x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Banjir Jakarta dan “Senjata Air” dalam Perang Oktober 1973

Air adalah sumber kehidupan dan kenikmatan. Tapi air juga bisa menjadi senjata pembunuh yang efektif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam mempersiapkan Perang Oktober 1973 untuk mengusir Israel dari Semenanjung Sinai, militer Mesir sudah hampir rampung mempersiapkan segalanya dan semua tahapan detail pertempuran telah disimulasikan sesuai rencana. Kecuali satu pertanyaan yang belum terjawab: bagaimana cara efektif menembus Benteng Berlief, yang dibangun Israel di sepanjang sisi timur Terusan Suez?

Semua jenis persenjataan telah disimulasikan untuk menerobos Benteng Berlief itu. Dan hasilnya: disimpulkan semuanya kurang efektif. Jikapun efektif, resikonya harus menanggung korban jiwa yang lebih banyak di pihak militer Mesir. Dan kemungkinan kalah menjadi lebih besar.

Padahal dalam teori perang, pihak penyerang tidak boleh mengawali serangan kecuali jika sudah memastikan asumsi kemenangan berdasarkan analisis yang rasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan untuk mengawali penyerbuan merebut wilayah Semenanjung Sinai yang dikuasai Israel sejak Perang 1967, tantangan pertama bagi militer Mesir adalah menaklukkan dulu Benteng Berlief itu.

Singkat cerita, muncul seorang insinyur Mesir, yang mengusulkan penggunaan “senjata air” untuk menerobos Benteng Berlif. Usulan ini langsung diujicoba dan disimulasikan.

Selang raksasa disiapkan, mesin pompa didesain agar bisa menyedot dan memuntahkan air dengan kekuatan maksimal. Penyangga selang didesain, karena selang besar itu tidak mungkin dipegang oleh tangan manusia. Hasilnya: simulasi penerobosan konstruksi Benteng Berlif hancur porak poranda, bukan dengan peluru artileri, tapi akibat air yang meresap ke pori-pori konstruksi beton, semen yang yang sudah kering atau tanah yang dipadatkan, dan menghancurkannya.

Dan kita tahu, Perang 1973 akhirnya dimenangkan oleh Mesir.

Yang unik dari “senjata air” dalam Perang 1973 itu adalah karena bukan hanya menghancurkan Benteng Berlief, tapi juga mengacaukan pasukan lawan (Israel).

Militer Israel tidak pernah membayangkan bahwa Benteng Berlief, yang ketahananannya telah diujicoba dan disimulasikan lalu disimpulkan “tangguh”, ternyata berantakan oleh “senjata selang air”. Para prajurit Israel yang sedang bertugas di pos-pos jaga di sepanjang sisi timur Terusan Suez itu, terkaget-kagat dan lari seperti anak-anak yang baru habis mandi.

Militer Israel benar-benar terdadak. Karena selain senjata “selang air”, waktu awal serangan yang dirancang oleh militer Mesir adalah jam 12.00 di siang bolong, di bulan bulan Ramadhan pula. Dalam sejarah perang, pihak penyerang umumnya menentukan waktu mulai serangan pada jam 00.00 tengah malam.

Kisah Perang Oktober 1973 di atas, yang diulas secara detail dan memukau oleh Mohamed Hassanain Heikal dalam dua bukunya: The Road to Ramadan (1975) dan October War (1980), tiba-tiba muncul di ingatan saya, setelah mengamati luapan “kemarahan air” dari wilayah Bogor pada Senin, 05 Februari 2018: air menggerus segala yang dilewati, mengikis tanah lereng yang memicu longsor, seolah air itu memprotes kenapa daerah alirannya semakin sempit dan dangkal, lalu menggenangi wilayah alirannya yang telah disulap menjadi pemukiman atau bangunan.

Pesannya klasik dan sederhana: air adalah sumber kehidupan dan kenikmatan. Tapi air juga bisa menjadi senjata pembunuh yang efektif, penyengsara banyak orang, bila kita tidak pernah mau belajar dari bencana banjir Jakarta, yang terjadi dari tahun ke tahun.

Syarifuddin Abdullah | 06 Februari 2018 / 21 Jumadil-ula 1439H

Sumber foto: pinterest.com

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler