Tradisi Syura Sebagai Penguat Demokrasi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Syura merupakan bagian dari tradisi Islam yang dapat memperkuat kehidupan berdemokrasi.

Pendahuluan : Budaya Syura dan Demokrasi

Demokrasi sebagai sebuah sistem politik, mengindikasi peran masyarakat dalam sebuah penyelesaian permasalahan dalam masyarakat seperti permasalahan ekonomi, politik, hukum et cetera. Peran ini memungkinkan masyarakat berjalan dengan lebih efesien dengan pemerintahan yang lebih responsif dalam menjalankan pemerintahannya. Robert Putnam menjelaskan demokrasi sebagai sebuah proses yang membutuhkan sebuah kebudayaan kebajikan masyarakat (Civic Virtue) didasarkan solidaritas masyarakat untuk membangun Institusi demokratis yang berjalan dengan baik (Working Democracy)[1]. Tradisi demokrasi barat dapat ditemukan di negara-kota Athena pada abad sebelum masehi serta perkembangan tradisi demokrasi pada abad pencerahan.

Islam sebagai sebuah agama peradaban, memiliki akar-akar kebudayaan masyarakat tersebut dalam sebuah tema kajian yaitu, Syura. Dalam kajian Munawir Syajali, ia menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang dibangun oleh Nabi Muhammad adalah sebuah pemerintahan Teo-demokrasi yang memiliki nilai-nilai demokrasi seperti persamaan, kebebasan dan keadilan namun didasarkan oleh nilai-nilai ketuhanan[2]. Sejarah kepemimpinan pemerintahan Nabi Muhammmad menunjukan masyarakat yang aktif dalam permasalahan publik dengan melakukan Syura yang menjadi alasan pemerintahan Nabi yang responsif dan efesien. Selain itu, Kewajiban bermusyawarah termaktub dalam Quran Surah Ali-Imran [3]: 159 dan Asy-Syura [42]: 38.

Syura sering kali dipahami oleh orientalis, seperti Bernard Lewis, sebagai ‘konsultasi’. Pemimpin Dinasti Islam kepada para orang-orang terpercaya. Ia menjelaskan pada masa dinasti-dinasti Islam, Syura dijadikan syarat legitimasi sebuah kekuasan Islam. Syura juga digunakan untuk usaha konsultasi para Khalifah untuk memutuskaan sebuah perkara yang membutuhkan keahlian. Seperti, ketika para konsultan dari Persia banyak mengurusi kebijakan khalifah yang membutuhkan kemampuan menejerial.[3] Hal ini dikarenakan orang-orang keturunan persia memiliki sejarah kemampuan mengurusi pemerintahan pada masa kekuasaan Imperium Persia.

Padahal paham dari Syura jauh dari anggapan tersebut. Makna dari Syura memiliki kekuatan yuridis Islam dengan nasihat dari yang diminta maupun sebaliknya. Al-quran menjelaskan dalam setiap pengambilan keputusan harus dijalankan melalui Syura. Proses Syura merupakan kewajiban dalam pelaksanaan tata negara Islam, bukan sebagai sebuah alat dari suatu kekuasaan politik.

Pandangan lainnya, seperti Taufiq Muhammah Asy-Syawi mengatakan bahwa Syura dan demokrasi sangat berbeda. Pandangan ini dikarenakan landasan prinsip demokrasi yang tidak memiliki dasar ketuhanan.[4] Sedangkan Syura dilandaskan asas ketuhanan ilahiah sehingga setiap kebijakan pemerintahan dan masyarakat yang melakukan Ijtihad Syura harus memiliki dasar-dasar Islam. Pandangan ini lahir dari kenyataan bahwa demokrasi banyak yang tidak berjalan dengan baik di dunia.

 Oleh karena itu, tulisan ini berusaha kembali mempertanyakan konsep Syura dalam kajian politik serta relevansinya dengan sistem politik demokrasi.

Konsep Syura

Secara etimologis kata Syura berasal dari bahasa Arab yaitu kata Sya-wa-ra yang berarti mengeluarkan  madu dari sarang lebah.[5] Kata Syura berasal dari bahasa Arab yaitu kata Syara yang berarti mengambil. kata Syura artinya mengambil sesuatu dari tempatnya, yakni dari seseorang yang memang pantas diambil pendapatnya.[6] menurut Taufiq Muhammah Asy-Syawi, Syura dapat diartikan menjadi 2 yaitu Masyurah (memberi pendapat) dan Istisyarah (meminta pendapat).

Kata Syura dalam bahasa Arab berarti menjaring ide-ide terbaik dengan mengumpulkan sejumlah orang yang diasumsikan memiliki akal, argumentasi, pengalaman, kecanggihan pendapat, dan persyaratan lainnya. Kata tersebut tidak merujuk pada jumlah perolehan mayoritas suara atau keputusan lewat pemungutan suara. Namun, dalam pemahaman Farid Abdul Khaliq, ia mengatakan Syura memiliki dalam permasalahan pada keputusan yang bersifat mayoritas dan minoritas. Ia mengatakan bahwa Syura memiliki prinsip Mayoritas seperti yang dia tulis yaitu;

“Tidak diragukan lagi bahwa hukum mayoritas adalah salah satu hasil prinsip Musyawarah dalam perkara-perkara yang termasuk adat—bukan akidah dan ibadah—“[7]

Hal ini ia temukan dalam sejarah Perang Uhud, dimana Nabi mengalami kekalahan karena mengikuti hasil Syura mayoritas pendapat sahabat-sahabat Nabi dalam hal taktik perang. Namun hal ini merupakan hal yang baik karena dapat mendidik mereka unutk selalu melakukan Syura. Walaupun Mayoritas belum pasti benar, tapi bukan berarti harus ditinggalkan. Farid mengatakan;

“Biasanya, orang banyak (Publik) lebih jauh dari kesalahan di banding perorangan, dan bahaya menyerahkan perkara umat kepada satu orang saja akan lebih  besar dan Dahsyat”[8]

Tidak diragukan lagi bahwa hukum mayoritas adalah salah satu prinsip musyawarah dalam perkara-perakara yang termasuk adat-adat. seperti permasalahan politik dan kemahsalahatan umum yang memiliki beragam sudut padang ijtihad. Dalam hal ini, prinsip yang di anut bukan mayoritas dan minoritas yang ada adalah jumhur (Publik), apa yang diambil mayoritas harus diambil minortias.

Selanjutnya Taufiq Muhammah Asy-Syawi menjelaskan, Asas Syura dalam arti Universal adalah eksistensi jamaah, hak-hak dan pertanggungjawabannya diambil dari solidaritas seluruh individu sebagai bagiannya.[9] Dengan kata lain, setiap orang bertanggung jawab atas keputusan yang dicapai dengan hak dan kebebasan dalam menentang pendapat dan mendiskusikannya. Kebebasan dalam menentang pendapat dan mendiskusikannya merupakan bagian dari fitrah manusia.[10] namun, pada akhirnya ia harus ikut dalam keputusan jamaah Syura. Selain itu secara kesejarahan, syura merupakan tradisi pra-Islam yang dipertahankan karena merupakan bagian dari kodratnya sebagai mahluk sosial. hanya saja Al-Quran mengubah landasan institusi kesukuan dan hubungan darah menjadi hubungan keimanan.

Syura merupakan bagian integral dari Islam dan pada prinsip musyawarah yang mencangkup semua lingkungan kehidupan umum. Penjelasan Al-Quran tidak hanya selesai pada proses pengambilan kebijakan pemerintahan, namun ia hidup dalam kehidupan sehari-hari seseorang yaitu urusan dunia. Ia berbicara tentang hubungan keluarga, bisnis, majikan dan pekerja dan sebagainya.

Merujuk pengertian yang telah ada, maka Syura adalah meminta atau memberi pendapat orang-orang berpengalaman pada suatu perkara untuk mencapai pendapat yang lebih mendekati kebenaran dengan solidaritas.

Fakhrudin Ar-razi dalam Tafsir al-kabir, yang dikutip Waryono Abdul Ghofur mengatakan pengertian Syura merupakan bentuk penghargaan terhadap orang lain dan menghilangkan pandangan paternalistik.[11] Selain itu, dampak baik dari Rasul mengajarkan musyawarah dalam kehidupan sehari-hari, Menghilangkan buruk sangka, Mengeliminasi beban psikologis kesalahan yang disebabkan oleh mayoritas karena dibebankan kepada tanggung jawab bersama.[12]

Syura tidak mungkin dilakukan oleh seluruh rakyat, maka musyawarah dilakukan  antara satu kelompok yang mewakili rakyat dan pendapat mereka sama dengan pendapat keseluruhan individu rakyat karena orang-orang dalam kelompok itu tahu dengan kemahsalahatan umum. Hukum musyawarah menjadi fardu kifayah bagi umat, Hukum musyawarah menjadi fardu ain bagi ahlul ahli (wakil rakyat)

Hal ini dapat jika dilakukan dapat menciptakan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi, pemerintahan, serta masyarakat. sebagai dalam teori kajian modal sosial Robert Putnam hal ini dapat berdampak pada berjalannya suatu pemerintahan.

Refleksi terhadap Syura dan Demokrasi

Kebudayaan Syura yang ada dalam masyarakat Islam merupakan sebuah langkah awal untuk membangun pemerintahan yang berjalan dengan baik. Syura merupakan bagian dari kewajiban dari umat muslim oleh karena itu ia mengindikasikan sebuah pelaksanaan masyarakat yang didasarkan solidaritas (Ukhwuwah Islamiyah). Selain itu, kebebasan dalam berpendapat dalam sebuah permasalahan umat membuat potensi pendidikan bagi masyarakat untuk sadar dan berpartisipasi aktif membangun negara dan Syura mengganjurkan sebuah kebebasan yang beretika Islam ketika berpendapat.

Dalam masyarakat demokrasi hari ini, solidaritas merupakan hal yang langka ketika terjebak dalam masyarakat Post-Industry yang lebih bersifat Individualis. Emile Durkheim dalam bukunya Suicide menjelaskan hal ini. Beberapa pemberitaaan di Indonesia juga menunjukan kebebasan berpendapat yang berlebihan yang menyebabkan permusuhan. Ditambah pembatasan dalam berpendapat serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam ikut berpendapat membuat pendidikan politik rendah, sehingga membentuk masyarakat komsumtif terhadap isu-isu masyarakat, bukannya produktif dalam menanggapi permasalahan masyarakat.

Perkembangan sejarah Syura memiliki cara yang berbeda-beda dalam pelaksanaanya sesuai konteks kesejarahan. Dalam dinasti-dinasti Islam, Syura dipegang oleh Institusi kenegaraan yang mewakili (Ahlul ahli). Dalam masyarakat Pra-Islam, Syura dilakukan dalam tingkat kesukuan, pada masa Kenabian dan Khulafa Rasyidun, dimulai sebuah Syura yang terbuka pada setiap orang untuk berpendapat, namun dengan tetap mempertimbangkan keputusan Nabi dan Khalifah. selain itu, titik balik sejarah usaha Syura masyarakat terjadi pada tahun 2011 ketika munculnya Arab Spring. Gelombang demokrasi ini mungkin merupakan sebuah usaha munculnya kembali tradisi Syura yang disesuaikan dengan konteks Modern. Dengan ini arti dari nilai syura dan kemodernan, syura bisa dikatakan juga sebagai sebuah prinsip demokrasi.[13]

Sebagai sebuah realitas, Demokrasi merupakan sistem politik yang membutuhkan kebudayaan civic virtue untuk dapat berjalan baik. Syura merupakan warisan budaya Islam sebagai agama peradaban yang dapat menjadi katalisator dari berjalannya sebuah pemerintahan yang baik. namun, penolakan terhadap konsep demokrasi ini sering kali dibenturkan dengan anggapan bahwa demokrasi tidak sesuai dengan Islam karena merupakan produk barat. Ditambah melihat kinerja demokrasi di beberapa negara muslim, seperti Mesir dan Iran, tidak berjalan memuaskan. Penolakan ditambah dikarenakan adanya anggapan bahwa demokrasi didasarkan pada daulat Rakyat, bukan daulah ketuhanan yang banyak ditolak oleh umat Islam. Padahal demokrasi Indonesia didasari oleh dasar ketuhanan yang maha esa yang merupakan dasar ilahiah.

Padahal Syura selalu memenuhi prinsip demokrasi yang bebas, setara, dan dengan solidaritas (Liberte, Egalite, Fraternite). Konsep demokrasi yang menggunakan prinsip mayoritas juga dipenuhi oleh Syura yang mengutamakan hal tersebut. Lembaga perwakilan yang mewakili masyarakat juga dipenuhi oleh prinsip Syura. Jadi, pada tahap ini seharusnya tidak ada permasalahan dalam konsep Syura dan demokrasi.

Perubahan tatacara Syura yang menjadi variasi dalam kesejarahan adalah hasil kontekstualisasi dengan kebutuhan masyarakat. variasi ini berubah dari syura kesukuan, lalu dipegang oleh institusi khusus, dan menjadi bagian dari demokrasi. kebutuhan masyarakat dipenuhi penyelesaian maslah secara bersama yang menjadi bagian dari kodratnya sebagai manusia. selain itu, Syura memiliki banyak keuntungan dalam masyarakat seperti Menghilangkan buruk sangka, Mengeliminasi beban psikologis kesalahan yang disebabkan oleh mayoritas karena dibebankan kepada tanggung jawab bersama. sehingga Syura merupakan hal yang bersifat prinsipil dalam kehidupan bermasyarakat.



[1] Robert Putnam. Making Democracy Work: Civil Tradition in Modern Italy, (Princeton: Princeton University Press, 1993), hlm. xii.

[2]  Munawir Syadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press), hlm, 15-19.

[3] Bernard Lewis, et.al. Islam Liberalisme Demokrasi, Terj. Mun?im A. Sirry, (Jakarta Selatan: Paramadina, 2002), hlm. 183-184.

[4]  Taufik Muhammad Asy-Syawi, Syura bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani, 1997), hlm. 19.

[5]  Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media, 2014), hlm. 214.

[6]  Muhammad Abed Al-Jabiri, Syura, ( yogyakarta: Lkis,  2003), hlm. 26.

[7]  Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), hlm, 97.

[8]  Ibid. hlm. 99-100.

[9]  Taufik Muhammad Asy-Syawi, Syura bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani, 1997), hlm. 20.

[10] Ibid. hlm. 22.

[11] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media, 2014), hlm. 219.

[12] Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi; Analisa Konseptual Aplikatif Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam, (Jakarta Selatan: Gaya Media Pertama, 2001), hlm. 201.

[13] John Cooper, dkk, Islam dan Kemodenan: Pandangan Intelektual Islam, (Kuala Lumpur: Smart Print Stationers Sdn, 2009), hal, 142.

 

Sumber Foto:

http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2010/10/30/11320/prinsip-islam-50-kewajiban-syura-di-dalam-masyarakat-muslim/

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indra Surya Ramadhan

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Tradisi Syura Sebagai Penguat Demokrasi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler