x

Iklan

Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja - FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gaya Al Banna Mendidik Anak

Meskipun super sibuk, ternyata beliau masih mampu intens berinteraksi dan mencintai istri dan anak-anaknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

KH Ahmad Dahlan, KH Muhammad Hasyim Asy’ari, H Agus Salim, Soekarno, Mohammad Hatta, Wage Rudolf Supratman, Hasan Al Banna, Soedirman, Abdul Haris Nasution, Soetomo Bung Tomo) adalah tokoh penting zaman perjuangan abad ke-20. Bedanya, Hasan Al Banna (bersama tim) berpusat di negeri Mesir. Hasan Al Banna lebih tua 10 tahun dari Soedirman, 12 tahun dari Abdul Haris Nasution, 14 tahun dari Soetomo (Bung Tomo). Al Banna  lebih muda 38 tahun dari KH Ahmad Dahlan, 35 tahun dari KH Muhammad Hasyim Asy’ari, 22 tahun dari Agus Salim, 5 tahun dari Soekarno, 4 tahun dari Mohammad Hatta dan 3 tahun dari Wage Rudolf Supratman. Hasan Al Banna lahir pada 14 Oktober 1906 di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir. Pada usia 12 tahun, telah hafal al-Qur'an. Beliau adalah seorang reformis. Seperti KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya, KH Muhammad Hasyim As’ari dengan Nahdlatul Ulama-nya, Hasan Al Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya memperjuangkan kecerdasan umat di setiap bidang (agama, sosial, ekonomi, dan seterusnya).

Ketika mempelajari perilaku Hasan Al Banna di dalam rumahnya, akan didapati beliau sebagai sosok yang mampu menjadi teladan. la memiliki visi yang jelas dan mulia, hal ini yang menjadikannya secara sadar menjalani berbagai aktivitas hidupnya. 

Kami, Penulis, mendapati trik yang digunakan Hasan Al Banna sesuai dengan trik psikologis modern. misalnya, ketika menasehati anaknya ketika salah perilaku. Beliau di hari besoknya baru menyampaikan nasihat. Dalam trik psikologis, sesesorang akan cenderung menolak jika perbuatan salah (dalam taraf tidak terlalu berbahaya)nya langsung dinasehati di saat itu juga. Kenapa? Karena nasihat di saat itu dipandang sebagai kepentingan si penasihat atau egoisme si penasihat, sebaliknya nasihat yang disampaikan di hari esoknya atau beberapa hari setelahnya, seolah-olah dalam pandangan pelaku, si penasihat baru ingat untuk menyampaikannya. Artinya si penasihat dalam pandangan pelaku sebagai orang yang tidak egois. 

Trik psikologis modern juga mengutarakan agar audiens menyukai Anda, maka yang harus Anda lakukan adalah intens berinteraksi dan menyukai audiens Anda. Akibatnya ternyata, audiens Anda akan menyukai Anda. Sebaliknya, untuk membuat orang meninggalkan Anda, Anda hanya perlu mengurangi interaksi dan tidak menyukainya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Trik psikologis juga menjelaskan kepada kita saat memberikan nasihat harus di saat yang tepat yaitu ketika gelombang otak menandakan satu fokus perhatian (gelombang Alfa, 8-12 cps). Misalnya ketika Hasan Al Banna menasihati anaknya yang tidak mau bersekolah lagi karena malu tidak naik kelas. Hasan Al Banna berhasil memfokuskan anaknya untuk keadaan nyaman hingga benar-benar terbayang bagi anaknya hanya menemani ibu memasak dan mengerjakan tugas-tugas di rumah. Anaknya terbayang betul keadaan tidak bersekolah, tidak dapat bersosialisasi dengan teman-teman sekolah, tidak dapat bermain dengan teman-teman sekolah, tidak dapat bertamasya dengan teman-teman sekolah, tidak dapat menikmati serunya tantangan-tantangan di sekolah. Anaknya malah menangis saat Hasan Al Banna berkata, "Baik, engkau sungguh sangat bagus sekali memasak. Mungkin engkau bisa duduk, belajar dan membantu ibu di dapur. Engkau bantu ibu saja di rumah ya?" Setelah anaknya menangis dan termotivasi bersekolah. Beliau bertanya, “Apakah kau mau bersungguh-sungguh belajar dan menguasai pelajaran?” Anaknya kemudian menjawab, “Ya, insyaallah.”

Hasan Al Banna pun menggunakan metode mendidik dengan reward (hadiah) dan hukuman (punishment). Sekarang kajian modern mengungkapkan kepada kita bahwa untuk memotivasi seseorang bertindak kita perlu memberikan batasan waktu, harapan, dan reward, sebagaimana di jelaskan pakar psikologi David J. Lieberman.

Selanjutnya, mari kita masuki rumah Hasan Al Banna untuk melihat, bagaimana ia mendidik anak-anak dan istrinya, yang kami pelajari dari Buku Cinta di rumah Hasan Al Banna karya Muhammad Lili Nur Aulia!

 

1 . Makan Bersama, yang Menjadi Prioritas

 

Meskipun super sibuk, ternyata beliau masih mampu menyempatkan waktu untuk makan bersama anak-anaknya di rumah. Suasana makan bersama itulah di antara detik-detik penuh kenangan bagi anak-anaknya.

Beliau biasa tidur hanya empat jam saja dalam satu hari. Karena itu, salah satu dari sepuluh wasiatnya adalah bahwa sebenarnya pekerjaan yang harus dilakukan lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Beliau selalu berusaha untuk bersama-sama makan dengan keluarga, bahkan meskipun ketika ada tamu, ia tetap berusaha meminta mereka datang ke rumah agar ketika waktu makan pagi, beliau bisa bersama keluarga.

 

2. Tidak Ada Suara Keras di Rumah

 

Beliau tidak terlihat terbebani dengan kesibukannya di luar rumah maupun di dalam rumahnya, sehingga tidak pernah tertekan dan melampiaskannya dengan berteriak di dalam rumah.

 

3. Menemani Anak (Masa Liburan)

 

Hasan Al Banna ternyata mampu menyiasati kesibukannya untuk tetap menemani anak-anaknya di saat mereka melewati masa liburan. Beliau pergi waktu pagi untuk bekerja dan pulang ke rumah untuk makan siang bersama keluarga. Terkadang beliau istirahat sejenak di rumah meskipun hanya tujuh menit. Beliau menggantikan waktu yang ia khususkan untuk keluarga dengan waktu lain apabila beliau harus pergi berdakwah hingga ke pelosok-pelosok. Bagi anaknya, duduk bersamanya selama dua jam, sudah cukup memuaskan.

 

4. Mencatat Kondisi Anak

 

Hasan Al Banna melakukan perencanaan yang baik untuk semua anak-anaknya. Dia menunagan seluruh masalah anak yang penting diperhatikan dalam map-map, seperti masalah kesehatan dan masalah kemajuan atau kemunduran penguasaan pelajaran sekolah.

Di antara poin yang dimuat dalam map itu antara lain:

  • Tanggal dan sejarah kelahiran
  • Nomor kelahiran
  • Schedule pemberian obat dan makanan
  • Surat keterangan dokter
  • Keterangan atau catatan tentang kondisi sakit secara detail
  • Ijazah anak-anak
  • Catatan seputar prestasi anak-anak di sekolah
  • DAn catatan penting lainnya

 

5. Membawakan Bekal ke Sekolah

 

Beliau adalah pemimpin rumah tangga ideal. Sejak anak-anaknya masih kecil, beliau sangat memperhatikan masalah anak. Beliau biasa membawakan makan pagi ke sekolah karena perhatiannya kepada anak-anak begitu besar. Anak-anaknya sangat mencintai  beliau. Anak-anaknya mentaati keinginannya karena cinta kepadanya, bukan karena takut padanya.

 

6. Mencatat Kebutuhan Rumah Per Bulan

 

Seorang anak yang melihat bahwa ia ada dalam lingkup perhatian dan perawatan yang baik juga pemberian yang isimewa dari orang tua, pasti anak-anak akan memberikan loyalitas, dukungan penuh, kecintaan, ketaatan kepada orang tuanya. Perhatian Hasan Al Banna terhadap urusan rumah sangat baik. Beliau menulis sendiri keperluan yang dibutuhkan keluarga setiap bulannya. Beliau membayar kebutuhan itu setiap awal bulan kepada salah seorang pemilik toko kelontong terkenal yang menyediakan kebutuhan rumah tangga.

 

7. Menjadikan Anak Menurut Tanpa Harus Diperintah

 

Bahwa cinta tulus adalah pemberian paling  berharga yang harus diperoleh setiap anak. Sedangkan, menolak memberikan cinta tulus kepada seorang anak adalah hukuman yang paling menyakitkan baginya. Hasan Al Banna di mata anak-anaknya adalah sosok orang tua yang telah memberikan cinta tulusnya kepada mereka. Bagaimana kelembutannya, kehalusannya, upayanya untuk tidak menyakiti anak, semuanya menjadikan mereka anak-anak yang mudah diatur dan menurut.

 

Inilah yang dikisahkan Saiful Islam, “Beliau sangat lembut perasaannya. Beliau sangat memelihara perasaan anak-anak dengan begitu berhati-hati. Beliau mempunyai kemampuan yang menjadikan kami menurut tanpa memerlukan perintah. Kami menganggap beliau mempunyai wibawa yang sedemikian besar yang menjadikan kami senang mengikuti keinginannya dan tidak mau melawannya.

 

8. Memberikan Uang Jajan Harian, Mingguan dan Bulanan

 

Salah satu metode yang diterapkan Hasan Al Banna untuk mendidik dan mendisiplinkan anaknya adalah dengan memberikan tiga kategori uang kepada anak-anaknya :

  • Uang harian 3 qirsy
  • Uang pekanan 10 ma'adin
  • Uang bulanan 50 qirsy

Maksud pembagian uang ini adalah untuk memberi kecukupan pada anak. Dengan itu anak membeli kue dan coklat, juga membeli mainan dan buku dan seterusnya. Yang penting bukan pada aspek uang jajan itu besar atau kecil, tapi yang penting adalah pola pendidikan dan pembinaan yang dilakukan di rumah.

 

9. Mengirim "Mata-Mata"

 

Seorang pendidik yang berhasil adalah yang bisa mendidik anaknya untuk bisa bangkit bersama-sama dengan ummatnya dengan cara memberikan manfaat kepada orang lain. Hal ini bisa dimulai secara sederhana sejak anak masih berusia kanak-kanak agar dia mau berinfaq di jalan Allah. Agar ia kelak tidak menjadi manusia yang egois yang hanya memikirkan dirinya saja. Karena itulah Hasan Al Banna begitu serius menanamkan nilai ini ke dalam diri anak-anaknya. Mereka dibiasakan berinfaq bukan sekali dua kali, tapi harus menjadi karakter atau bagian dari kondisi jiwanya untuk selalu berinfaq. Dengan demikian, anak akan menjadi sosok pemberi manfaat dan kebaikan kepada orang lain, untuk bangkit dan maju bersama-sama dengan ummatnya. Beliau memberi anak-anaknya sepuluh ma'adin untuk diinfaqkan seluruhnya setiap hari Jum'at setelah shalat jum'at. Beliau mengirim salah seorang kerabat untuk memata-matai anak bagaimana mereka menginfaqkan seluruh uang pemberiannya itu, sehingga beliau merasa tenang dengan penggunaan uang yang dipercayakan kepada anak.

 

10. Menanamkan Keimanan dan Kreativitas

 

Bukan dikatakan pemuda orang yang mengatakan "Ayahku adalah ini dan itu". Tapi yang disebut pemuda adalah yang mengatakan "inilah aku". Pemberian perlindungan, bantuan, perhatian kepada anak-anak akan memberi mereka memahami apa arti hidup yang mulia. Bagaimanapun, cepat atau lambat, orang tua pasti meninggalkan mereka di dunia ini. Dan ketika itu mereka harus sudah dalam  kondisi menghadapi kehidupan sendiri. Maka, di antara faktor kesuksesan orang tua, khususnya ayah dalam hal ini adalah melatih anaknya untuk belajar bagaimana memenej kehidupan, bagaimana menciptakan kesuksesan, agar mereka tidak terhempas oleh topan kegagalan dan kesia-siaan setelah kepergian orang tua.

Anak-anak Hasan Al Banna mengingat nasihat beliau, "Jika engkau melihat seorang mukmin (orang yang beriman) yang benar orientasi hidupnya, pasti ia juga memiliki banyak faktor kesuksesan dalam hidupnya". Hasan Al Banna pernah memfasilitasi anaknya yang masih sekolah dasar untuk berguru kepada teknisi percetakan untuk menumbuhkan kreativitas yang kelak bermanfaat di masa depan anak-anaknya.

 

11 . Menasihati Tidak Secara Langsung

 

Orang tua memang dianjurkan untuk tidak segera memberi pemecahan langsung terhadap persoalan yang dihadapi sang anak. Sikap memberi tahu, dan mengajarinya bagaimana cara mempertimbangkan suatu masalah, bagaimana memandang suatu peristiwa, itu menjadi salah satu pola pendidikan sehingga anak terlatih untuk membuat keputusannya sendiri, bukan karena suruhan atau tekanan dari pihak lain.

 

Puteri Al Banna yang bernama Tsana mengisahkan, "Ayah pernah memberi nasihat secara tidak langsung kepadaku." Aku ingat ketika saudaraku Saiful Islam yang Pernah suatu ketika Hasan Al Banna mengetahui anaknya menyukai membaca cerita komik. Ketika itu beliau tidak mengatakan kepadanya, agar buku itu tidak dibaca. Tapi beliau pergi dan memberi anaknya kisah-kisah kemuliaan Islam seperti kisah Antarah bin Syadad, Shalahuddin Al Ayyubi dan lainnya. Sampai setelah beberapa waktu kemudian anaknya meninggalkan sendiri buku Arsin Lobin dan lebih banyak membaca buku dari rekomendasi ayahnya. Beliau suka mengarahkan anak-anaknya dengan tidak secara langsung agar apa yang anak-anaknya lakukan itu tumbuh dari kesadaran diri sendiri.

 

12. Menyemai Cinta Dengan Contoh Langsung

 

Putri beliau, Tsana berkata, "Suatu ketika aku ingat bahwa kami mempunyai tetangga yang memakai cat di kukunya. Tentu saja aku tidak akan memintanya agar kuku aku juga dicat. Aku hanya mencari spidol merah dan mewarnai kukuku dengan spidol itu. Ayah sangat ketat dalam memperhatikan kami. Beliau suatu ketika pernah menanyakan, "Apa ini wahai Tsana?" Aku sampaikan kepada ayah bahwa aku melihat tetangga perempuan di sebelah rumah memakai warna merah di kukunya. Lalu ayah mengatakan, "Apakah engkau tahu bahwa ada seorang shalih mengatakan: "Janganlah engkau makan bersama orang yang memanjangkan kuku." Karena orang yang memanjangkan kukunya menyimpan kotoran di balik kukunya. Ayo sekarang potong kukumu dan bersihkan, ayah tunggu sekarang dan kita tidak akan makan dulu."

"Setelah itu aku memotong kuku dan membersihkan warna di kuku. Setelah itu aku bilang pada ayah, "Sudah". Ayah lalu memanggilku, "Sekarang sini makan bersama dan jangan ulangi sekali lagi" Ayah mengajarkan aku secara langsung dan bukan hanya dengan perkataan saja. Harus aku sampaikan bahwa ayah menyampaikan semuanya dengan cinta. Kami mencintainya dan mentaatinya."

 

13. Membacakan (Mengajarkan) Qur’an

 

Di antara kebiasaan Al Banna adalah melandaskan pembinaan melalui metode tidak langsung, metode menyampaikan tanpa meminta. Ini banyak dilakukan, khususnya pada bulan Ramadhan. Jika beliau datang ke rumah dan beristiajat sebentar, beliau bangun beberapa waktu sebelum magrib. Tsana mengisahkan, "Ayah memanggilku, dan kakak perempuan aku yang paling besar yakni Wafa. Panggilan itu adalah dengan memperdengarkan Al Qur'an yang dibacakannya. Kami memegang mushaf, menyimak bacaan ayah. Ayah mengatakan, "Aku mulai membaca di ayat ini..." Aku sadar ketika besar bahwa apa yang dilakukan ketika itu adalah mengajarkan kami."

 

14. Berinteraksi Secara Wajar Dengan Lingkungan

 

Sebagian orang menganggap bahwa ketertutupan dan tidak berbaur, akan membantu pendidikan yang benar untuk memelihara anak dari berbagai akhlak yang ingin merusak mereka. Tapi sebenarnya ketertutupan ini tidak menghasilkan pribadi yang stabil dan sulit untuk bisa membangun mental sosial di mana seseorang bisa hidup di tengah masyarakat dan bekerja dengan tulus.

Memang bisa saja model pendidikan seperti itu menghasilkan seseorang yang shalih. Tapi ia akan shalih secara pribadi saja, tidak shalih secara sosial. Dengan pola pendidikan seperti itu, hampir tidak bisa menghasilkan pribadi yang berhasil secara sosial, atau tidak sukses berinteraksi memberi pengaruh positif kepada masyarakat.

Sementara tentang musuh moral, kewajiban kita adalah memantaunya lebih dahulu dan bila ada kasus, baru kita mengajukan solusi yang harus dilakukan, dan mengambil sejumlah langkah-langkah antisipatif yang cukup.

Berkata Tsana yang kini menjadi dosen, "Ayah membiarkan kami ikut wisata sekolah. Ayah juga mengizinkan kami berinteraksi secara wajar dengan tetangga dan lingkungan. Dalam masa itu, tetangga masing-masing saling mengenal. Ayah juga tidak melarang kami bermain dengan teman-teman kami di waktu tertentu, juga untuk hadir dalam berbagai pertemuan di kantor. Mereka menyediakan meja untuk kami. Teman-teman kami dan orang yang kami cintai adalah tetangga kami serta anak-anak yang ada di jalanan lingkungan kami."

 

15. Keterlibatan Yang Bijaksana

 

Ayah yang berhasil mendidik anak adalah yang selalu mengevaluasi anaknya dalam setiap ruang. Lingkungan bahkan sekolah, bisa saja merusak apa yang sudah ditanamkan orang tua di rumah. Maka, termasuk kewajiban orang tua adalah tidak membiarkan nilai-nilai yang telah tertanam dalam diri mereka hancur oleh gelombang materialistik (misal, tidak berinfak karena takut miskin) atau trend gaya hidup yang tidak sejalan dengan ajaran agama.

Tsana mengatakan, "Aku ingat sebuah peristiwa yang terjadi antara aku dengan saudaraku Wafa. Ketika ia mulai memakai jilbab di sekolah, seorang guru sekolah yang mengajarkan pelajaran etika keperempuanan menyampaikan bahwa pakaian muslimah menurutnya tidak sejalan dengan peraturan sekolah. Guru sekolah itu memang sebagai bagian dari Aristokrit saat itu. Tapi di sisi lain ia termasuk guru yang paling baik di sekolah. Ketika itulah, Hasan Al Banna segera menghubungi guru  tersebut melalui telepon. Al Banna meyakinkan guru dengan kewajiban menutup aurat dan memakai jilbab. Hasilnya positif."

 

16. Mengkaryakan Anak

 

Beliau menjadikan anak pertamanya Wafa yang sangat memperhatikan pengaturan bahan-bahan dan kebutuhan beliau sebagai sekretaris. Ini tentu saja merupakan pola mendidik yang sangat mulia dalam mendidik dan mempersiapkan anak perempuan untuk bisa menjalani hidupnya sebagai perempuan.

 

17. Menstimulus Pengembangan Ilmu

 

llmu yang berlimpah dan informasi yang beragam, serta pemahaman yang luas adalah faktor kesuksesan individu. Karenanya, Hasan Al Banna sangat memperhatikan pendidikan dari sisi wawasan ilmu anak-anaknya. Itu tercermin dalam hal berikut:

  • Pemberian tempat perpustakaan khusus untuk semua anak, yang berisi buku- buku yang diinginkan mereka.
  • Memberikan uang bulanan (50 qirsy) untuk membeli buku-buku yang diinginkan sendiri oleh anak-anaknya, sesuai kecenderungan mereka.

 

18. Menemani Anak Saat Bermain

 

Permainan juga masalah penting dalam membangun karakter anak saat kecil. Tsana, puteri Hasan Al Banna mengatakan, "Ayah membawakan kami sandal untuk  bermain dan sepatu untuk pergi ke sekolah." Selain itu, menurut Tsana, saat liburan sekolah musim panas, "Ayah selalu mengajak kami berjalan ke distrik Ash Sha'id. Jika ayah mengajak kami, kami tidak lepas dalam pantauannya. Ayah juga mengajak kami ke rumah nenek dan paman di Ismailiyah agar kami bisa melewati liburan di rumah mereka. Kami menikmati kebun-kebun hijau dan taman-taman yang indah. Saudaraku, Saiful Islam, bermain olah raga naik kuda."

  

19.  Menyemangati Anak

 

Definisi yatim itu ada dua: Yatim karena kehilangan sosok ayah secara fisik dan yatim karena kehilangan sosok ayah secara makna. Definisi yatim yang kedua ini dirasakan saat seorang ayah tetap ada di antara anak-anaknya, namun mereka tidak mendapatkan pendidikan darinya dan tidak memperoleh hak pengarahan serta kasih sayang yang semestinya dilakukan oleh seorang ayah.

 

Hasan Al Banna selalu berupaya menyemangati hati anak, menenangkannya, mencerahkan pikirannya, menyisipkan kebahagiaan dalam hati mereka. Itulah sebagian dari kewajiban seorang pendidik yang sukses. Masa kanak-kanak adalah masa yang tidak terbebani, tidak boleh hak ini dipecahkan dari jiwanya, dan tidak boleh ada kesedihan yang mendominasi hatinya. Ayah yang sukses adalah yang selalu menghapus air mata anaknya dan mengusir kesedihan dalam hati anaknya.

 

Al Banna sangat memelihara jangan sampai ada salah seorang anaknya yang mengalami kesedihan dan jiwanya sakit. Dan inilah yang tertanam baik dalam jiwa anak-anaknya, sehingga menghasilkan kecintaan dan komitmen yang kuat dengan ayahnya lalu mendorong sikap untuk benar-benar mengikuti jalan yang ditempuh ayah mereka.

 

Tsana mengatakan, "Ayah sangat peduli dan tidak mau melihat perasaan kami terluka. Dalam sebuah perjalanan yang direncanakan oleh kakek untuk berkunjung ke  kota kami dan menghadiri resepsi pernikahan. Sementara ayah sudah menetapkan agar kami menemani nenek. Aku, Saif dan Wafa mendengar informasi saat perjalanan bahwa nenek sudah menyiapkan gerobak penuh hadiah sampai penuh. Lalu nenek memutuskan hanya ditemani Saif dan Wafa saja, tanpa kesertaan aku. Ketika itu ayah mengajakku dan menggendongku lalu mengatakan kepadaku, "Tak apa ya Tsana " Ayah lalu memberiku uang sebanyak 25 qirsy yang waktu itu sangat banyak nilainya. Tapi meskipun demikian aku tetap sedih. Sedangkan di tanganku ada tas berisi pakaian yang kemudian dibawakan oleh ayah.

 

20. Menggantikan Keburukan dengan Kebaikan

 

Menyikapi kesalahan yang dilakukan anak, merupakan seni yang harus dimiliki orang tua. Seni itu harus dipelajari dan ditekuni agar kesalahan yang terjadi bisa berubah menjadi kondisi positif yang memberi manfaat bagi keluarga, bukan menjadi kekuatan negatif yang menghancurkannya. Salah satu kebiasaan Hasan Al Banna adalah melakukan dialog dengan tenang untuk memperbaiki kekeliruan yang dilakukan anak-anaknya.

 

Saiful Islam mengatakan, "Setelah beberapa tahun, aku baru tahu bahwa ayah sangat memperhatikan perilaku aku dengan sangat detail. Tapi, pantauan itu tidak aku ketahui kecuali ketika aku sudah besar. Ketika aku memperhatikan sikap sikap ayah,  aku baru tahu kalau ayah sangat memperhatikan perilaku aku. Misalnya saja, aku ingat waktu kecil pernah membeli sejumlah buku cerita James. Di dalam buku itu ada sejumlah cerita percintaan. Suatu ketika, ayah pulang larut malam dan melihatku masih belum tidur tengah serius membaca buku komik. Tapi ketika itu, ayah meninggalkan aku begitu saja. Keesokan harinya, ketika aku selesai membaca seluruh buku itu, ayah mengajakku berbicara dan mengatakan, "Aku akan memberimu sesuatu yang lebih bagus dari itu." Ayah memberiku beberapa buku antara lain buku cerita tentang pemimpin seperti kisah Antarah bin Syadad, Saif bin Dzi Yasin, dan sejumlah kisah tokoh Islam lainnya. Setelah itu ayah juga memberiku buku sejarah Umar bin Abdul Aziz radhiallahuanhu, juga beberapa buku lain yang bermanfaat. Aku merasa saat ini, bahwa ternyata ayah sangat memperhatikan perilaku aku, memperhatikan apa yang aku baca, dan merencanakan perbaikan kepada aku dengan sangat intens, meski kesibukannya dengan masalah dakwah begitu banyak."

 

21. Membuat kesepakatan dalam Kebaikan

 

Saiful Islam bercerita, "Suatu ketika datang sekelompok teman ayahku untuk bertamu kepada ayah. Aku menerima mereka di pintu rumah dan segera bertanya, "Apakah kalian datang untuk berkunjung kepadaku, atau untuk ayahku?" mereka menjawab bahwa kedatangan mereka adalah untuk mengunjungi ayah. Lalu aku katakan kepada mereka, "Baik kalau begitu biarkanlah  ayah saja yang membukakan pintu untuk kalian. Aku lalu menutup pintu di hadapan mereka dan meninggalkan mereka begitu saja."

 

"Setelah mereka menceritakan peristiwa itu pada ayah, ayah lalu datang kepadaku dan bertanya apa yang terjadi. Aku menceritakan pada ayah apa adanya. Tapi ayah tidak marah dan tidak menghukum aku. Ayah malah menyodorkan kepadaku kesepakatan yang mengejutkan. Katanya, "Saif, bagaimana bila Ayah yang memuliakan tamumu? Ayah yang menerima mereka dan ayah persilakan mereka masuk kemudian memperlakukan mereka sebagaimana tamu. Lalu, ketika ada tamu datang ingin berkunjung kepadaku, engkau yang menerima mereka dan mempersilakan mereka masuk kemudian memperlakukan mereka sebagaimana tamu." Setelah itu, tercapailah kesepakatan antara kami untuk saling memperlakukan tamu dengan baik. Dan kesepakatan ini benar-benar terlaksana dengan komitmen di antara kami."

 

Saat ditanya tentang usianya saat itu, Saiful Islam menjawab, "Ketika itu aku berusia 10 atau 11 tahun."

 

22. Mengarahkan Anak yang Belum Sukses

 

Putri Hasan Al Banna yang bernama Tsana pernah tidak naik kelas karena kepindahan sekolah dan beratnya materi pelajaran saat itu. Tsana berkata, “Aku duduk di kelas dua, dan karena kondisinya sulit ternyata aku tidak naik kelas. Ketika itu aku malu dan mengatakan bahwa aku takkan pergi ke sekolah lagi."

 

"Sampai ketika musim tahun ajaran baru dimulai, ayah berkata kepadaku: "Ya Tsana, ayo berangkat sekolah!" Aku tetap tidak mau berangkat. Lalu ia mengatakan lagi: "Baik, engkau sungguh sangat bagus sekali memasak. Mungkin engkau bisa duduk, belajar dan membantu ibu di dapur." Aku malah menangis mendengar kata-kata ayah. Kemudian ayah mengatakan, "Engkau bantu ibu saja di rumah ya." Tentu saja aku sangat takut dan justru ingin pergi ke sekolah."

 

"Ayah bertanya kepadaku, Apakah aku akan mau bersungguh-sungguh belajar dan menguasai pelajaran. Aku katakan, "ya, insyallah." Seperti itulah ayah, beliau selalu tidak memaksa untuk melakukan sesuatu, tapi mengarahkan kami dengan cara yang tepat."

 

23. Memberi Hadiah dan Hukuman yang Mendidik

 

Sebuah hukuman adalah untuk mengenalkan dan menyadarkan seseorang atas kesalahan yang dilakukannya, dengan menjadikannya jera untuk mengulanginya. Tsana mengatakan, "Ayah meyakini bahwa metode pemberian hadiah dan hukuman itu juga perlu dijalankan. Misalnya saja, ayah biasanya memberi kami makanan dan kue-kue di saat Maulid Nabi. Makanan dan kue-kue itu juga diberikan kepada siapa saja yang bersama kami untuk mendengarkan pembacaan ayat-ayat Al Qur'an atau Hadist Nabi SAW, atau juga dalam acara untuk syi'ar jama'ah."

Saiful Islam mengatakan, "Hukuman yang paling berat yang diberikan ayah kepada salah seorang di antara kami adalah jeweran di telinga. Suatu ketika, telingaku dijewer, dan ini merupakan bentuk hukuman yang paling berat yang aku rasakan. Masalahnya, suatu pagi ada kesalahan yang kulakukan. Tapi ketika siang harinya sekitar jam 11, ayah meneleponku untuk menenangkan aku dan memperbaiki hubungan kami. Peristiwa itu sangat berpengaruh pada jiwaku."

Tsana mengatakan, "Jarang sekali ayah menghukum kami. Kecuali bila ada sesuatu yang memang dianggap kesalahan berat atau terkait dengan pelanggaran perintahnya yang sebelumnya sudah diingatkan kepada kami. Jika kami bersalah dalam masalah ini, tentu saja kami mendapatkan hukuman, sebagaimana metode punishment and reward dalam pendidikan. Tapi itu jarang terjadi."

 

“Aku dua kali mendapat hukuman dari ayah. Kali pertama ketika aku keluar tanpa memakai sandal, dan kedua ketika aku memukul pembantu di rumah. Aku ingat ketika itu aku dihukum karena pelanggaranku sendiri. Di rumah kami yang lama, ada beberapa pemisah ruangan. Ayah ingin menggunakan kamar yang di bawah, dengan alasan agar anak-anak tidak lelah karena tidak harus melalui tangga. Selain itu, juga agar tetangga tidak usah lelah kalau ingin berkunjung. Suatu ketika aku duduk di atas tangga itu dan melihat ayah datang dari kejauhan. Aku segera bangun dan menghampirinya tanpa menggunakan sandal. Padahal ayah sudah menyiapkan sandal untuk bermain dan sepatu untuk ke sekolah. Aku pergi begitu saja, lupa memakai sandal. Ketika itu ayah hanya melihatku sebentar saja, hanya sepintas. Dan saat itu pula aku sadar bahwa aku pasti akan mendapatkan hukuman. Aku segera kembali ke rumah."

"Setelah para tamu pamit pulang, ayah masuk ke ruang makan dan memanggilku. Aku datang dengan langkah lambat karena takut. Ayah berkata, "Duduklah di atas kursi, dan angkat dua kakimu." Ayah lalu memukul kakiku dengan penggaris pendek. Masing-masing kaki dipukul sepuluh kali. Tapi terus terang aku sebenarnya ingin tertawa, karena pukulannya pelan sekali sampai aku tidak merasakannya. Ayah hanya ingin membuat aku mengerti bahwa aku telah melakukan kesalahan."

 

24. Memeluk Anak

 

Perhatikanlah bagaimana kisah Saiful Islam tentang pelukan Hasan Al Banna berikut ini, ketika ia berdialog dengannya saat makan siang! "Aku banyak berintaraksi dengan ayah sepanjang dua tahun. Ketika aku duduk di bangku SMU, di mana pelajar yang mulai duduk di bangku SMU berarti sudah memasuki usia politis, karena ia dibolehkan untuk terlibat dalam organisasi. Di sekolah, dilakukan sejumlah diskusi yang dominannya tentang masalah negara, nasionalisme, masalah Sungai Nil, pendudukan Inggris di Mesir dan Sudan, juga masalah penyatuan antara Mesir dan Sudan."

"Ketika kembali ke rumah aku makan siang bersama ayah, dan aku bertanya kepadanya tentang diskusi yang terjadi di sekolah. Aku ingat, ketika itu aku bertanya dengan pertanyaan secara eksplisit: "Apakah yang akan kita lakukan menghadapi Inggris bila mereka tidak juga mau meninggalkan Mesir?" Ayah menjawab, "Kami akan mengirimkanmu bersama pasukan untuk mengusir mereka dengan kekuatan." Ketika itu, ayah memelukku hangat sekali, hingga sampai sekarang aku masih merasakan dekapannya."

"Aku sangat mengerti dengan apa yang terjadi pada waktu itu, termasuk masalah politik, dari masalah realitas kematangan politik yang aku alami saat aku duduk di bangku SMA. Aku memahami semua kelompok dan partai yang ada di Mesir ketika itu. Para pelajar SMA ketika itu juga memiliki interaksi yang kuat dengan berbagai peristiwa di Mesir dan dunia Islam, termasuk aktif dalam aksi-aksi demonstrasi.

 

25. Menyadarkan Anak Perempuan dengan Keperempuanannya

 

Perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Kaum perempuan mempunyai peran agung dalam bangunan umat yang besar ini. Jika ada ungkapan, "Ada perempuan di balik semua yang luar biasa," itu tidak berlebihan. Sebab kaum perempuan memang kerap memainkan peran penting dan dialah yang mempersiapkan laki-laki pejuang yang bisa membangkitkan umatnya. Karena itulah Hasan Al Banna sangat memperhatikan kaum perempuan. Beliau sangat memelihara pendidikan anak perempuan agar mereka bisa menjalankan perannya untuk kebangkitan kaum perempuan. Dan hal itupun benar-benar terjadi, karena anak perempuannya terbesar, Wafa, adalah dosen lulusan Fakultas Pendidikan Kewanitaan. Anak perempuannya yang lain, Tsana, kini bertugas sebagai dosen Imu tata boga di Universitas Kerajaan Arab Saudi.

Tsana mengatakan, "Ayah sangat yakin dengan pentingnya mengajarkan kaum perempuan. Tapi pengajaran untuk kaum perempuan harus sesuai dengan keperempuanannya. Karena itulah aku mengambil pendalaman urusan perempuan (saat kuliah)"

 

26. Bersikap Romantis dan Harmonis

 

Hubungan yang harmonis dan baik antara ayah dan ibu mempunyai pengaruh dahsyat dalam perilaku anak. Ayah dan ibu adalah figur hidup dan pengalaman nyata bagi seorang anak, yang akan tertanam kuat dalam pikiran dan jiwanya. Seorang anak yang akan menimba nilai-nilai hubungan yang baik itu akan memberi manfaat besar kala ia dewasa dan menikah.

Tsana, puteri Hasan Al Banna menceritakan, "Pernah suatu hari ayah pulang agak malam dan ibuku sedang tidur. Ketika itulah saya bisa melihat penerapan firman Allah SWT (menjadikan di antara hamba-Nya rasa kasih dan sayang). Ketika itu ayah tidak membangunkan ibu sama sekali, sampai ayah menyiapkan sendiri makanannya dan seluruh keperluannya untuk menjamu makan malam para tamu yang datang. Ayah kulihat masuk ke dapur dan mempersiapkan makan malam sendiri. Ayah tahu letak semua bumbu dan perabotan di dapur lalu secara bertahap, ayah menyiapkan makanan, kue dan minuman untuk para Ikhwan. Ayah juga menyediakan roti dan menyusun meja makan sampai kemudian mereka bersantap malam bersama."

 

27. Menanamkan Solidaritas Dengan Kondisi Dunia Islam

 

Pemikiran dakwah yang digeluti Al Banna, boleh jadi memenuhi benak pikiran dan hatinya. Menurut anak-anak beliau yang dibangun oleh Hasan Al Banna adalah suasana saling mengerti. Tapi bagaimanapun Hasan Al Banna tetap menanamkan solidaritas yang tinggi kepada kaum Muslimin, utamanya mereka yang ada di Palestina. Ada sebuah peristiwa yang paling membuat raut muka Hasan Al Banna berubah karena memendam kesedihan sekaligus kemarahan. Peristiwa itu terjadi di tahun 1948, saat pasukan tentara Al Ikhwan terlibat dalam perang Palestina.

 

"Ketika itu aku takkan lupa selamanya bagaimana pandangan mata ayah, Ibu bersama tante dan nenekku berada di sebuah ruangan di rumah, bersama membuat kue-kue untuk menyambut hari raya. Ayah memandang ibu dan berkata, "Ya Ummu Wafa, apakah engkau akan tetap membuat roti, sedangkan ada dua belas orang dari Pasukan tentara Al Ikhwan yang gugur di Palestina?" Setelah itu, ayah meminta salah seorang pembantunya untuk membereskan semua peralatan membuat roti kue termasuk bahan bakunya. Ibuku tidak meneruskan membuat roti dan sejak hari itu, ibu memang tidak pernah membuat roti lagi di rumah. Ibu setidaknya pernah membuat biskuit, tapi tidak pernah membuat roti, bahkan sampai setelah ayah meninggal."

 

28. Mengajarkan Anak untuk Minta Izin

 

Banyak anak yang melakukan kesalahan, sebenarnya tidak begitu memahami bobot kesalahan yang dilakukannya. Bahkan mungkin saja mereka juga tidak tahu bila apa yang dilakukannya itu salah. Karena itu cacian dan kekerasan bukan cara yang tepat untuk mengatasinya. Sikap yang baik dalam hal ini adalah memberi keterangan kepada anak bagaimana sikap yang benar.

Tetap memelihara sikap perasaan seseorang, meskipun ia melakukan kesalahan, diiringi dengan anjuran yang lembut, memberi pendidikan yang baik dan meninggalkan kesan untuk merubah kesalahan yang dilakukan. Inilah yang dirasakan Saiful Islam tatkala ia gegabah mengambil begitu saja kertas-kertas yang ada di ruang kerja ayahnya, Hasan Al Banna.

Saiful Islam mengatakan, "Aku ingat, pernah suatu hari saya mengambil sejumlah kertas dari ruang kerjanya tanpa seizinnya. Ketika ayah mengetahui ada sejumlah kertasnya yang berkurang, ayah tidak memarahiku dan tidak melontarkan kata-kata kasar kepadaku. Tapi ayah duduk di hadapanku, ia lalu membereskan kertas-kertasnya sampai aku mengerti sendiri secara tidak langsung apa yang telah kukerjakan. Setelah itu, ayah memberiku sejumlah kertas dan mengatakan, "Kertas-kertas ini khusus untukmu. Jika kamu ingin kertas yang lain, sampaikan padaku dan aku akan memberikan kertas yang kamu inginkan."

 

29. Menemani Anak Belajar dan Berdiskusi

 

Mengajarkan anak, memerlukan rencana yang baik dan pandangan yang benar ditambah berbagai metode pendekatan yang tepat. Peran ayah dalam hal ini ternyata sangat penting. Seorang ayah harus berusaha mengembangkan kemampuannya untuk bisa meningkatkan pemahaman anak-anaknya. Tsana mengatakan, "Ayah selalu mendorong kami untuk mendalami ilmu yang ingin kami kuasai di masa mendatang. Ayah ingin menjadikan kami sebagai anak yang paling baik dalam belajar. Ada dua model pendidikan ketika itu. Pertama, metode pendidikan materi wajib yang dikuasai para guru untuk bisa masuk dalam sekolah pendidikan guru. Kedua, metode pengajaran umum yang diterapkan oleh sekolah pemerintah dan dijadikan standart penguasaan bagi calon mahasiswa atau lembaga pendidikan tertentu. Ini yang menjadikanku mendalami spesialisasi ilmu tertentu untuk melanjutkan belajar ke lembaga tinggi ilmu ekonomi rumah tangga. Sekarang jurusan itu bernama Jurusan Kerumahtanggaan."

Saiful Islam mengatakan, "Perhatian ayah terhadap masalah pendidikan sangat detail.

  • Beliau mempunyai hubungan komunikasi yang baik dengan guru sekolah dan kerap menanyakan kondisiku di sekolah dengan para guru.
  • Beliau biasanya mengarahkan para guru di sekolah untuk menguatkan anak dalam beberapa sisi pelajaran yang dianggap kurang. Beliau melakukan metode peningkatan kemampuan Bahasa Arab anak dengan memberi saran kepada guru Bahasa Arab.
  • Jika pulang malam, beliau bertanya jawab tentang pelajaran di sekolah denganku. Beliau sangat pandai di pelajaran matematika. Beliau yang membantu anaknya menguasai pelajaran matematika dan menyelesaikan soal-soal yang semula tidak mampu anaknya kerjakan.
  • Beliau juga meminta salah seorang temannya untuk memantau sikap dan kondisi anak di sekolah.
  • Beliau terkadang meminta seorang teman untuk menerangkan sejumlah pelajaran di hadapan anak.

 

30. Menanamkan Kemandirian Anak

 

Tidak semua masalah yang dihadapi anak perlu campur tangan orang tua. Jika hanya masalah biasa yang bisa dipecahkan oleh anak-anak, orang tua sebaiknya tidak turut campur. Karena tujuan pendidikan salah satunya adalah mendidik anak agar mandiri dan mampu menghadapi kehidupan dengan segala realitasnya. Keikutsertaan orang tua hanya bersifat sementara dan dalam rangka membimbing mereka untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan. Hasan Al Banna selalu melatih dan mendidik anak-anaknya untuk merdeka dan bersandar pada diri kami sendiri, bukan pada orang lain sehingga anak-anaknya memiliki pribadi yang kuat.

Saiful Islam berkata, “Ayah mendorongku untuk menerima teman-teman di rumah, makan bersama dan memintaku untuk bisa menyambut tamu dengan baik. Ayah tidak pernah turut campur dalam hubunganku dengan guruku. Tak ada pengistimewan dalam hal ini. Aku sama saja seperti anak-anak lain, dan cara pandang inilah yang selalu ditanamkan ayah. Salah satu pelajaran dalam aqidah yang aku terima adalah, Hati-hatilah, jangan sampai engkau menganggap ayahmu bermanfaat untukmu di akhirat kelak! Ini adalah nasihat yang sangat berharga."

 

31. Menunaikan Hak- Hak Keluarga dengan Sangat Baik

 

Musibah kematian, adalah bagian dari ketetapan Allah SWT yang sangat mungkin menimpa sebuah keluarga. Kehilangan salah satu anggota keluarga, adalah peristiwa yang begitu memukul jiwa orang tua. Bagaimana kisah tentang wafatnya anak Hasan Al Banna, Muhammad Hisamuddin dan Shafa. Saiful Islam bercerita, "Saudaraku Muhammad Hisamuddin menderita sakit tipus di saat belum ditemukan obat untuk mengatasi mikroba yang menyerangnya. Ayah sangat memperhatikan kesehatan anak-anaknya. Setiap orang dari kami mempunyai arsip kesehatan khusus. Ketika saudaraku meninggal, ayah yang menguburkan jenazahnya ke dalam liang kubur. Sedangkan ketika Shafa meninggal, ia masih sangat kecil. Usianya saat meninggal, kurang lebih satu tahun.

 

Ibuku mengatakan kepada ayah, bahwa ia kembali bertemu kepada orang yang menemuinya sebelum Hisamuddin meninggal. Orang itu mengatakan, bahwa ia akan mengambil Shafa empat hari lagi," ujar ibu kepada ayah. Ayah kemudian sujud syukur dan mengatakan, "Kita dikunjungi oleh malaikat yang mulia." Tak lama setelah itu ayah memangil Ustadz Sa'duddin dan memintanya untuk mengambil foto ayah bersama Shafa. Empat hari berikutnya, Shafa meninggal dunia. Ayah yang menguburkan Shafa ke tempat peristirahatannya yang terakhir." 

Yang penting dari perkataan Saiful Islam tentang ayahnya terkait dua saudaranya yang meninggal adalah, "Ayah telah menunaikan hak keluarga dengan sangat baik, tidak meremehkan salah satu pun dari anggota keluarga. Sehingga ketika ia dalam perjalanan, saat bekerja, saat ia berdakwah tidak ada di rumah, ayah telah menyiapkan dan mengatur semua urusan keluarganya dengan baik."

 

Anak-Anak Hasan Al Banna

 

Al Banna dikaruniai enam orang anak, terdiri dari satu orang anak laki- laki dan lima orang anak perempuan. Urutannya seperti berikut:

  • Wafa: Adalah anak perempuannya yang paling besar. Wafa ini istri dari seorang da’i terkenal yakni Sa'ad ramadhan. Saat Al Banna wafat, ia sudah berusia 17 tahun.
  • Ahmad Saiful Islam: Seorang advokat sekaligus sekjen Aliansi Advokat Mesir dan mantan anggota parlemen Mesir. Dilahirkan tanggal 22 November 1934. Berhasil memperoleh gelar sarjana di bidang HAM tahun 1956, dan Darul Ulum 1957. Usianya 14 tahun saat Al Banna wafat.
  • Dr. Tsana: Dosen Urusan Pengaturan Rumah Tangga, mengajar di sejumlah universitas di Saudi Arabia, la masih 11 tahun saat Al Banna meninggal.
  • Ir. Roja': Seorang isninyur. Ketika Al Banna wafat, usianya sekitar 5 tahun.
  • Dr. Halah: Dosen kedokteran anak di Universitas Al Azhar. Usianya 2 tahun saat Al Banna meninggal.
  • Dr. Istisyhad: Dosen Ekonomi Islam, la masih berupa janin di perut ibunya saat Al Banna menghembuskan nafas terakhirnya. 

Wallahu’alam..

 

Ikuti tulisan menarik Mahendra Ibn Muhammad Adam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler