x

Ilustrasi remaja sedih atau galau. Pxhere.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bila Terlibat Konflik, Introspeksilah

Menyalahkan orang lain cenderung memperburuk situasi konflik. Mengapa tidak mencoba melihat ke dalam?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Rasa kesal kepada teman sekerja demikian memuncak, sehingga terlontar dari mulut Anda: “Coba saja dia keluar dari tim, kerja kita pasti cepet beres.” Sebagian teman Anda mungkin mengangguk-anggukkan kepala, yang lainnya termangu menatap wajah Anda yang memancarkan rasa kesal. Ketika tidak seorangpun mengucapkan sepatah kata ‘ya, betul’ tanda setuju, rasa kesal Anda pun kian meningkat.

Berada dalam situasi konflik dengan rekan satu tim memang berpotensi membuat kita tidak nyaman. Suatu ketika, kita mungkin berada pada satu titik: ingin orang itu pergi dari kehidupan kita. Anda merasa sudah bekerja sebaik mungkin demi keberhasilan tim, tapi Anda juga merasa telah diperlakukan secara tidak layak.

Jamak terjadi, dalam setiap konflik, pihak yang terlibat menyalahkan orang lain.  Ibarat pepatah lama: “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak terlihat.” Pertanyaannya: apakah yang jamak dilakukan itu berarti benar?

Dalam bukunya yang belum lama terbit, Divine Time Management, Elizabeth Grace Saunders mengatakan: menyalahkan orang lain dalam konflik tidak akan mengurangi ketegangan, melainkan malah menambah rasa frustrasi. Terlebih lagi bila orang yang Anda anggap salah itu bersikap cuek atau bahkan menentang tudingan Anda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang dapat dilakukan? “Cobalah lihat ke dalam, introspeksi,” kata Saunders. Jangan biarkan diri Anda hanya melulu memandang orang lain salah. Saunders menawarkan sejumlah tips.

Pertama, coba perjelas apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Anda terprovokasi oleh apa yang orang lain lakukan atau tidak lakukan, sangat mungkin ada sesuatu yang tersembunyi di bawah permukaan. Periksa situasi yang membuatmu naik darah dan eksplorasilah dalam konteks yang lebih luas. “Apa yang terjadi saat rasa kesal itu muncul pertama kali? Apakah waktu itu saya sedang lelah, tertekan, lapar, atau tidak dalam kondisi baik secara mental, emosional, spiritual maupun fisik?”

Kedua, cobalah eksplorasi, mengapa hal itu memicu rasa kesalmu. Lazimnya, kata Saunders, reaksi emosional kita terhadap situasi bersama orang lain lebih berkaitan dengan diri kita sendiri ketimbang dengan orang lain. Ketika kita merespon orang lain secara negatif, sangat mungkin kita sedang merasa tidak nyaman, tidak aman atau terancam, atau takut.

Ketiga, ayo kita atasi ketakutan kita sendiri. Satu-satunya cara untuk benar-benar terbebas dari bersikap negatif dan marah secara berlebihan terkait hubungan dengan orang lain (baik personal maupun profesional), kata Saunders, ialah dengan menemukan  ketakutan kita dan mengatasinya. Kita dapat mengatasi soal ini dengan beralih fokus pada apa yang dapat kita kerjakan dan bukan pada apa yang mitra kita tidak dapat berkontribusi. Cara ini lebih produktif. Ini membuat kita tidak terganggu oleh perilaku mitra kita.

Keempat, berkomunikasilah secara jelas. Betapapun Anda merasa frustrasi dengan apa yang dilakukan mitra kerja Anda, ingatlah bahwa mengungkapkannya secara berlebihan tidak akan meringankan. Lebih baik jelaskan saja apa yang terjadi dan katakan bahwa Anda menginginkan perubahan. Sampaikan alasannya. Setelah itu, beralihlah untuk mencari solusi: “Kita satu tim, dan saya ingin kita bekerja sama dengan baik. Tolong jelaskan apa yang dapat mencegah situasi ini terjadi lagi di masa mendatang?”

Melihat ke dalam diri sendiri adalah pendekatan yang dapat dicoba untuk mengelola konflik agar tidak semakin buruk. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler