x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax, Pancasilais, dan Silang-sengkarutnya (9)

Melalui Apa Informasi Itu Mudah Tersebar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Melalui Apa Informasi Itu Mudah Tersebar

Pertanyaan demikian sebenarnya meminta pula sebuah jawaban dari, apa jenis hoax yang paling sering tersebar dan diterima oleh masyarakat. Menurut data yang disampaikan Herman Tolle jenis hoax yang sering tersebar dan diterima oleh masyarakat yang paling besar adalah bentuk tulisan sejumlah 62%, kemudian bentuk gambar sejumlah 38%, dan yang paling kecil bentuk video sejumlah 0,4%. Data tersebut ditunjang oleh beberapa media informasi yang sering digunakan untuk menyebarkan berita-berita hoax tersebut, beberapa diantaranya seperti radio sejumlah 1%, E-mail sejumlah 3%, media cetak sejumlah 5%, televisi sejumlah 9%, situs web sejumlah 35%, aplikasi chatting (WhatsApp, Line, Telegram) sejumlah 62%, dan social media (Instagram, Twitter, Path, Facebook) sejumlah 92%. Data tersebut begitu mengejutkan bahwa media sosial tempat dimana semua orang dari penjuru wilayah tanpa bertatap muka secara langsung, dapat menyelenggarakan diskusi dan percakapan penting, ternyata dicurigai menjadi sarana untuk mendistribusikan informasi hoax. Tentu data ini tak dapat disangkal karena menggunakan program SNA yang sebelumnya telah dijabarkan bagaimana cara kerjanya dalam membaca tema-tema percakapan publik yang menjadi trending topic di dunia maya, pada beberapa aplikasi media sosial tertentu dapat dilacak. Kendati, bukan sebatas itu kita menafsirkan sebagai urgensi permasalahan digital culture masyarakat kita. Karena akan menjadi terbatas jika kita berhenti pada pemaknaan bahwa media sosial terkait menjadi biang keladi tersebarnya hoax yang lantas membuat kita memburu, menangkap dan menggebuk para penggunanya. Tapi, pembacaan kritis kita terhadap apa yang mendasari pikiran publik untuk mempercakapkan isu-isu penting di media sosial. Tentu dapat diasumsikan, karena media sosial memfasilitasi kita bertatap muka secara simulatif dan tak langsung, untuk mengedarkan ide dan gagasan. Yang artinya proses demokrasi dan liberalisasi sebagai kultur dikursus publik untuk mempercakapan kondisi psikososiologis bangsa Indonesia 24 jam terakhir, hanya bisa terwadahi oleh media sosial, disaat Partai politik (Parpol), majelis mingguan, rembuk nasional, ormas-ormas atau rapat paripurna tidak lagi mampu menampung dan menyerap aspirasi publik. Jalan satu satunya, media sosial mendapat pengertian khusus di dunia cyber sebagai kepanjangan tangan dari proses demokrasi yang terbatas pada luas meja parlemen.

Beberapa menit menjelang forum diakhiri, seorang pemuda mengacungkan tangan dan bercerita tentang hasil tesisnya, katanya sedikit banyak bersinggungan dengan tema forum ini. Dia mengaku tidak akan bertanya, tapi hanya ingin menanggapi. Tesis yang pernah ia teliti disebuah desa, ingin menguji sebuah hipotesis perlu atau tidak akses internet masuk ke pedesaan. Dengan beberapa jenis pertanyaan sederhana sebagai penggali datanya,” lebih memilih mempunyai televisi ataukah mempunyai akses internet,” kendati keduanya sama-sama tidak sedang miliki oleh warga desa. Hasilnya sangat menarik. Hipotesis menunjukkan, bahwa masyarakat yang hidup di pedesaan secara tegas lebih memelih untuk mempunyai akses internet, ketimbang televisi. Alasannya sederhana, minimal dalam hal siaran, informasi, dan tampilan-tampilan yang menghibur dapat mereka pilih secara mandiri. Ketimbang televisi yang hampir tak bisa dipercaya karena hanya milik perseorangan saja yang mengatur segala bentuk konsumsi informasi publik. Sebatas yang saya tangkap sebagai pendengar, ada sebuah kesadaran baru yang terbentuk di dalam diri mereka, masyarakat pedesaan yang tak benar-benar bersentuhan dengan teknologi untuk secara kritis memilih dan menentukan informasi apa yang ingin dan layak untuk dirinya. Ditanggapi oleh pembicara para pakar IT, kesemuanya itu tetap berada dalam sebuah diskursus wacana korporasi media. Dan dapat diprediksi tidak ada media yang benar-benar independen paska orde baru runtuh.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Duel Pikiran Ditengah Duel Sentimen

Saya selalu tertarik dengan kecenderungan berfikir dari seorang, saya sebut sebagai filsuf kampus, yang sekaligus sebagai rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yakni Warsono. Disesi paling terakhir tanggapan, filsuf tersebut hendak menawarkan konsep berfikir kritis yang menjadi pondasi dasar upaya menciptakan digital culture di era post-truth. Sebenarnya tanggapan filsuf Unesa itu hendak mengkritisi konsep pendidikan yang dimetafsikakan oleh Marsudi Wahyu Kisworo, Rektor PERBANAS Institute, bahwa cara mendidik pemuda di era sekarang perlu dipasrahkan pada sebuah landasan berfikir yang disimbolkan dengan istilah “3C” artinya communicative, creative, dan collaborative. Dengan argumen, proses kreatif dari pikiran anak muda sebenarnya menjadi baik jika muncul dari cara berfikir kritis. Artinya cara berfikir kritis memiliki porsi lebih ketimbang cara berfikir kreatif an sich. Sikap kritis dan skeptis pada akhirnya menjadi urgensi tersendiri untuk dipacu kepada pola pikir anak bangsa dalam menangkap, membaca dna menafsirkan realitas diluar dirinya. kemudian kecenderungan befikir kritis itu hendaknya disambung pula atas dasar logika berfikir kausalitas, yang memandang menggunakan dikotomi sederhana sebab dan akibat. Melalui logika berfikir semacam ini proses kritis dapat terjadi, untuk nantinya dapat digunakan menjadi dasar pijakan seseorang memulai memperbaiki atau membangun sebuah tatanan konsep produk pemikiran yag lebih kreatif. Cara berfikir kritis yang menjadi inti dasar kritik dari filsuf Warsono yang diarahkan pada Rektor PERBANAS Institute, bukan diartikan sempit sebagai kritik yang negatif, dengan kecederungan dekonstruktif. Namun kritik yang dimaksud diartikan sebagai kritik positif, kendati kritisisme akan senantiasan menyisahkan ceruk lebar antara positif dan negatif. Namun diupaya kritik positif menjadi lebih dominan ketimbang kritik negatif dalam upaya membangun cara berfikir anak bangsa ke arah yang lebih membangun kembali.

Lalu kita dapat apa dari percakapan yang dimulai sedari paska sholat jumat sampai adzan maghrib berkumandangan. Saya tak mampu menyimpulkan keseluruhan pikiran yang saling berkelebatan dalam forum tersebut, karena sebagian besar bercakap-cakap tentang teknologi itu sebagai digital infrastruktur dan tak memberi porsi lebih pada pemaknaan secara psikososiologis dari digital culture. Over all, status ontologi forum ini tetap tidak memahamkan saya, dan saya artikan pula sebagai forum formalitas yang membuat kesemua peserta forum tak pernah tahu akan berbuah kebijakan apa, setelah pemerintah mendengar hasil dari rembuk nasional yang diselenggarakan di Unair atau beberapa kampus di kota-kota besar lainnya. Mengingat, sebuah pernyataan paling terakhir dari seorang utusan TNI AL yang ternyata bercerita tentang pentingnya cyber resillience dan cyber security untuk melindungi aset-aset alusista kemiliteran negara. Bagi utusan dari TNI AL itu, “ketika kita bicara tentang data atau informasi, sebenarnya kita sedang berbicara tentang sebuah perang.” Pikiran itu saya pikir begitu segar, logis dan berani. Karena hanya dengan data dan informasi hasrat unutk melukai dan menyerang seseorang, apapun itu dimensinya, menjadi mungkin. Sebuah kasus yang melegitimasi pentingnya cyber security dalam dunia kemiliteran, terjadi lantaran sebuah kasus yang tak pernah dipublis ke masyarakat. Sebuah roket berdaya ledak hebat dengan radius jangkauan wilayah yang cukup luas, hasil dari pembelian alusista pabrikan negara lain, didalamnya sangat mungkin terdapat virus atau microchip yang dapat mensabotase fungsi dari roket terebut yang semula menyerang lawan, justru dapat berbalik menyerang kembali (bunuh diri). Semua peserta rembuk nasional berdecak, dengan nada miris, entah sinis atau prihatin. Kecurigaan pihak militer terbukti, bahwa ada semacam virus malware yang sulit dilacak, telah mensabotase program dari peluncuran roket, dan sumber virus tersebut adalah berasal dari negara pembuat roket tersebut. Pertanyaan utusan TNI AL itu, lebih kepada adanya kecemasan akut jika negara Indonesia masih saja bergantung pada pembelian alusista dan tak pernah berupaya untuk berani menciptakan alusista secara mandiri. Maka sabotase akan sangat mungkin terjadi dan mencelakai negara ini.

Kasus yang kedua, dialami oleh TNI AL sendiri, sebuah program kapal perang yang dimiliki TNI AL, pernah pada suatu ketika diretas oleh hacker yang tak dapat terdeteksi secara langsung saat peretasan itu terjadi. Fatal, apa yang terjadi mesin utama kapal tersebut mendadak mati akibat sabotase program yang dilakukan oleh hacker tersebut. saya kita pembajakan kapal selam Rusia seperti difilm The Fate of the Furious (2017) menggunakan serangan cyber hacker cuma khayalan belaka, ternyata pernah terjadi sungguhan. Pertanyaan semakin berat, bahkan jauh diluar batas silang-sengkarut berita hoax yang bertebaran di kepala masyarakat dan para akademisi.

Tapi apa jawaban para pakar. Kita sama-sama perlu adanya regulasi yang baru tentang perizinan untuk menciptakan alusista kemiliteran dalam negeri yang mandiri. Sebuah jawaban atas keputusasaan para ademisi  berhadapan dengan regulasi, prosedural, intrik politik ribet, akibat politik kepentingan dan politik kekuasaan, yang miring akalnya.

 

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu