x

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kelaparan dan Vegetarianisme

Menurut Ayah, istri saya sedang membunuhnya pelan-pelan. Saya tidak sepenuhnya percaya, tapi itulah yang ada dalam pikiran Ayah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menurut Ayah, istri saya sedang membunuhnya pelan-pelan.

Saya tidak sepenuhnya percaya, tapi itulah yang ada dalam pikiran Ayah. Dengan suara baritonnya yang semakin hari semakin rendah mendekati bass, dia bertanya pada istri saya—sekurang-kurangnya tiga kali:

"Apa kamu mencoba membuatku mati kelaparan?"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pasti ada dasar logikanya, karena Ayah saya tak pernah menuduh seseorang tanpa dasar. Sejak pindah ke rumah kami lima bulan yang lalu, kesehatannya semakin memburuk. Dari hari ke hari tubuhnya semakin kurus saja. Ingatannya semakin pendek dan begitu pula helaan napasnya. Mungkin karena pneumonia yang dideritanya sebelum tinggal bersama kami.

Di sisi lain, gejala tersebut memang konsisten dengan kelaparan. Saya menemukan hal itu setelah berselancar di internet. Internet mengajari saya, meski, saya menyadari bahwa saya bukan seorang dokter. Saya sadar itu, karena ada keterangan di internet yang mengatakan bahwa bukan dokter seharusnya tidak membuat diagnosa mengenai hal-hal seperti itu.

Pastinya, saya seharusnya tidak berkomentar mengenai kesehatan Ayah atau masakan istri saya. Bahkan sebelum Ayah pindah, saya tidak pernah sekalipun bertanya padanya. Bertanya tentang penyakitnya adalah hal tabu. Ayah saya selalu menganggap dirinya lelaki tangguh, meski dia adalah orang terpendek di keluarga kami.

Dia adalah tipe ayah yang suka mengatakan ‘Aku masih bisa berteriak ke telingamu’, meski saya atau adik laki-laki saya berdiri tinggi menjulang di hadapannya. Sebenarnya, kakak perempuan saya juga tingginya melebihi Ayah. Tinggi badan Ayah 160 cm. Ibu saya 165 cm. Kami tiga bersaudara semuanya di atas 180 cm. Pasti faktor keturunan.

Istri saya—tingginya hanya 157 cm—menganggap dirinya koki yang ahli. Dia bahkan pernah berbicara tentang keinginannya menulis sebuah buku tentang memasak suatu hari nanti. Saya tertawa terbahak-bahak saat dia memberitahukan hal itu.

Selama saya mengenalnya, dia memasak berdasarkan resep dari buku masakan. Bagi saya, itu tidak benar-benar menjadikan seseorang ahli memasak.

Beberapa tahun lalu, saat dia bercerita tentang buku resep masakan yang akan ditulisnya, sambil tertawa terbahak-bahak hingga mengeluarkan air mata, saya berkata:

"Ide bagus, sayang. Saya akan menulis buku tentang pelanggaran hak cipta."

Akibatnya, kami tidak berhubungan badan selama hampir tiga bulan. Dia tidak menganggap kata-kata saya lucu.

Sejak Ayah saya mulai berkomentar tentang mati kelaparan, kami juga belum pernah lagi berhubungan badan.

Saya tidak menyalahkan Ayah dan tidak menyalahkan istri saya, tapi saya benar-benar tidak mengerti apa hubungannya kegiatan suami istri dengan hal-hal di luar ranjang.

Seks sepertinya menyenangkan bagi kami berdua. Sebagai catatan, saya mengatakan ‘kami berdua’—terutama dalam konteks hubungan badan—mengacu pada saya dan istri, bukan ‘saya dengan Ayah saya’, bukan pula ‘Ayah dan istri saya’.

Saya berpendapat bahwa seks harusnya dipisahkan dari hal-hal lain.

Istri saya bertanya:

"Berarti juga dipisahkan dari cinta?"

Pertanyaan yang masuk akal. Namun, jika saya menjawab 'ya', maka saya menyalahkan pendapat saya sendiri. Namun, jika saya mengatakan tidak, maka dia akan menangis tersedu-sedu.

"Kamu tidak mencintaiku lagi," katanya atau omong kosong yang serupa dengan itu.

Sebetulnya saya ingin berkata padanya bahwa Ayah saya juga tidak merasa dicintai. Jangan salah paham dulu, kami mencintainya. Buktinya saya dan istri membiarkan dia tinggal bersama kami.

Sepertinya sulit membayangkan pasangan yang baik hati seperti kami mengizinkan orang lain berbulan-bulan menumpang di rumah kami, ayah atau bukan. Tapi juga sekaligus, bukan mustahil membayangkan pasangan tuan rumah yang baik seperti kami membiarkan tamunya kelaparan sampai mati.

Kedua hal itu bisa benar pada saat bersamaan membingungkan saya.

Sekali lagi, jangan salah paham dulu.

Istri saya tidak akan pernah membuat Ayah kelaparan dengan sengaja. Jadi saya menduga dia melakukannya tanpa sadar. Menurut dugaan saya, keputusannya menjadi vegetarian enam bulan lalu bisa menimbulkan masalah kesehatan.

Saya sendiri telah kehilangan berat badan sepuluh kilogram sejak dia memutuskan untuk menjadi vegetarian. Hanya dalam waktu enam bulan.

Pada saat itu saya tidak menganggapnya sebagai kelaparan, meski nyatanya masih selalu sedikit lapar. Lagi pula, kami tetap berhubungan badan meskipun dia menjadi seorang vegetarian dan meskipun saya sering merasa sedikit lapar.

Namun, Ayah saya sering kelaparan. Ternyata laparnya Ayah merupakan gejala tetap kelaparan dan vegetarianisme. Ada korelasi erat di antara keduanya. Ada manusia yang menjadi vegetarian dan cukup makan, contohnya istri saya. Dan yang lainnya tidak cukup makan, seperti yang tampak pada Ayah.

Setelah makan malam tadi, ketika istri saya sedang membereskan meja makan, Ayah berbisik kepada saya di ruang keluarga:

"Kamu punya makanan lain? Dia membuatku mati kelaparan."

Mendadak istri saya memasuki ruangan. Dia duduk di samping saya dan melingkarkan lengannya dengan penuh kasih sayang di bahu saya sembari sebelah tangan lain mengelus perut mungilnya. Kami telah berbicara untuk memiliki anak, jadi mungkin dia sedang memikirkannya. Saya juga berpikir lengan di bahu saya berarti kita bisa mencoba membuat bayi malam ini. Saya salah.

Dia menghela napas panjang seperti yang biasa dilakukan oleh pemeran sinetron.

"Rasanya kenyang sekali."

Bagi saya ini berarti ‘jangan berharap berhubungan badan malam ini’.

Sedangkan Ayah saya menganggap ini berarti dia juga diharapkan untuk kenyang. Maka Ayah menjawab:

"Aku bisa makan selada sebagai makanan penutup."

Kemudian kami bertiga diam.

Saya sendiri tidak lapar atau terlalu kenyang, meski mungkin saya bisa makan makanan penutup, atau berhubungan seks. Sebagai catatan lagi, saya tidak pernah menyamakan seks sebagai makanan penutup seperti kebanyakan orang.

Saat ini, lewat tengah, saya satu-satunya yang masih terjaga di rumah ini. Saya berselancar di internet meneliti korelasi seks dan kelaparan.

Saya menemukan kasus seorang istri dengan sengaja membuat keluarganya kelaparan. Namun, saya cukup yakin bahwa saya tidak akan menikah dengan wanita yang mencoba membuat orang kelaparan.

Karena saya tidak punya rencana untuk menceraikan istri saya, saya berasumsi bahwa dia tidak berniat membuat Ayah saya mati kelaparan.

Saya hanya berpikir Ayah kelaparan karena makan makanan vegetarian.

 

Bandung, 19 Febriari 2018

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

30 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB