x

Iklan


Bergabung Sejak: 1 Januari 1970

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menghindari Penguasaan Militer Secara Politik

Penguasaan terhadap organisasi ketentaraan merupakan salah satu ukuran bagi kemampuan dari kekuasaan politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Ikhsan Yosarie

 

Penguasaan terhadap organisasi ketentaraan merupakan salah satu ukuran bagi kemampuan dari kekuasaan politik (Taufik Abdullah, dalam seri Prisma, 1995:35). Dalam hal ini, dapat kita pahami bahwa kekuasaan politik berupaya menginfiltrasikan kekuasaan dan pengaruhnya ke dalam institusi profesional, dalam hal ini militer, agar institusi tersebut berada di bawah pengaruhnya dan membantu melaksanakan agenda kekuasaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

TNI jangan menjadi alat “mati” bagi negara. Ini menjadi suatu keharusan bagi TNI secara institusi untuk meminimalisir kemungkinan-kemungkinan upaya penguasaan militer secara politik. Penguasaan militer secara politik, memunculkan relasi antara penguasa-militer yang tidak sehat. Militer bukan lagi menjadi alat negara, tetapi alat kekuasaan.

Pada era demokrasi, supremasi sipil menjadikan militer tunduk kepada otoritas sipil. Filosofi demikian bisa dipahami mengapa militer bisa menjadi alat negara, dan berada dibawah kendali pemerintah sipil yang sah. Namun, dalam hal TNI sebagai alat negara, ada hal penting yang tidak boleh luput dalam pengawasan. Ini bukan lagi persoalan intervensi militer terhadap politik. Tetapi sebaliknya, intervensi kekuasaan politik penguasa sipil kedalam urusan internal militer. 

Dalam relasi sipil-militer, indikasi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa terhadap penggunaan militer tetap ada. Menurut Samuel Huntington, ada dua relasi yang mencerminkan hubungan sipil-militer dalam suatu negara. Pertama, Subjective Civilian Control atau Civilianizing the Military, merupakan keadaan ketika salah satu dari sejumlah kekuatan yang berkompetisi dalam masyarakat berhasil mengontrol tentara dan menggunakannya untuk tujuan dan kepentingan mereka. Pola ini juga memungkinkan militer dikendalikan oleh korporasi, yang terjadi melalui perantara kelompok yang berkuasa.

Relasi ini dilakukan dengan cara maximizing civilian power atau memperbesar kekuasaan sipil atas militer. Kekuasaan sipil disini diartikan sebagai kekuasaan kelompok-kelompok tertentu. Kontrol sipil dan relasi sipil-militer yang demikian disisi lain bisa merusak internal militer dan menimbulkan fraksi perwira didalam institusi militer. Birokrasi militer tidak boleh dicampuri sipil. Karena imbasnya adalah hutang budi dari pihak perwira yang bersangkutan kepada sipil yang membantunya dalam politik praktis. Profesionalitas militer menjadi taruhan dalam infiltrasi politik sipil. Antisipasi terbesar dalam pola relasi ini adalah ketika militer membawa senjata ke dalam ranah demokrasi.

Pengendalian militer dalam pola relasi ini mengancam demokrasi. Titik jenuhnya adalah kita kembali kepada rezim otoritarianisme. Otoritarianisme mengingatkan kita ketika Orde Baru berkuasa. Demokrasi tidak tumbuh, karena negara berada pada posisi lebih kuat dari masyarakat, terutama dengan dukungan militer. Sehingga negara memiliki kemampuan untuk meredam masyarakat sipil. Kondisi ini biasa disebut relasi zero-sum, yaitu ketika negara lebih kuat dari masyarakat.

Alat yang Hidup

UU No.34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia secara eksplisit menyatakan bahwa TNI adalah alat negara, dengan keputusan politik negara sebagai lampu hijau pergerakannya. Ini menjadi bukti mutlak supremasi sipil atas militer.

Perbedaan alat yang hidup dengan alat yang mati itu sederhana. Meskipun konotasi kata “alat” itu mengarah kepada benda mati, tetapi dalam hal ini pemaknaannya kita personifikasikan. Militer sebagai alat negara yang hidup, maksudnya adalah militer memiliki ruh. Ruh yang mampu memilih, memilah, dan merasa untuk menjaga profesionalitas mereka. Menjaga profesionalitas ini penting untuk menghindari militer dari infiltrasi kekuasaan politik dan penting untuk menjaga jati diri TNI sebagai tentara rakyat, bukan sebagai tentara penguasa.

Jenderal Sudirman pun dulu tidak menyangkal bahwa posisi militer merupakan alat negara. Tetapi, bersamaan dengan itu tentara juga merupakan pejuang kemerdekaan. Jenderal Sudirman tidak ingin pemerintah hanya memberi perintah tanpa adanya musyawarah terlebih dahulu dengan militer. Sudirman tidak ingin melaksanakan perintah tanpa tau mengapa perintah itu diberikan (Salim Said, 2006: 33). Jenderal Sudirman sebelumnya juga sudah mengatakan bahwa kesetiaan tentara adalah kepada ideologi negara, yang berarti bahwa tentara akan senantiasa bersikap kritis terhadap segala bentuk keputusan dari kabinet atau pemerintah sipil  yang di dapat dari paham atau ideologi golongan tertentu, yang di anut oleh berbagai partai pendukung pemerintah (Ulf Sundhaussen, 1988: 58). Sikap Jenderal Sudirman ini menggambarkan bahwa sebenarnya TNI itu adalah alat negara yang hidup.

Sebagai alat yang hidup, militer tentu juga harus paham tupoksi dan batas-batas perannya sesuai UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Tidak kalah penting, kesadaran demikian turut membantu membangun relasi sipil-militer yang kondusif.  Menurut Huntington, relasi yang yang dimaksud adalah Objective Civilian Control atau Militarizing the Military, yaitu pengendalian sipil objektif. Ini adalah pola relasi yang kedua. Caranya dengan dengan memberikan semacam otonomi kepada militer atau dengan memperbesar profesionalisme institusi militer. Pemberian otonomi kepada institusi militer ini penting, untuk menghindari intervensi sipil dan hutang budi perwira militer kepada elit sipil yang berjasa terhadap karirnya.

Menyerahkan sepenuhnya kepada pihak militer tentang segala urusan kemiliteran adalah pilihan terbaik. Namun, kekuasaan kaum militer juga diminimkan. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya jalur koordinasi urusan kebijakan militer antara TNI dan Kemenhan. Tetapi, hal ini tentu dengan tidak menghilangkan kekuasaan dan kekuatan militer itu sendiri. Ini dilakukan dalam rangka memperbesar profesionalisme kaum militer. Suatu korps perwira yang profesional, seperti halnya di barat, selalu siap melaksanakan kehendak golongan sipil manapun yang merupakan kekuasaan atau pemerintahan yang sah di suatu negara (Nugroho Notosusanto, dalam seri Prisma, 1995:13).

Dari catatan sejarah tersebut, bisa kita pahami bahwa kekuatan politik militer terlalu menggiurkan untuk tidak dimanfaatkan oleh kekuasaan sipil. Kekuatan politik militer juga bisa dimanfaatkan sebagai pilar penopang kekuasaan rezim. Sehingga, kalaupun militer tetap di posisikan sebagai alat negara dan bergerak sesuai keputusan politik negara, pengerahannya pun harus berhati-hati. Jangan sampai militer digerakkan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Untuk itu, TNI tidak boleh sekedar menjadi “alat mati” untuk negara. Relasi sipil dan militer menjadi tidak stabil ketika salah satu pihak melakukan infiltrasi berlebihan. Apalagi jika itu dilakukan dengan dalih kekuasaan. Marwah dan semangat cinta tanah harus menjadi ruh TNI dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Ini juga sebagai upaya menjaga amanat reformasi dan ketangguhan TNI kita sebagai TNI yang profesional dan kuat. Dan itu juga berarti TNI membentengi diri dari upaya infiltrasi politis pihak sipil, dan antisipasi relasi Subjective Civilian Control tadi.

 

Note : Tulisan ini pernah terbit di rubrik opini Koran Padang Ekspres, edisi 13/02/2018.

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler