Dilema Pembatasan Gawai Pada Anak
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBPemerintah akan melakukan pembatasan penggunaan gawai bagi anak-anak dan remaja demi melindungi mereka dari konten negative.
Kepemilikan gadget (baca : gawai) tidak lagi dibatasi oleh status ekonomi dan batasan usia. Gawai sudah bukan barang mewah lagi. Hampir semua kalangan sudah memilikinya. Anak-anak hingga kakek-nenek sudah akrab dengan barang satu ini. Tuntutan zaman yang serba otomatis menjadikan penggunaan gawai semakin diminati. Namun, di antara sisi positifnya juga terdapat sisi negatif bagi perkembangan anak.
Asosiasi Penyelenggara jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat pengguna internet di Indonesia sebanyak 143,26 juta jiwa pada 2017. Dengan komposisi usia 13-18 tahun sebesar 16,68 persen, 19-34 tahun sebesar 49,52 persen, 35-54 tahun 29,55 persen, dan usia lebih dari 54 tahun di kisaran 4,24 persen. Sedangkan menurut penetrasi usia, sebanyak 75,50 persen pengguna usia 13-18 tahun, 74,23 persen usia 19-34 tahun, usia 35-54 tahun sebanyak 44,06 persen, dan kelompok usia lebih dari 54 tahun sebanyak 15,72 persen.
Pemerintah mulai serius dalam membahas regulasi yang mengatur penggunaan gawai, khususnya pada anak-anak dan remaja. Ini dilakukan sebagai usaha mengurangi risiko anak terjerumus hal-hal negatif dan kecanduan gawai. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise mengatakan, pembatasan tersebut akan segera dibuat peraturannya dalam surat keputusan bersama Menteri Komunikasi dan informatika, Menteri PPPA, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dikutip dari Republika (03/03).
Rencanan pemerintah bukannya tanpa alasan. Merebaknya pornografi dan kekerasan pada anak menjadi beberapa hal yang melatarbelakangi. Anak-anak dan remaja telah banyak menjadi korban kekerasan dan pornografi yang berawal dari media sosial dan internet secara umum. Langkah pemerintah bisa meminimalisir kejadian yang merugikan generasi penerus bangsa. Ini harus segera dilakukan demi menyelamatkan generasi yang kelak akan meneruskan pembangunan negeri.
Kecanduan gawai juga merenggangkan hubungan dalam sebuah keluarga. Sebagaimana pemandangan yang telah menjadi lazim saat ini, anak-anak dan anggota keluarga lainnya hanya sibuk dengan gawainya walaupun berada dalam ruangan yang sama. Bahkan pada saat makan bersama pun mereka tetap eksis dengan gawainya masing-masing. Ini justru menciptakan jarak, padahal raga mereka berdekatan.
Dunia serasa semu, senyum dan tawa hanya tercipta dari media sosial. Ikatan emosional dengan keluarga akan menghilang secara bertahap. Dan pada akhirnya, manusia gawai hanya akan mengurangi tingkat kepekaan sosial. Dan yang paling memprihatinkan adalah mudahnya terpengaruh pada sesuatu yang cenderung berbau hoaks. Akibatnya tentu saja adalah perpecahan dalam masyarakat.
Di balik sisi negatif, gawai juga memiliki sisi positif. Ditambah dengan kebutuhan zaman now di mana segalanya serba berbasis internet. Pesan makanan dengan gawai, butuh kendaraan juga dengan gawai. Dunia pendidikan pun telah beradaptasi dengan dunia internet. Kebutuhan informasi di era yang cenderung disruptif menjadi utama. Siapa yang cepat mengetahui sebuah informasi, maka dia bisa unggul di bidangnya.
Anak-anak dan remaja bisa dengan mudah mendapatkan ilmu pengetahuan melalui gawai yang dimilikinya. Pelajaran sekolah juga menjadi lebih mudah dengan bantuan gawai. Bagaimana pun, gawai yang terkoneksi internet memberikan sejuta kemudahan dalam memperoleh sesuatu. Bagi anak-anak yang tidak bersahabat dengan gawai akan gagap teknologi (gaptek). Untuk itu, sebaiknya penggunaan gawai tetap diperbolehkan sepanjang berada dalam pengawasan orang tua.
Pada akhirnya, keterlibatan orang tua menjadi kunci pengawasan penggunaan gawai bagi anak-anak dan remaja sehingga tidak terpapar konten negatif dari internet. Pemerintah harus berperan dalam menciptakan program internet sehat. Sebuah aplikasi dibutuhkan dalam menghalau konten negatif bagi anak-anak dan remaja. Ini bisa diaktifkan pada gawai yang digunakan anak-anak dan remaja. Dengan begitu, konten negatif yang bisa merusak mental anak-anak dan remaja secara otomatis terblokir pada gawai yang mereka gunakan.
Pembatasan anak bergawai bisa dilakukan dengan peranan orang tua. Jangan sampai malah para orang tua yang memberikan contoh yang tidak patut diikuti oleh anak-anak. Sebuah perilaku kecil bisa dilakukan dengan mengurangi penggunaan gawai pada jam tertentu. Misalnya pada waktu makan dan berkumpul bersama keluarga. Pada waktu inilah para anak-anak merasakan kasih sayang secara langsung dari orang tua mereka. Tentunya dengan menyepakati pelarangan gawai pada jam tertentu yang diawali dengan contoh dari orang tuanya. Mari menggunakan gawai hanya untuk hal yang positif saja.(*)
Pegawai BPS Kab.Barru
0 Pengikut
Kisruh Data dan Minimnya LIterasi Statistik
Senin, 11 November 2019 20:09 WIBKomunikasi Politik Presiden dalam Memilih Menteri
Selasa, 22 Oktober 2019 19:30 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler