x

Iklan

mimin diya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Paradigma Salah Terhadap Pembebasan LGBT

LGBT semakin berani unjuk gigi dan diakui keberadaannya oleh masyarakat. Disisi lain ada paradigma yang salah terhadap kemaksiatan dalam sistem ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Isu LGBT ditengah-tengah masyarakat semakin meluas. Gerakan LGBT semakin nyata untuk menunjukkan identitas mereka pada masyarakat. Bahkan ketua gay nasional berspekulasi bahwa perilaku LGBT sebagai hak individu yang sah-sah saja diambil. Artinya setiap individu bebas untuk mengatur urusannya sendiri.
 
Hingga muncul survey dari lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang hasilnya menyatakan bahwa 57,7 persen setuju bahwa para pelaku LGBT memiliki hak hidup (25/01/2018). Hal ini tampak semakin memperkuat kebebasan LGBT, yakni bahwa sekalipun perilaku LGBT bertentangan dengan agama, tetap akan diperjuangkan haknya & dilindungi eksistensinya.
 
Anggapan terhadap komunitas LGBT yang kecil dan tidak berbahaya ini apabila tidak ada kejelasan hukum yang melarang akan terus eksis. Sejalan dengan penolakan judicial review oleh Mahkamah konstitusi dari aliansi cinta keluarga (AILA) untuk mengkriminalisasikan LGBT. Pernyataan lain dari Wapres beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa selama LGBT hanya pada ranah pribadi dan tidak berkampanye keluar maka belum ada masalah yang serius. Padahal pada Mei 2015 komunitas LGBT turun jalan untuk menutut legalitas aktivitas. Pergerakan LGBT pun begitu masif di dunia maya bahkan praktek di lapangan menyasar pemuda pemudi secara luas.
 
Para LGBT semakin memaklumi perilaku mereka adalah bagian dari fitrah diri manusia yang diberikan oleh Tuhan. Alasan ini yang disuarakan terus oleh pegiat LGBT. Seolah-olah Tuhan memberi potensi kecenderungan akan sesuatu pada manusia tanpa memberi aturan yang konkrit. Yang ada justru adalah orang-orang sekuler, orang yang memisahkan agama dari kehidupan dan membuat aturan sendiri untuk mengatur hidupnya.
 
Negara pun mengalami pergolakan pro dan kontra dalam menangani masalah LGBT. Hingga terhembus kabar dari ketua MPR  bahwa 5 fraksi partai politik DPR menolak pembahasan RUU KUHP yang membahas perluasan delik pidana pegiat LGBT yang tidak hanya terbatas penyasar anak-anak saja. Perbedaan frekuensi dalam menyikapi persoalan ini menunjukkan belum adanya satu standar pasti dan benar di kalangan wakil rakyat.
 
Sejatinya apa yang menjadi standar dalam menyikapi masalah LGBT inilah yang perlu untuk diluruskan. Fitrahnya manusia dia bergantung pada sesuatu, yakni sang pencipta sekaligus pengatur, Allah swt. Maka dalam memecahkan masalah kehidupan sesuai aturan-Nya. Dan setiap hukum perbuatan dalam agama Islam telah jelas yang bisa dijadikan standar.
 
Namun, lagi-lagi standar agama Islam ini belum diterapkan dan seringkali dipilah-pilah untuk mengatur urusan tertentu. Maka dalam penyikapan masalah, seperti LGBT terjadi perbedaan pendapat tergantung pada kepentingan individu masing-masing. Bahkan pelegalan LGBT digadang sebagai upaya politik dalam pemilu. Padahal Islam adalah agama yang sempurna serta sebagai pandangan hidup (ideologi) yang mengatur seluruh sendi kehidupan.
 

Dalam masalah LGBT, Islam sudah melarang secara tegas, sekalipun itu hanya satu orang saja. Karena aturan agama sudah jelas, manusia diciptakan berpasangan laki-laki dan perempuan untuk melanjutkan keturunan. Akan kacau jika ada pernyataan bahwa pegiat LGBT bisa menghasilkan keturunan lewat jalan sewa rahim. Maka ini akan merusak garis keturunan manusia. Ini satu dari dampak perilaku LGBT. Tentunya masih banyak masalah yang timbul jika agama dijauhkan dari pegaturan LGBT.

 

Perilaku LGBT memang tidak bisa dianggap remeh, melihat semakin hari komunitas mereka semakin besar dan semakin lantang bersuara. Maka harus ada keberanian negara untuk menerapkan aturan yang mengatur seluruh lini kehidupan masyarakat, yakni aturan Islam. Islam memberi solusi pencegahan LGBT melalui pemahaman aturan hubungan lawan jenis, yang mampu menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai fitrahnya. Hingga penerapan sanksi hukuman mati, bukan untuk membatasi hak hidup seseorang seperti hasil pers SMRC, namun justru untuk menjaga kelangsungan hidup manusia secara normal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik mimin diya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB