x

Iklan

sabiqcarebesth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demokrasi Kafe dan Politik Gaya Hidup

politik telah menjadi gaya hidup, ia sejalan dengan kebutuhan akan hedonisme. Bagaimana kita menguatkan Demokrasi indonesia di tengah kehidupan populer?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di Jakarta khususnya, politik yang sesungguhnya tampaknya ada di kafe-kafe, mereka menggelar dialog membincangkan ihwal politik dari yang acara resmi—meeting, konferensi pers, diskusi publik, sampai yang sekedar ngobrol santai. Tapi intinya adalah bagaimana mengkomunikasikan kemungkinan. Bisa jadi karena politik Indonesia berkembang dalam dua hal terakhir; komunikasi dan kemungkinan.

Komunikasi berlangsung sebagai instrument utama politik Indonesia. Komunikasi dalam arti seluas-luasnya, di mana sebuah pandangan politik mungkin tersampaikan dan mempengaruhi tindakan masaa dan dengan itu seorang atau kelompok bisa ‘mensetting’ kehendak politiknya. Komunikasi berlangsung di dunia nyata dan dan di dunia maya. Kedua dunia itu menjadi medan utama politik akhir-akhir ini di mana gosip-gosip politik terasa lebih kumandang dari gosip-gosip menyangkut rumah tangga selebritas misalnya.

Saya kadang berpikir dan bertanya; kenapa masyarakat  Indonesia begitu menggemari politik? Dan lebih spesifiknya kenapa di Jakarta politik begitu digemari di kafe-kafe? Memang tidak semua orang ke kafe untuk bicara politik, mereka kerap juga ke kafe memang untuk ‘ngafe’, makan dan minum dengan obrolan santai. Tapi itu tidak seberapa jumlahnya, sebagian besar mereka ke kafe untuk mendiskusikan ihwal politik. Politik semacam apa yang berlangsung di kafe-kafe?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

*

Sebenarnya politik di kafe bukan hal baru, sedari lama di belahan dunia ini, kafe—dan juga kopi menjadi medium dalam menghasilkan gagasan-gagasan politik. Di Eropa tentu saja kafe dan kopinya menghasilkan ilmu politik bahkan revolusi tak terkecuali di kafe-kafe Inggris dan Paris. Kita bisa membaca banyak literatur tentang para filsuf dan pemikir filsafat politik yang menghasilkan rumusan pandangannya karena mereka biasa duduk ngopi di kafe. Tidak hanya di Eropa, dalam novelnya “Karnak Café”, Naguib Mahfouz, sastrawan Mesir ini menggambarkan bagaimana anak-anak muda ngobrol di kafe dan menghasilkan gerakan revolusi yang teramat berbahaya bagi rezim.

Bagaimana dengan Indonesia? Politik di kafe adalah fenomena kelas menangah-muda, di kota-kota metro seperti Jakarta, Surabaya atau Jogja dan kota ibu kota lain di Indonesia, ngopi dan ngobrol politik di kafe kini adalah lazim. Kita tak pernah persis tahu apa yang dibicarakan, tapi dinamika politik banyak dihasilkan dari kafe-kafe, dari ngopi-ngopi. Hanya saja kita bertanya, politik apa yang dilangsungkan di kafe-kafe? Hasil politik seperti apa yang sudah dicapai?

Sejauh pengamatan saya, yang berlangsung memang sebatas pada politik kekuasaan. Di mana kemungkinan-kemungkinan mudah diwacanakan dan diturunkan menjadi rencana-tindakan tanpa harus bertumpu pada gejala-gejala materiil di masyarakat. Wacana politik kekuasaan bisa dilangsungkan tanpa harus melihat  langsung konflik sosial di masyarakat secara nyata, kemiskinan dan kekosongan jaminan sosial bagi masyarakat  miskin. Cukup bila itu dipenuhi dengan informasi dari koran-koran atau internet dan orang-orang kelas menengah di kafe itu bisa dengan mudah merekayasa kronik sosial politik untuk selanjutnya, berlaku seperti seorang dokter, mereka mengajukan diagnosis dan mengambil tindakan bedah.

Apakah fenomena politik kafe semacam itu bisa menghasilkan politik yang maju  dan nyata? Apakah jika rencana-rencana mereka dilangsungkan bisa berdampak signifikan dan meluas dalam skala dampak politiknya?

Tidak mudah menguji ukurannya. Tapi kita memang boleh mengajukan beberapa tesis kemungkinan: (1) gairah politik generasi muda Indonesia di kota besar khususnya dan Jakarta sebagai contohnya, berkembang dalam “forum kenikmatan”. Itu artinya politik bagi generasi muda di Jakarta mesti berlangsung dengan nikmat—sambil ngopi, santai, dan tidak dalam definisi kerja sebagaimana tampaknya sebuah revolusi sosial berlangsung di mana orang berada dalam tekanan gerakan bawah tanah, mengorganisir massa, atau menyusun rangkain aksi massa berdurasi lama. Politik generasi muda Jakarta adalah bagian utama dari kecenderungan hedonisme politik—layaknya orang berjudi, mereka menaruh pertaruhan berupa pandangan dan rencana, menang atau  kalah adalah bagian dari uji kenikmatan yang layak ditunggu untuk dirayakan. (2) politik semacam itu adalah kerja berdasar imbalan sepadan. Mereka duduk menikmati kenikmatan tidak pernah gratis. Sehingga hal itu juga menuntut biaya-biaya sosial yang dibebankan dalam biaya politik. Jadi bagaimana mungkin politik berlangsung tanpa biaya? (3) sementara itu di luar angkatan muda, tampak juga berlangsung politik yang cenderung romantik. Di mana gejala-gejala penderitaan pada proses di masa  lalu, adalah hakikat pijak dari dalil memperoleh privilege dari apa yang mereka jadikan sebagai gaya hidup sekarang ini.

Mari kita mencoba membuat kesimpulan ringan; apa yang bisa dihasilkan dari politik yang falsafahnya adalah kenikmatan, hedonisme, romantisme politik dengan tanggungan biaya sosial pribadi-pribadi, politik dengan privilege yang tentu saja otomatis membentangkan jarak antara subjek politik dengan objeknya. Dan mari kita renungkan, apakah politik kita dewasa ini khususnya di kalangan muda di Jakarta adalah sebuah gaya hidup?

Kita memang tidak  perlu menutupi atau menutup mata dari lahir dan berkembangnya ‘gaya hidup politik’ semacam di Jakarta—atau mungkin juga di kota-kota besar lain di Indonesia. Banyak dari kita memimpikan hedonsime dan kenikmatan dari politik. Tetapi bisakah kita lebih serius sementara  kafe-kafe nanti tutup dan kita kembali melewati jalan-jalan? Bisakah kita benar-benar tidak terlalu membuang waktu dan memberikan tenaga lebih besar untuk politik Indonesia melampaui kenikmatan sendiri-sendiri? Dan yang terpenting, bisakah kita tidak mengorbankan demokrasi dan Indonesia hanya untuk memenuhi gaya hidup hedonisme kita? Bisakah politik sebagai gaya hidup tidak sampai membuat  kita menyepakati menghancurkan Indonesia dari sejak dalam pikiran dengan menyetujui ‘kampanye’ intoleransi, irasionalitas agama dan politik, bisakah kita tidak sepakat atau memaklumi  korupsi?

Zaman memang telah lama berubah, kita tidak perlu memanggil para pendiri-peletak Indonesia merdeka supaya kembali menangani tantangan zaman kita. Sebuah relokasi kesadaran glorifikasi yang tak perlu. Yang kita perlukan adalah menghormati mereka yang telah mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk Indonesia merdeka yang hari ini tengah menempuh jalan demokrasinya, di mana tersebab mereka kita bisa duduk di kafe dan membicarakan politik dengan bebas dan nikmat.

Kita tak seharusnya membutakan diri atas tujuan mulia politik kebangsaan Indonesia yang luhur itu. Kita hanya harus malu saat menyadari hidup kita hanya dipertaruhkan untuk kenikmatan, kekuasaan dan politik. Hidup selalu lebih dari itu semua. (*)

*) Sabiq Carebesth, Penyair dan pecinta kopi Indonesia.

Ikuti tulisan menarik sabiqcarebesth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB