x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Data-isme dan Ancaman bagi Kemanusiaan

Data-isme sedang tumbuh menjadi paham baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Jika engkau mengalami sesuatu, rekamlah. Jika engkau merekam sesuatu, unggahlah. Jika engkau mengunggah sesuatu, bagikanlah.”

--Motto baru

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Di New York Times, Februari 2013, David Brooks menulis: “Andaikan Anda meminta saya untuk menyebut filsafat yang sedang naik daun saat ini, saya akan menyebutnya Data-isme.” Ya, data. Ketika teknologi informasi dan segala perangkat pendukungnya terus berkembang, produksi data mencapai angka yang sukar dibayangkan. Big data, big data, big data menjadi kata yang terus terngiang.

Organisasi yang sadar-data melakukan pekerjaan yang di masa lampau dilakukan secara manual: menambang data. Produksi data berlimpah, sumber data tak terbilang. Data pun semakin diakui sebagai aset penting institusi apapun: perusahaan, pemerintah, partai politik, ormas, rumah sakit, pebisnis, konsultan, analis, dan tentu saja mereka yang berkiprah dalam riset.

Sedemikian dianggap strategis, sehingga sebagian orang memuja data sebagai kunci dalam menemukan solusi yang tepat untuk setiap masalah. Kata Brooks lagi: “Di dunia dengan kompleksitas yang meningkat, bertumpu pada data dapat mengurangi bias-bias kognitif dan kita memperoleh pencerahan mengenai pola-pola perilaku yang belum kita perhatikan.”

 ‘Penganut’ data-isme sungguh terobsesi dan menjadikan data sebagai ‘segalanya’. Dalam bukunya yang terbit dua tahun lalu, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, sejarawan Yuval Noah Harari menyebut seseorang yang memercayai Big Data dan algoritma komputer sebagai seorang Datais. Bagi para Datais, menurut Harari, seluruh struktur politik atau sosial yang bersaing dapat dilihat sebagai sistem pemrosesan data yang saling bersaing. “Kita dapat menginterpretasikan keseluruhan spesies manusia sebagai sistem pemrosesan data yang tunggal, dengan individu manusia sebagai chip-nya,” kata Harari.

Dalam bentuk ekstremnya, pendukung Data-isme memandang keseluruhan semesta sebagai aliran data, melihat organisme lebih-sedikit dari algoritma biokmia, dan percaya bahwa panggilan kosmis manusia ialah menciptakan sistem pengolahan data yang mencakup semuanya—dan kemudian bergabung ke dalamnya. Perasaan dikaitkan dengan mekanisme biokimiawi dan probabilitas. Rasa takut akan kematian muncul karena algoritma biokimia menghitung seluruh data yang relevan dan menyimpulkan bahwa probabilitas kematian itu tinggi.

Sebagai sebuah paham atau ideologi, kata Harari, Data-isme punya perintah-perintah praktis. Sebutlah di antaranya, seorang Data-is harus  memaksimalkan aliran data dengan menghubungkan semakin banyak media. “Kebebasan informasi,” kata Harari, “adalah kebaikan terbesar bagi semua orang.” Ia menyebut Aaron Swartz, anak muda yang menggantung diri ketika hendak dituntut karena membocorkan ratusan ribu makalah ilmiah dari arsip JSTOR sebagai ‘martir pertama’ Data-isme.

Bagi Harari, Data-isme menyodorkan tantangan eksistensial terhadap ideologi kemanusiaan. Terlebih ketika nilai suatu fenomena atau entitas dilihat dari kontribusinya terhadap pengolahan data. “Gagasan kehendak bebas sedang terancam,” ujarnya lagi. “Ketika sistem Big Data mengetahui diri saya lebih baik dibandingkan saya sendiri, otoritas akan bergeser dari manusia ke algoritma.” Manusia mencari jalan keluar dari persoalannya dengan berpaling pada data dan algoritma: di mana tempat tinggal yang aman dari kejahatan dan bencana, bagaimana cuaca sepekan ke depan, hingga siapa orang yang tepat untuk menjadi teman hidup.

Big data, sayangnya, juga menyimpan bahaya di dalamnya. Bila sistem penambangan data semakin mumpuni, maka organisasi bisnis dan pemerintahan dapat menggunakannya untuk memata-matai konsumen atau warga negara dengan banyak cara. Entitas bisnis memerlukannya untuk memproduksi barang yang yang disukai konsumen hingga memasarkan secara tepat. Pemerintah menggunakannya untuk memantau gerak-gerik masyarakat. Di sisi lain, kemampuan sistem ini dapat terus ditingkatkan dengan menambah jumlah prosesor, menambah keragaman prosesor, menambah koneksi antarprosesor, dan meningkatkan transfer informasi di antara prosesor.

Pembahasan Harari tentang data-isme memang menantang kita untuk berpikir tentang fenomena data yang tengah berlangsung di tengah kita, dan kita berada di dalamnya. Namun memahami kesadaran dan perasaan manusia sebagai wujud dari algoritma biokimiawi terkesan berlebihan. Terlebih lagi ketika nilai (kemanusiaan) kita ditentukan hanya oleh data yang kita hasilkan—akankah kemanusiaan tersingkirkan oleh kecerdasan buatan? Ah, ini mengingatkan pada pandangan Cartesian-Newtonian yang melihat alam semesta sebagai himpunan atom-atom yang bekerja sebagai mesin. Dalam hemat saya, pendukung Data-isme tampak begitu reduksionis  dan mengabaikan kemampuan manusia dalam mengatasi tantangannya selama beratus abad, termasuk tantangan dari data yang ia produksi. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB