petualangan yang berarti dalam kehidupan mereka. Keempat tokoh tersebut mempunyai karakter dan konflik yang berbeda.

Orly. Remaja SMA yang punya prinsip, kritis, dan pintar, dan tertarik terhadap kesetaraan gender yang dia lihat selama ini. Orly berupaya mendobrak label negative pada perempuan, contohnya mengenai keperawanan. Dia juga mempunyai seorang Ibu yang single parent dan berpacaran dengan pria lebih muda. Baginya, gaya hidup sang Ibu tidak sesuai dengan umurnya.

Suki. Memiliki krisis kepercayaan diri. Masalah ini semakin berkembang seiring sikap orang tuanya yang selalu berpikiran negatif padanya.

Zeke. Di dalamnya dirinya terdapat “rebel” namun easy going dan loyal terhadap sahabat-sahabatnya. Memendam masalah dan luka yang besar—dia merasa orang tuanya tidak menginginkan keberadaanya. Untuk menyembuhkan luka, Zeke berusaha berani membuka komunikasi yang selama ini terputus.

Konji. Remaja yang lugu dan naif. Merasa dilemma dalam masa pubertasnya dan ditekan oleh orang tuanya yang kolot dan overprotective. Suatu hari muncul peristiwa yang membuatnya terkejut, kemudian dia menjadi kehilangan kepercayaan pada orang tuanya. Konji membalikkan moralitas orang tuanya yang kontradiktif dengan aturan dan tuntuan mereka kepadanya.

 

Generasi yang Hidup Pada  Era Milenial

 

Kini, manusia segala usia dan generasi tidak lepas dari gadget atau social media. Uniknya, Generasi Z memiliki respon yang lebih  cepat dan intuisi [anggap saja begitu] terhadap dunia digital. Setiap harinya mereka meng-share aktifitas di akun personal, tidak berbeda dengan generasi sebelumnya, kan? Sharing berbagai hal tanpa mengenal privacy menjadi social culture yang di baliknya ada sebab, ada akibat.

Berbagai informasi masuk dari mana-mana, menumpuk atau berceceran, kadang menjadi membingungkan. Seperti halnya sejarah yang kerap bikin gamam—resah mencari mana yang benar atau salah. Bukan generasi Z saja yang kedatangan informasi yang membeludak dan berbahagia mendapatkan pengetahuan yang dicarinya. Pun, Upi meriset untuk filmnya langsung memantau dan berinteraksi di social media, bahkan menggunakan  beberapa dialog generasi z ke dalam filmnya. Bagi saya ini bukanlah hal yang stunning. Sebab, semua orang melakukan ke-kepo-an dengan berbagai tujuan.

Dari sisi experience atau review,  saya melihat kecenderungan generasi Z lebih menyukai pengalaman berasal dari teman-temannya atau influencer yang terpercaya—bukan berdasarkan “bayaran” brand. Dan ini juga terjadi pada generasi lainnya.

Melihat sudut lain, share aktivitas atau informasi kepada teman-teman atau follower-nya memicu timbulnya komunitas-komunitas atau grup. Bagi saya ini hal yang positif, kreativitas, keinginan, dan mimpi bisa dituangkan ke dalam ruang dan menjadi nyata. Keterikatan dan komitmen personal-personal menjadi kuat, hingga komitmen tak lagi pribadi tapi bersama. Tapi ini juga tidak bisa disamaratakan, tergantung dari individunya. Identitas, termasuk krisis kepercayaan diri, yang kerap menjadi problema remaja dapat terkikis melalui komunitas. Tentu dukungan dari orang tua atau orang-orang terdekat harus ada. Namun, saya memantau, kadang respon atau atensi yang besar diperoleh dari postingannya di social media bisa memengaruhi psikis secara positif maupun negatif. Lagi, perihal ini tidak menyerang anak muda saja, tapi juga orang tua.

Tentang orang tua zaman now yang over protective atau apa pun, opini saya [lagi] ini juga terjadi pada orang tua zaman dulu. Soal moralitas, saya lebih memilih bertanya dan merenungkan kepada diri sendiri. Bisa saja banyak mengatakan kids zaman now lebih sulit menjalani hidupnya pada era globalisasi. Kemanusiaan dan budaya tergeser oleh kemajuan teknologi tanpa disadari. Moralitas orang tua yang tidak sesuai, membuat anak kehilangan kepercayaan bahkan respect terhadap orang tuanya.

I don’t know, tapi pikiran saya [lagi] semua generasi yang hidup pada era ini merasa lebih berat dan mendapatkan tuntutan yang lebih banyak dalam menjalani hidup. Teknologi, zaman, atau generasi yang salah?  Atau kekuasaan pusat yang salah?

Zaman berubah, begitu pula manusia, yang mampu saya lakukan saat ini adalah beradaptasi, belajar, ikhlas, berinteraksi langsung dengan manusia dan kegiatan secara offline, berupaya menyayangi Alam dan terus berbicara pada Tuhan. Silahkan bilang saya lagi mengajari orang, yang saya tahu jika cinta itu ada, otomatis saling menghargai dan mengerti itu ada. Keseimbangan antara manusia dan manusia, manusia dan Alam, manusia dan Tuhan, dan manusia dan hidup, itu pasti muncul dan wanginya harum semerbak. Saya pun masih belajar. Hidup dalam konteks ini adalah soal latihan, soal belajar.

Saya rasa sutradara My Generation, Upi tidak berbeda dengan saya atau sebagian orang. Realitas memang menggigit tapi bagaimana manusia membuka pikiran dan rasanya terhadap gigitan kehidupan. Bagi saya [lagi] film ini punya pesan yang baik, mengajak orang tua, remaja, generasi Z, dan ragam manusia lainnya untuk “bekerja sama” dalam keharmonisan hidup. Film My Generation bakal tayang di bioskop pada tanggal 9 November 2017.

Sekian. 

Ikuti tulisan menarik Sari Novita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler