x

Iklan

Fahmy Radhi

Pengamat Ekonomi Energi UGM
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inefisiensi di Balik Penggemukan Direksi Pertamina

Tanpa pemangkasan struktur direksi tersebut, inefisiensi Pertamina akan terjadi secara terus menerus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berdasarkan Surat Keputusan Nomor: SK-256/MBU/11/2017, tentang Pengangkatan Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno memutuskan mengangkat secara resmi Nicke Widyawati sebagai Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) PT Pertamina (Pesero) mulai tanggal 27 November 2017. Nicke Widyawati sebelum menjabat sebagai Direktur Pengadaan Strategis 1 pada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero),

Dengan demikian genap sudah, direksi Pertamina menjadi 10 direktur, yang terdiri: Direkstur Utama, Direktur Keuangan, Direktur Hulu, Direktur Gas, Direktur Pemasaran,  Direktur Manajemen Aset, Direktur Pengolahan, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko, Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia, dan Direktur SDM.

Bandingkan dengan era kepemimpinan Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto pada 2014, jajaran direksi Pertamina hanya 6 direktur, yang terdiri: Direktur Utama, Direktur Keuangan,  Direktur Hulu, Direktur Pemasaran, Direktur Pengolahan, Direktur Teknologi Informasi dan Umum. Bukannya memangkas jumlah direktur, Rini malah mendukung Pertamina dalam pengemukan direksi, yang berpotensi memicu inefisiensi Pertamina.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengumumkan terjadinya penurunan laba bersih pada semester I tahun 2017. Laba bersih semester pertama 2017 tercatat US$ 1,4 miliar atau turun 24 persen dibandingkan semester yang sama pada 2016. Elia juga meneriakkan bahwa penyebab turunnya laba tersebut karena keputusan pemerintah untuk tidak meningkatkan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga akhir tahun.

Dalam kondisi bisnis yang hampir serupa, Direktur Utama sebelumnya Dwi Soetjipto justru mampu menaikkan laba sekitar US$ 1,83 miliar pada semester pertama 2016 atau naik sebesar 221% dibanding periode yang sama pada 2015. Peningkatan laba Pertamina itu bukan berasal dari peningkatan pendapatan penjualan, tetapi lebih dipicu oleh efisiensi besar-besaran yang dilakukan oleh Pertamina, di bawah kepemimpinan Direktur Utama Dwi Soetjipto.

Dengan membandingkan antara penurunan laba Pertamina pada 2017 dengan peningkatan laba pada 2016, klaim Elia, bahwa penurunan laba 2017 lebih disebabkan tidak dinaikkannya harga BBM Premium, tidak beralasan. Pasalnya, Pemerintah juga tidak menaikkan harga BBM Premium sepanjang 2016, pada saat kepemimpian Dwi Soetjipto. Bedanya, pada 2016 Pertamina mampu meningkatkan efisiensi, sedangkan pada 2017 terjadi inefisiensi. Salah satu sumber inefisiensi itu adalah penggemukan direksi Pertamina, yang tentunya membengkakan pengeluaran biaya operasional Pertamina

Saat ini sesungguhnya tidak ada urgensi bagi Pertamina untuk melakukan penggemukan direksi. Alasannya, Pertamina tidak melakukan ekspansi usaha secara signifikan, bahkan kapasitas dan volume usaha Pertamina cenderung semakin menurun. Oleh karena itu, Pertamina seharusnya merombak struktur direksi dengan mengkas 10 direktur menjadi 6 direktur. Keenam direktur itu, terdiri: Direktur Utama, Direktur Hulu, Direktur Pengolahan, Direktur Pemasaran, Direktur Keuangan, dan Direktur SDM. Sedangkan keempat direktur, yang terdiri: Direktur Gas,  Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko, Direktur Manajemen Aset,  dan Direktur Megaproyek dan Petrokimia sebaiknya ditangani oleh Senior Vice President (SVP).

Tanpa pemangkasan struktur direksi tersebut, inefisiensi Pertamina akan terjadi secara terus menerus. Lagi-lagi, Pertamina akan mencari kambing hitam untuk menutupi inefisiensi yang berkepenjangan itu. Tidak dinaikkan harga BBM Premium, Penugasan distribusi BBM di luar Jawa, Madura dan Bali (Jamali), dan Kebijakan BBM Satu Harga akan selalu menjadi kambing hitam, manakala pendaptan Pertamina mengalami penurunan drastis, seperti yang terjadi pada periode 2017.(Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Anti-Mafi Migas)

Ikuti tulisan menarik Fahmy Radhi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB