Soe Hok Gie dan Strategi Kritik Mahasiswa Pada Pemerintah
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBSelain menuangkan gagasan tertulis di media massa, Gie juga ahli dalam merancang strategi mengkritisi pemerintah. Dia adalah inspirasi mahasiswa Indonesia.
Ilustrasi Gambar : Demonstrasi Tritura Mahasiswa Januari 1966 (Sumber : 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid.2 1965-1973)
Beberapa waktu lalu mahasiswa kembali melancarkan aksi kritik pada pemerintahan Jokowi. Adalah Zaadit Taqwa, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang membuat terkejut banyak pihak dalam Dies Natalis ke-68 UI (2 Februari 2018). Bak seorang wasit, Zaadit meniup peluit seraya mengacungkan map kuning sesaat setelah Presiden Jokowi berpidato. Ia meminta pemerintah untuk segera mengirimkan bantuan dan mengatasi gizi buruk di Asmat, Papua.
Zaadit bukanlah yang pertama mengkritik pemerintah dengan cara yang frontal. Jauh sebelum itu, kita tentunya masih ingat akan sosok Soe Hok Gie. Pemuda dan mahasiswa berperawakan kurus kecil namun bergagasan besar dan menginspirasi mahasiswa sejak dulu hingga sekarang. Sosok aktor intelektual gerakan mahasiswa 1966 ini tak hanya tajam lewat goresan penanya di media massa. Tapi juga piawai merancang strategi dibalik layar aksi-aksi demonstrasi mahasiswa kala itu. Setidaknya, ada beberapa strategi brilian Gie dalam menggerakkan mahasiswa dan membuat kaget pemerintah kala itu.
Membuat Kelompok Diskusi Kecil Nan Masif di Kampusnya
Ignas Kleden dalam buku Masyarakat dan Negara menegaskan bahwa tujuan pendidikan bukan hanya menciptakan orang berkeahlian semata, namun orang dengan kemampuan belajar yang lebih tinggi. Kemampuan itu bisa tercipta salah satunya dalah dengan model diskusi. Itulah yang nampak pada sosok Gie. Dia mengumpulkan teman-teman sepemikiran seperti Aristides, Ismid Hadad (juru bicara Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, KAMI kala itu), Herman Lantang, dan lainnya untuk bertukar pandangan dan pikiran.
Dari diskusi-diskusi inilah kelak tercetus ide gerakan mahasiswa menuntut sebuah rezim baru. Setelah ide muncul, teman Gie seperti Herman Lantang, Jopie Lasut, Bolie Londa menggerakkan mahasiswa Fakultas Sastra dan Fakultas Psikologi UI. Ia juga memiliki akses yang mudah untuk bertemu dan berbincang langsung dengan rektor UI. Radio UI menjadi corongnya saat menyebarkan gagasannya
Mengempesi Mobil Para Pejabat Pemerintah Saat Berdemo
Tidak ada ide gila selain yang tercetus oleh Gie dan kawan-kawannya. Saat itu, tanggal 10 Januari 1966 para mahasiswa turun ke jalan sebagai tindak lanjut Tritura alias tiga tuntutan rakyat kala itu. Pertama, tentang pembubaran PKI. Kedua, tuntutan pembersihan kabinet dari unsur-unsur PKI. Ketiga adalah tuntutan penurunan harga bahan pokok.
Salah satu ekspresi dan ide gila Gie muncul untuk mengempesi ban mobil para pejabat dan menteri. Ada alasan dibalik aksi tersebut. Sebagaimana diungkap oleh Marsillam Simanjuntak ketua KAMI Jaya kala itu, aksi pengempesan dilakukan agar mobil anggota kabinet DWIKORA tak bisa bergerak.
Menyampaikan Gagasan di Gerbong-Gerbong Kereta
Hidup bak di jaman batu bukan perkara mudah untuk menyebarkan sebuah gagasan atau berita. Kreatifitas dituntut untuk meretas hal-hal yang tak terbatas. Inilah yang dilakukan oleh Gie dan kawan-kawan. Dalam suatu malam Gie dan sepasukan kawannya bergerak kearah stasiun Gambir. Mereka memburu kereta yang akan berangkat ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka menempeli gerbong-gerbong kereta dengan pamflet berisi Tritura.
Tujuan penempelan pamflet tersebut tak lain dan tak bukan adalah untuk menyampaikan gagasan dan pesan-pesan ke daerah-daerah. Sungguh ide brilian dari Gie, mengingat pada jaman itu media sosial belum ada dan sarana komunikasi masih terbatas. Tak seperti sekarang isu politik dan hangat serta viral dengan mudah menyebar via media sosial hingga ke pelosok negeri. Tapi Gie dan kawan-kawannya memiliki gagasan untuk mem-viralkan pesan mereka melalui satu cara, kereta.
Strategi Long March Menuntut Penurunan Tarif Kendaraan Umum
Kegelisahan Gie akan kenaikan tarif kendaraan umum saat itu ia tuangkan dalam buku catatannya. “Beberapa mahasiswa sedang asyik berbicara serius tetapi panas tentang kenaikan harga bus dari Rp. 200 menjadi Rp. 1000. Suasana seperti lama kuduga..”. Tutur Gie dalam buku hariannya bertarikh 1966 itu. Kegelisahan demi kegelisahan mahasiswa kala itu mulai menumpuk dengan permasalahan politik bangsa. Maka diputuskanlah long march dari Salemba-Rawamangun.
Dalam buku hariannya, Gie menuliskan peserta aksi sebanuak 50 orang. “Aku adalah arsitek dari long march ini. Tujuanku tak banyak. Aku ingin mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah...mereka juga harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya.”. Gie berharap long march tak sekedar masalah tarif, tapi merupakan aspek kecil saja dari perjuangan rakyat. Sontak, aksi ini pun membuat macet dan menyedot perhatian.
Paket Gincu untuk Anggota Dewan
Artikel yang ditulis Gie bertajuk ‘Generasi yang Lahir Setelah Tahun 45 ‘ menyebutkan baha pemuda pasca kemerdekaan menghadapi dua realitas baru. Idealis dengan cita-cita non kompromis ataukah kompromi dengan situasi baru, bergabung dengan kelompok penjilat. Kelompok yang kedua inilah yang menarik perhatian Gie , yang mana tak sedikit teman seperjuangan memilih jalur kedua ini. Mereka menjadi anggota dewan.
Bersama kawannya Gie membeli aneka barang perempuan seperti gincu, bedak, dan kutang. Semua barang itu dipersiapkan untuk teman sesama aktivis 66 yang kini duduk manis di kursi dewan di Senayan kala itu. Gie kecewa karena teman-temannya itu kini sudah tak kritis dan tak ada yang berani. Ada 13 mahasiswa kala itu mengisi kekosongan di dewan karena anggotanya berafiliasi dengan PKI pasca persitiwa 65. Ke-13 mahasiswa ini dulunya kritis bersama Gie, namun ketika berada di kursi dewan mereka seolah memilih jalur kompromistis. Inilah puncak kekecewaan Gie.
Gagasan Adalah Senjata Utama
Gagasan adalah senjata utama Gie, diatas kertas dia menuliskannya dengan pena tajamnya. Tulisannya mengusik kekuasaan dan perpolitikan, isu sosial yang dibahas secara kritis. Tak hanya soal bangsa, Gie tak segan mengkritisi kampusnya sendiri yang dinilainya tak beres. Gagasan yang dia tulis serta analitisnya yang tajam berserakan di berbagai media cetak, seperti Sinar Harapan, Indonesia Raya, dan Kompas serta surat kabar lainnya kala itu.Dan kini kumpulan tulisannya telah dibukukan dalam buku bertajuk ‘Zaman Peralihan’. Bakat menulis Gie adalah bakat turunan dari sang ayah, Soe Lie Piet yang juga seorang penulis dan wartawan. Catatan kritis Gie pertama dibuat saat dia duduk di bangku SMP, Gie mengkritisi gurunya. Lambat laun Gie tumbuh menjadi seorang demonstran kaya gagasan yang ia goreskan lewat pena tajamnya.
Gie yang lahir pada era Perang Pasifik, 17 Desember 1942 harus meninggalkan dunia secara cepat dan tragis. Asap beracun Semeru merenggutnya tepat sehari sebelum ulang tahunnya ke-27, 16 Desember 1969. Walaupun Gie telah tiada lebih empat dekade silam , gagasan dan pemikirannya masih menginspirasi mahasiswa dan siapa saja yang kritis hingga kini.
Sumber Referensi :
- Tim Penyusun. 2017. “Gie dan Surat-Surat yang Tersembunyi”. Jakarta : KPG & Tempo Publishing
- Rudy Badil, et.al. 2009. “Soe Hok Gie : (Sekali Lagi...) Buku Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya”. Jakarta : KPG
- Soe Hok Gie. 2011. “Catatan Seorang Demosntran”. Jakarta : LP3ES
- Ignas Kleden. 2004. “Masyarakat dan Negara : Sebuah Persoalan”. Magelang : Indonesia Tera
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Cara Mengisi Kemerdekaan di Era Digital ala Pengusaha Muda Surabaya
Sabtu, 14 Agustus 2021 13:02 WIBMenjaga Relasi dengan Klien? Begini Tips Efektifnya!
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler