x

Ahed Tamimi menggigit tentara Israel (Independent)

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ahed Tamimi: Teruslah Mengigit untuk Keadilan dan Kemanusiaa

Kisah Ahed Tamimi, gadis Palestina yang memberikan teladan untuk cinta dan keberanian yang menghadapi ketidakadilan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ahed Tamimi

Teruslah Mengigit untuk Keadilan dan Kemanusiaan

Kebanyakan anak gadis berumur 16 tahun akan lebih senang menghabiskan waktu dengan berbagai aktifitas “jaman Now”. Aktifitas untuk tetap eksis diantara kerumunan kelompok umurnya walau tidak semua hedonis destruktif, tapi hampir dipastikan ada dalam zona aman dan nyaman. Namun bagi seorang gadis bernama Ahed Tamimi di Tepi Barat Palestina semua kemewahan itu tidak ia lakukan.  Perempuan muda kelahiran 30 Maret 2001 ini mengambil jalan lain yang mengguncangkan dunia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia memang sejak dilahirkan di desa Nabi Salih tidak merasakan apa yang dirasakan kebanyakan anak-anak lain. Kendati ia tidak dilahirkan dalam jaman perang-perang besar perebutan tanah Palestia, namun ia merasakan apa artinya ketidakmerdekaan dalam sebuah kondisi negara yangtidak jelas.  Berbagai intimidasi dan kekerasan harus ia hadapi ketika tanah nenek moyangnya sedikit demi sedikit diambil  dan kemudian diakui bukan lagi tanah Palestina untuk pelebaran pemukiman Yahudi.

Kota-kota Tepi Barat yang kerap dibuat secara kosmetik sebagai aman dan tentram demi penghasilan devisa bermilyar dollar para peziarah Kristen, tidaklah dirasakan oleh Ahed dan keluarga serta sanak saudaranya. Ia dan kawan-kawan mengalami hari-hari penuh dengan kepenatan akan ketidakpastian masa depan. Ia juga harus dihadapkan pada kekuatan bersenjata yang terus menerus mengancam hak hidup orang-orang sipil bahkan perempuan dan anak-anak.

Kenekatan Ahed pertama kali justru direkam dalam sebuah episode anak dan perempuan yang harus menghadapi kekerasan. Di bulan Agustus 2012, ketika ia baru berusia 11 tahun, mempertahankan ibundanya yang akan ditahan oleh tantara Israel. Sebuah keberanian yang luar biasa yang dipertontonkan oleh seorang anak untuk cinta kepada ibu, tanah dan negaranya.  Oleh karenanya Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada waktu itu memuji tindakan sang putri belia dengan keberaniannya yang di atas rata.

Oleh karena cintanya pada Palestina pula, setelah beberapa insiden lain, pada tanggal 15 Desember 2017 lalu ia ditangkap oleh tentara Israel setelah ia meluapkan amarahnya dengan melakukan perlawanan khas anak perempuan, menggigit dan menendang. Pada hari Tahun Baru 2018, tepat pada 1 Januari, Pengadilan Tepi Barat menjatuhkan 12 dakwaan terhadap Ahed untuk tindakan perlawanan yang ia lakukan. Seorang gadis belia harus menghadapi kekerasan jeruji dan mengorbankan masa depannya ketika harusnya ia dapat menikmati dalam keceriaan dan kenyamanan.  

Namun bagi seorang Ahed, perlawanan terhadap ketidak adilan sudah menjadi bagian sejak ia dilahirkan. Bukan saja secara genetis ia dilahirkan dari keluarga Tamimi yang jelas dan berani melakukan perlawanan kepada aneksasi Israel, tetapi ia memang diharuskan oleh lingkungan untuk berani melakukan tindakan-tindakan luar biasa ini. Kecintaannya pada tanah, keluarga dan kebebasan menjadikan seorang gadis kecil bisa menggunakan nurani dengan benar dan mengolahnya menjadi sebuah keberanian tak bertepi.

Ahed menjadi ikon perlawanan yang bukan melulu rentan dituduh teroris seperti dakwaan terhadap pejuang Palestina sebelumnya apakah itu PLO ataupun Hamas. Ahed adalah pemakai hati nurani yang didasari kecintaan untuk menghadirkan kedamaian bagi mereka yang sudah terus menerus menghadapi kekerasan. Baginya Intifada adalah benar-benar sebuah perjuangan “melepaskan diri”, bukan saja dari kekerasan militer, tetapi juga melepaskan diri dari intimidasi manusia yang satu terhadap yang lain.

Dunia kembali harus belajar pada tahun 2018 ini , bahwa ada banyak Ahed lain yang masih mengalami kekerasan oleh elemen State Terrorism seperti yang dilakukan oleh Israel terhadap Negara Palestina yang berdaulat. Kekerasan yang sama juga masih terjadi kepada Ahed-Ahed lain di belahan dunia yang berbeda, ketika kebuasan kekuasaan untuk menaklukan manusia lain dengan kejamnya mengorbankan anak-anak dan perempuan. Hal ini sudah dan sedang terjadi kepada gadis-gadis Rohingya, berbagai suku di Afganistan, kekejaman Boko Haram di Afrika dan berbagai belahan dunia lain.

Dari Palestina yang menderita, kita belajar bahwa kekuatan cinta dapat melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan. Dari cinta seorang Ahed untuk ibunya, saudaranya dan handai taulan serta tanah kelahirannya, ia berani hadir dengan tegas mengatakan, “Israel berhentilah dengan kekerasan untuk memaksakan kehendak”. Semua itu bukan ia dilakukan dengan alat-alat kekerasan, tetapi dengan tubuh yang diberikan Tuhan kepadaanya, gigi dan elemen tubuhnya yang bisa ia gunakan.  Ia lengkapi cinta dengan keberanian dan miliknya yang apa adanya.

Ahed Tamimi, teruslah mencintai. Teruslah berani untuk melawan ketidakadilan, dan teruslah melakukan apa yang luar biasa untuk menjadikan bukan hanya gadis-gadis di usiamu saja yang sadar, tetapi kami dan dunia yang sering bebal dan masa bodoh melihat ketidakadilan disadarkan oleh kekuatan cinta dan keberanianmu.Sudah tentu penyadaran ini juga harus terus diteriakkan kepada Mr Trump, Mr Netanyahu, Mr Abbas dan semua yang lain termasuk Tuan Jokowi. Semuanya untuk nurani yang berkeadilan dan penuh cinta.

Sembari mendoakan engkau yang harus mengalami ketidakpastian masa depan, rasanya tidaklah terlalu salah untuk terus mendorong mu Ahed dengan mengatakan “TERUSLAH MENGGIGIT UNTUK MELAWAN KETIDAKADILAN”. Tuhan besertamu , juga anak-anak dan perempuan Palestina

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler