Nalar Syariah dan Gugatan 'Qanun Jinayat' Aceh
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBagi saya, syariat merupakan sebuah “produk hukum” Islam yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang-surut
Menarik melihat ada sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Qanun Jinayat yang meminta pemerintah meninjau ulang Perda Syariat Islam di Aceh soal beberapa kasus hukuman pidana (jinayat) yang berpotensi melanggar HAM. Sejauh ini, masyarakat Indonesia tentu mengetahui, bahwa Aceh merupakan satu-satunya wilayah Istimewa yang diizinkan pemerintah pusat membuat ranah kekuasaan tersendiri, baik dari unsur legislatif, eksekutif dan tentu saja yudikatif. Perjanjian Helsinki seakan membawa dampak besar bagi masyarakat Aceh, dimana konflik berkepanjangan antara sekelompok bersenjata dengan militer, berakhir sudah. Akhir dari konflik berkepanjangan tentu saja bargaining, Aceh diizinkan membuat aturan dan berbagai lembaga politik tersendiri disesuaikan dengan kecenderungan masyarakatnya.
Perda Syariat Islam tentu saja dipilih oleh masyarakat Aceh dengan beragam perangkatnya dan berlaku secara khusus hanya untuk masyarakat setempat. Salah satunya adalah Qanun Jinayat (undang-undang pidana) yang telah diberlakukan secara resmi oleh pemerintah Aceh sejak Oktober 2015, yang tentu saja mengatur berbagai tindak pelanggaran yang dilakukan masyarakat lalu disesuaikan dengan aturan-aturan syariat hukum Islam. Dalam syariat Islam, misalnya diatur hukuman berupa cambuk atau denda kepada seseorang yang melanggar asusila, seperti berkhalwat (berduaan lain jenis di tempat sepi) atau perzinaan yang menghadirkan saksi lebih dari dua orang. Sejauh ini, hukuman cambuk yang dijalankan didepan publik terhadap para pelanggar ini, kemudian dipersoalkan oleh sekelompok masyarakat, karena dinilai telah melanggar HAM.
Koran Tempo (24/10/17) melansir, bahwa Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) telah merilis data hukuman cambuk kepada sebanyak 339 orang terpidana sejak Januari hingga November 2016. Sedangkan pada tahun ini, Mahkamah Syariah Aceh telah mengeksekusi 188 orang dengan hukuman yang sama, sehingga, bagi sekelompok masyarakat, hal ini jelas telah terjadi pelanggaran HAM akibat dari aturan hukum yang diberlakukan di wilayah Serambi Mekah ini. Melihat fenomena hukuman berdasarkan syariat ini, tentu saja menarik, terlebih ditengah menguatnya fraksi-fraksi di DPR untuk menyepakati Perpu Ormas untuk dijadikan undang-undang. Tentu saja bukan pada persetujuan soal Perpunya, tetapi lebih kepada “nalar politik” yang ada di setiap kesepakatan pemberlakuan sebuah aturan perundang-undangan, tidak semata-mata “kesepakatan” bersifat manusiawi.
Bagi saya, syariat merupakan sebuah “produk hukum” Islam yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang-surut, karena menyesuaikan dengan nalar yang hidup mengitari dalam sebuah masyarakat dan waktu tertentu. Syariat bukan merupakan produk hukum yang berdiri sendiri, sehingga kemudian ketetapannya harus diterima dan diikuti sebagai bentuk hukum pasti yang tak mungkin bisa diubah. Merujuk pada pendapat As-Sihristani dalam kitabnya, “al-Milal wan Nihal”, berbicara soal syariat harus berjalin kelindan dengan pengetahuan tentang agama (diin), millah, minhaj al-Islam, hanifiyyah, sunnah dan jama’ah. Setiap hal yang disebutkan diatas, tentu saja memiliki makna berbeda, tetapi justru saling memiliki keterkaitan yang sangat erat. Berbicara syariat dalam konteks kekinian, berarti dia berbicara agama (Islam) dan setiap umat manusia tentu saja memiliki syariatnya sendiri-sendiri.
Setiap kelompok diantara manusia, tentu saja akan bersepakat ketika bergabung membentuk sebuah ikatan kemanusiaan (jama’ah) yang didahului oleh dibuatnya aturan-aturan bersama yang disepakati sebagai bentuk kebutuhan antara satu dan lainnya. Kebutuhan bersama ini tentu saja dalam hal mencegah, mewajibkan, melarang atau bahkan menghukum siapapun yang telah sepakat dalam jalinan komunitas tersebut. Bentuk kesepakatan bersama ini dalam sejarah kemanusiaan sebagaimana ditulis oleh Al-Quran disebut “millah”. Sedangkan cara-cara yang disebut sebagai jalan menuju “kesepakatan bersama” dikenal dengan istilah “minhaj” atau “syariat” atau “sunnah”.
Syariat dengan demikian berarti “cara” atau “jalan” menuju sebuah kesepakatan bersama dalam sebuah komunitas manusia. Sebuah cara atau jalan tentu saja berbeda-beda dalam mencapai tujuan utama yang dijalankan setiap orang, tak ada cara yang sama secara umum dalam menempuh sebuah perjalanan, karena itu merupakan “kebebasan individu” setiap manusia. Oleh karenanya, Al-Quran menegaskan, “setiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhajan). Bagi saya, disinilah letak nalar syariat, bahwa syariat dibentuk atas dasar kesepakatan bersama, berasal dari norma dan nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat tersebut. Maka, ketika Aceh dengan Perda Syariat Islam-nya sudah merupakan kesepakatan bersama, maka tentu saja itu merupakan hak warga Aceh yang harus dihormati.
Gugatan soal Qanun Jinayah diungkapkan oleh Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati yang menganggap terjadi pelanggaran HAM dan sarat diskrimasi terhadap perempuan. Argumentasi Asfinawati tentu saja bersifat normatif karena merujuk pada sisi universalitas HAM, sehingga penetapan atau eksekusi hukuman pidana berdasarkan agama semestinya tidak berlaku pada komunitas publik secara umum, melainkan kepada kelompok agama yang bersangkutan. Padahal, syariat adalah terminologi bahasa Arab yang tidak berlaku hanya untuk kalangan seagama saja, tetapi merupakan bentuk perjalanan tradisi kemanusiaan yang melingkupi berbagai kenyataan kesepakatan bersama dalam hal mencegah, menolak, mewajibkan atau bahkan menghukum seseorang yang melanggar aturan-aturan yang telah disepakati sebelumnya.
Walaupun tentunya, Aceh sebagai bagian dari Indonesia, memang lebih baik ikut dalam kesepakatan bersama dalam negara hukum NKRI yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Karena bagaimanapun, “syariat” Indonesia sudah disepakati bersama oleh para founding fathers kita sejak masa-masa kemerdekaan. Kesepakatan dalam membentuk komunitas kebangsaan dan keindonesiaan, tentu berdasarkan pemikiran yang panjang dan menggali dari nilai-nilai luhur kepribadian bangsa. Sebuah “kebaikan” yang telah disepakati secara bersama inilah yang direfleksikan oleh Nabi Ibrahim sebagai “millah al-kubro” yang sarat nilai-nilai keadilan (al-hanifiyyah) dan memiliki kecenderungan kebenaran atas dasar penerimaan bersama (taqaabal as-shodwah wal il-tadlodd). Bukankah kemudian Nabi Muhammad mengikuti millah Ibrahim? Ini karena Nabi Ibrahim menanamkan nilai-nilai keadilan dan kebersamaan yang kemudian menjelma menjadi bentuk hukum yang mengatur prilaku kemanusiaan.
Saya kira, membaca syariat Islam memang harus diselaraskan dengan nalar kemanusiaan, baik dalam konteks sejarah, nilai-nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat dan kesepakatan bersama untuk membuat sebuah komunitas. Pembacaan syariat jangan melulu dikaitkan dengan aspek-aspek hukum Islam yang seringkali dipandang kaku oleh sebagian orang, karena syariat tentu saja berkait dengan banyak hal, terkait dengan sejarah pembentukan komunitas manusia itu sendiri. Kita tidak perlu juga merasa alergi terhadap terminologi syariat, yang seakan-akan sebuah konsep yang bertentangan dengan hukum-hukum positif yang sejauh ini telah menjadi kesepakatan bersama. Qanun Jinayah Aceh jelas terkait dengan sebuah “kesepakatan bersama” masyarakat Aceh, bukan sebuah aturan yang dibuat karena ingin memisahkan diri dari sebuah komunitas yang lebih besar. Perlu diingatkan, syariat jelas tidak untuk kalangan agama tertentu saja, tetapi mencakup komunitas lain karena sudah dibuat dan disetujui berdasarkan kesepakatan bersama.
Menulis, Mengajar dan Mengaji
0 Pengikut
Ramai Makelar Doa di Tengah Politisasi Ulama
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBagimu Capresmu, Bagiku Capresku, Baginya Golputnya
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler