x

Iklan

Sari Novita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jika Sawit Tidak Ada di Nusantara

pro dan kontra mengenai sawit membuat saya penasaran, dan sedikit mencari tahu. Sebab, Jokowi sampai mengatakan "Sawit adalah Indonesia."

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagaimana jika tanaman sawit tidak ada lagi di Nusantara? Apakah mampu menyelesaikan masalah yang terjadi selama ini, misalkan pro dan kontra akibat politik dan persaingan bisnis? Komoditas sawit pun mendapatkan penolakan tinggi dari sebagian masyarakat Nusantara sendiri. Kebakaran, kepunahan spesies, kerusakan pada tanaman lain, deskriminasi, pertikaian hak milik tanah, haus air, dan berbagai hal lain merupakan penyebabnya. Pertanyaannya sekarang, “Apakah kita benar-benar mengenal tanaman ini yang telah memberikan devisa terbesar kepada negara?”

Nusantara memiliki luas perkebunan sawit 11, 9 juta hektar, seluas 4,6 juta  hektar milik perkebunan rakyat, 6,1 juta hektar milik swasta, sisanya milik negara dan plasma. Sekitar 5,3 juta rakyat adalah petani sawit, jika sawit harus dimusnahkan, berarti perlu ekstra kerja menganti sumber pendapatan mereka, tidak saja pada petani tapi juga pelaku-pelaku sawit lainnya. Sampai di sini, masalah belum tentu selesai, sebab, sawit mempunyai manfaat yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia.

            Sawit dikenal menghasilkan minyak nabati untuk kebutuhan manusia. Produk turunannya, minyak goreng termasuk salah satu 9 bahan pokok masyarakat yang setiap hari digunakan. Selain sawit, ada juga minyak dari pohon kelapa dan bunga matahari. Khasiat sawit lainnya yang juga sama dengan kelapa dan bunga matahari dari sisi kesehatan: penangkal radikal bebas, kesehatan jantung, kolesterol. Sedangkan bunga matahari dan sawit juga mempunyai manfaat untuk menjaga kesehatan otak dan mentega. Tanaman kedelai juga mempunyai manfaat yang tidak jauh berbeda dengan ketiga tanaman tersebut. Bicara tingkat produksi dan konsumsi minyak nabati di dunia, kedelai, sawit, sunflower, dan rapeseed, berada di jajaran paling atas dibanding komoditas lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Menurut Dr. Puspo Edi Giriwono, Kepala Seafast Center IPB, minyak sawit mengandung hampir  50% asam lemak jenuh dan hampir 50% asam lemak tidak jenuh, menunjukan komposisi yang seimbang dan paling sehat dibanding minyak nabati lain. Minyak kedelai, bunga matahari, dan jagung, hampir 85-90% mengandung asam lemak tidak jenuh dan 10-15% asam lemak jenuh. Sedangkan minyak kelapa, kebalikan dari hitungan kandungan minyak kedelai, bunga matahari, dan jagung. Bagaimana angka tingkat konsumsi dunia?

            Berdasarkan data OECD/FAO, 2015, sebesar 83% minyak nabati di dunia dikonsumsi sebagai bahan pangan (oleofood) dan rata-rata konsumsi mencapai 19 kg/kapita. Tingkat konsumsi per kapita tertinggi: Amerika Serikat dan Kanada 38 kg, EU 24 kg, Cina 22 kg, dan Indonesia 19 kg. Menurut proyeksi badan-badan dunia, penduduk dunia tahun 2050 akan berjumlah sekitar 9,2 miliar orang dan  diperirakan konsumsi per kapita oleofood dunia akan meningkat menjadi 25 kg.

Sampai di sini, mari kita bergeser ke soal panen.

Sawit bisa panen sampai 2 kali per bulan, sedangkan kelapa 1 kali dalam sebulan,  bunga matahari 1 kali per 3 bulan, dan kedelai panen 1 kali per 3 bulan—malah  di Bantul, kedelai tidak bisa ditanam terus-menerus sepanjang tahun. Satu ton minyak sawit bisa dihasilkan hanya dari lahan seluas 0,25 hektar, sedangkan minyak pada kelapa dan rapeseed [rapa] dihasilkan dari lahan 1—1,5 hektar.

Sejenak, biarkan saya berbicara secara personal mengenai komoditas sawit.

Sebetulnya, saya ragu menulis artikel ini, jika disuruh memilih, saya akan lebih senang menulis tentang kakao, kelapa, dan kopi. Namun, di dunia ini, Tuhan tidak menciptakan sesuatu yang sia-sia atau tidak bermanfaat. Tuhan juga memberikan akal, pikiran, dan rasa agar manusia belajar dari peristiwa yang memberikan dampak tidak baik. Seperti masyarakat ketahui, sawit memiliki manfaat yang banyak, tapi telah memberikan dampak hayati yang tidak baik. Akhirnya, saya mewawancarai beberapa pelaku sawit dan orang yang bersentuhan dengan perkebunan secara langsung bahkan ada yang melalui direct message Instagram. Sebab, antara geliat dan antipati masyarakat terhadap sawit, membuat saya penasaran. Sawit dan image-nya, ibarat yin dan yang.

Beberapa bulan lalu, saya bertemu petani kakao di Kalimantan Timur yang secara terang-terangan menolak lahan kebunnya digunakan sebagai lahan sawit. Alasan mereka sangat masuk akal: tanah yang mereka miliki adalah tanah leluhur, sawit merusak tanaman lain, boros air, membunuh hewan bahkan hewan yang nyaris punah. Saat saya bertanya tentang ISPO? Mereka angkat bahu.

Cerita lain, saya dapatkan setelah mendengar press conference “Eropa Berusaha Membunuh Petani Sawit Indonesia”, 26 Januari 2018, Jakarta. Di salah satu daerah, banyak orang yang protes mengapa perusahaan sawit masih saja melakukan deskriminasi pekerja dan menganggu ekosistem. Ternyata setelah dicek, perusahaan tersebut belum memiliki sertifikasi ISPO (Indonesia Suistainable Palm Oil system). Apa pula itu ISPO? Apakah sulit untuk mendapatkan ISPO, jika iya, mengapa Indonesia tidak memperkuat tanaman lain yang manfaatnya sama dengan sawit? Mengapa harus sawit?

Berbagai sumber jawabannya kompak, “Sebab, kita sudah punya teknologi sawit yang risetnya masih eksis selama 100 tahun ini. Sumber masalah sebenarnya adalah persaingan bisnis, ya, politik!”

“Dulu, kelapa dibilang tidak bagus untuk kesehatan, sekarang sawit yang diserang. Ya, sama siapa lagi kalau bukan dari negara-negara besar itu.”

“Saat ini yang memungkinkan untuk memenuhi lonjakan minyak nabati, ya, sawit.”

Jawaban terakhir ini terkait dengan tingkat konsumsi dan panen. Berikutnya, saya akan coba menjawab pertanyaan saya pribadi melalui  hasil wawancara dan riset online saya terkait ISPO.

***

 

Sawit dan Komoditas Minyak Nabati Lain

 

Empat agroekosistem berkelanjutan, adalah produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, dan ekuitabilitas.” – Gordon R. Conway (1986).

 

Pada tanggal 18 Januari 2018, Parlemen Eropa menyetujui proposal UU energi terbarukan, yang bagian isinya, melarang penggunaan minyak sawit untuk biodiesel mulai tahun 2021. Mengenai hal ini, Asmar Arsyad, petani sawit dan Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia mengatakan, “Itu berarti Eropa sedang berusaha membunuh 5,3 juta petani sawit Indonesia.

            “Jika Eropa melarang sawit, boikot saja produk mereka di Indonesia.”

            Saya cukup mengerti ucapan kekesalannya itu. Penghasilan dari perkebunan sawitnya, beliau mampu membiayai kuliah anak dan  membantu keluarga besarnya. Komoditas sawit tidak saja membantu Asmar, tapi juga mengentaskan kemiskinan dan pendorong pembangunan desa. Yang otomatis memengaruhi perkembangan aspek sosial  masyarakatnya.

            Beliau menambahkan bahwa petani sawit bersama pemerintah telah mengutamakan pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan. Para pelaku dan pemerintah telah dan terus menjalankan pelatihan GAP (Good Agricultural Practices) yang menerapkan pratik berkelanjutan untuk meningkatkan produktivitas. Dunia pun telah mengakui bahwa sawit merupakan tanaman paling feasible memenuhi permintaan minyak nabati secara global tanpa memerlukan lahan besar.

            Presiden Jokowi pun turut bertindak. Saat pagelaran ASEAN di Manila yang membahas deskriminasi, dengan lantang, “Kalau Anda mendeskriminasi sawit, itu berarti Anda menghujat negara produsen sawit, sama saja Anda mengecam Indonesia.”

           

             Deskriminasi yang diangkat selalu dibandingkan dengan minyak nabati yang lain, terutama yang diproduksi oleh Uni Eropa, padahal subtansinya adalah keberlanjutan yang paling penting: berapa jumlah lahan yang diperlukan untuk memproduksi komoditas tertentu?

Atau bahasa lain dari produktivitas. Semakin kecil jumlah produktivitas semakin besar jumlah lahan yang dibutuhkan. Produktivitas minyak nabati sawit antara 5-10 kali lebih besar dari yang lain.  Artinya, jika  dunia tidak memiliki sawit, maka diperlukan lahan baru 10 kali lebih luas untuk menghasilkan minyak nabati yang sama. Dalam konteks inilah sawit paling suistainable.

Untuk mengenal tanaman penghasil minyak nabati lainnya, terutama kedelai, bunga matahari, dan rapeseed, silahkan mencari sendiri di internet. Sebab, tulisan ini akan panjang bila disebutkan satu per satu. Tapi saya akan mengutip kalimat Musdalifah Mahmud, Deputi ‎Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 6 Desember 2016.

“Minyak sawit mentah atau CPO mempunyai produktivitas paling tinggi dibandingkan dengan jenis minyak nabati lain. Sebagai contoh, total lahan minyak nabati dunia mencapai 276 juta hektar.

“Soybean mempunyai luas lahan yang paling besar yaitu 122 hektar dengan produksi sebesar 45,8 juta ton atau 0,4 ton per hektar. Rapeseed memiliki luas lahan 36 juta hektar dengan produksi sebesar 25,8 juta ton atau 0,7 ton per hektar.

“Luas lahan sunflower  mencapai 25 juta dengan produksi 15,9 juta ton atau 0,6 juta ton per hektar.‎ Dan, CPO hanya dengan luas lahan sebesar 16 juta hektar, namun produksinya bisa mencapai 65 juta ton atau 4 ton per hektar.

“Untuk memenuhi kebutuhan 60 juta ton minyak nabati hingga tahun 2025, setidaknya dibutuhkan 115 juta hektar lahan baru kedelai dengan asumsi produktivitas 0,52 ton per hektar. Bila dipasok dari sunflower, membutuhkan 84,2 juta hektar lahan baru dengan asumsi produktivitas 3,96 ton per hektar.

“Jika dipasok dari rapeseed, setidaknya membutuhkan 60,7 juta hektar lahan baru dengan asumsi produktivitas sebesar 0,99 ton per hektar. Dan, kebutuhan minyak nabati yang dipasok CPO, hanya membutuhkan 15,2 juta hektar lahan baru dengan asumsi produktivitas 3,96 ton per hektar.”

Jawaban saya tentang tingkat konsumsi dan produktivitas tanaman minyak nabati terjawab. Itu dari segi lahan dan produktivitas. Lalu, apa kabarnya ketidakseimbangan lingkungan, hayati, deskriminasi, dan lainnya, yang kerap menjadi pro dan kontra terhadap tanaman sawit?

***

 

Tentang ISPO

 

Tujuh tahun lalu, 2009, ISPO didirikan di Indonesia. Sebelum tahun 2016, pemberian verifikasi ISPO hanya dilakukan sekali setiap tahunnya. Tahun 2016 dan 2017, setiap tahunnya dilakukan 3 kali verifikasi. Sampai saat ini, sejumlah 592 sertifikat ISPO telah diberikan kepada  perusahaan, plasma, asosiasi, dan petani, Para produsen sawit bersertifikasi ISPO telah memproduksi total berjumlah 8. 757.000 ton sawit.  

            Proses mendapatkan ISPO memang tidak mudah, tapi bukan dari sisi administrasi melainkan ketentuan-ketentuannya dan kepatuhan produsen. Sebuah perusahaan sawit, sejak tahun 2012 sampai sekarang belum mampu memenuhi kriteria dan ketentuan ISPO sehingga memunculkan kesan sulit mendapatkan ISPO.

            ISPO didirikan bertujuan untuk menjamin perkebunan sawit yang berkelanjutan. Ada tujuh prinsip dan kriteria yang harus dipenuhi perusahaan dan perkebunan kelapa sawit:

1. Sistem Perizinan dan Manajemen Perkebunan

2. Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit

 3. Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan

 4. Tanggung Jawab Terhadap Pekerja.

5. Tanggung Jawab Sosial dan Komunitas

 6. Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat

 7. Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan

Prinsip dan Kriteria ISPO untuk Sustainable Palm Oil Production (P&C ISPO) merupakan panduan umum untuk produksi minyak sawit secara berkelanjutan. Ketujuh prinsip dan kriteria yang di dalamnya membahas legalitas perkebunan, kepemilikan kebun yang harus jelas, tata kelola lahan gambut, mencegah kebisingan, hak berserikat termasuk deskriminasi anak, keselamatan, kesehatan, dan jaminan, serta menghormati masyarakat adat, lahan adat, sumber  air situs sejarah, dan lainnya tetap dijaga kelestariannya.

Lahan gambut hanya dapat dilakukan di lahan kawasan budidaya yang memiliki ketebalan 3 meter, kematangan saprik, dan hemik, di bawah lahan gambut bukan lapisan pasir kuarsa (tanah sulfat asam), membamngun system tata air, mengatur drainase, membuat sarana jalan, terasering, rorak, penanaman tanaman penutup tanah, membuat dokumentasi saat pembukaan lahan dan memberikan pernyataan bahwa lahan dibuka tanpa bakar.

Terkait pengelolaan lahan, pelaku usaha sawit wajib mengikuti SOP pembukaan lahan baru tanpa bakar, sebelumnya melakukan studi kelayakan dan memperhatikan konservasi lahan. Lahan tidak dapat ditanam dibawah kemiringan 30%, lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter, dan hamparan lebih dari 70%.

P&C ISPO mengikuti UU Menaker. Peraturan Menteri Pertanian  No 19/ Permentan /OT 140/ 3/ 2011, mulai diberlakukan pada tahun 2014, yang mewajibkan semua perusahaan atau produsen kelapa sawit memiliki sertifikasi ISPO.

ISPO pun selalu diperiksa oleh 12  lembaga independen audit sertifikasi  yang  melakukan upgrade, 7 lembaga internasional (2 lembaga milik negara Jerman, Swiss, Prancis, Italia, Australia, dan negara lain), dan 1184 auditor yang menjamin kredibilitas ISPO di lapangan. Pun, setiap perusahaan wajib memiliki minimal internal auditor yang menjaga sustainability dan sertifikasi. Saat ini, ada delapan lembaga konsultan yang setiap dua bulan melakukan pelatihan auditor ISPO. Kewajiban memiliki auditor juga diberlakukan untuk koperasi yang menaungi para petani sawit.

Produsen kelapa sawit di Nusantara wajib menjalankan 16 UU Kepatuhan secara terus-menerus. Agar kesadaran menjaga keseimbangan lingkungan, keberlanjutan, ekonomi sosial, dan peningkatan daya saing, tetap memiliki kredibilitas.

Sertifikasi perihal perkebunan sawit di negara lain, tidak ada mengenai kepatuhan tersebut. Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah, memberikan sanksi bagi yang tidak menerapkan prinsip ISPO, termasuk prinsip internasional. Indonesia sudah menerapkan program B20, sedangkan negara tetangga masih B5. ISPO juga mengikuti perkembangan dan permintaan negara-negara yang kita ekspor, terutama negara Eropa.  Pada tahun 2020,  100%  eskpor produksi sawit harus sustainable dan dipantau oleh Euoropean Sustanable Palm Oil (ESPO). Publikasi resmi dari ESPO 23 November lalu, ISPO juga dipantau di sana. Sekarang sudah  69%, targetnya 100%, Indonesia sekitar  1,9 juta hektar, pada bulan November dan  Desember sudah mencapai 2. 000.041 hektar. Sedangkan,  Malaysia baru 260 ribu hektar. Sayangnya, ISPO di luar negeri sering dinggap lebih jelek daripada MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil). Itu berarti masyarakat dunia belum percaya Indonesia akibat masa lalu dengan kenangan yang tidak baik, masih melekat di kepala mereka. Atau hal lainnya?

            Perluasan lahan sawit di Indonesia pun masih dinilai deforestasi, padahal jika ditilik dari asal-usul lahan, kebijakan tata ruang, dan definisi hutan FAO, merupakan sistem reforestasi. Pemanasan global yang terjadi mengalami peningkatan konsentrasi CO2 akibat penggunaan energi fosil. Untuk menghindari pemanasan global dan perubahan iklim global, tanaman yang berkemampuan menyerap CO2 dari udara, seperti sawit, perlu diperbanyak. Menurut para pelaku sawit, tanaman ini merupakan salah satu “paru-paru” dunia. Benarkah sawit mampu mengurangi emisi gas rumah kaca? Silahkan baca https://sawitindonesia.com/rubrikasi-majalah/berita-terbaru/kontributor-terbesar-pemanasan-global/   dan artikel tersebar lainnya mengenai hal ini.

            Hanya sebagai informasi, menurut narasumber yang bicara saat press conference “Eropa Berusaha Membunuh Petani Sawit Indonesia”, Indonesia ialah negara pertama di dunia yang menerapkan sistem sertifikasi pada tanaman sawit. Sebelum mendapatkan sertifikasi ISPO, produsen harus mempunyai kebun kualitas 1,2, atau 3. Dan ini tidak terdapat  pada sertifikasi sawit negara lain. Sekali lagi, silahkan mencari tahu sendiri mengenai hal tersebut.

            Perihal standar ISPO, perusahaan sawit pun harus terintegrasi dengan pabriknya. Di Nusantara, lahan sawit dikelola maupun dimiliki oleh kebun rakyat, kebun swadaya, kebun plasma. Ketiganya ini harus terus dibimbing menuju ISPO, dan sifatnya masih sukarela, dan pemilik kebun saja juga pabrik saja, wajib memenuhi syarat ISPO. Petani yang bergabung dalam koperasi, jika ingin produknya dijual impor, perlu mengikuti koperasi sawit yang sudah ISPO.

Insitusi parlemen Eropa mengeluarkan Sawit dan defortasi. Pemberitaan dekriminasi. Juga dilakukan berbagai studi yang melihat bagaimana kelanjutan sawit, dan dari media atau LSM. Ada juga dari perusahaan Eropa yang banyak label/merk yang malah tidak mengandung palm oil. Kenapa hanya palm oil yang dianak-tirikan?

Bukan hanya dari segi produktivitas bahkan dilihat dari paling tinggi tujuannya, elemen pengurangan kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan, sawit dapat mewujudkannya.  

Parlemen Eropa telah  menyampaikan posisinya dengan mengeluarkan komoditas sawit dari biodiesel.  Meski keputusan mereka belum final. Sementara keputusan belum menemukan hasil bulat, Indonesia dan Malaysia berupaya menjalankan opsi terbaik untuk menyirnakan “black campaign” dan hambatan lain, melalui  sistem keberlanjutan, sertifikasi sawit, perbaikan kualitas dan produktivitas, dan lainnya yang telah tertera di atas.

            Menunjukan bahwa ESPO (European Sustainable Palm Oil) menaruh perhatian pada Indonesia dan memantau berjalannya ISPO.

            Sebab, “Sawit adalah Indonesia.” Begitulah ucapan Presiden Jokowi.

            Jika sawit tidak ada di Nusantara, bagaimana menurut Anda? Mari kita telusuri lebih lanjut untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan, “mengapa harus sawit?”

          Apabila sawit bagus untuk Nusantara dan dunia, dukunglah petani sawit kita, jika tidak, Anda tahu yang terbaik apa yang harus dilakukan. 

           

Sumber artikel:

  1. http://www.ispo-org.or.id/images/pearturan/LAMPIRAN%20VI%20PC%20Swadaya.pdf
  2. Jurnal Tekno Global Volume 5 No. 1 Desember 2016, “Konsep perkebunan sawit berkelanjutan” oleh Herda Sabriyah Dara Kospa.
  3. www.gapki.id
  4. https://manfaat.co.id/manfaat-kelapa-sawit


[1] http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2016/SAWIT%202014-2016.pdf

 

Ikuti tulisan menarik Sari Novita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler