x

Iklan


Bergabung Sejak: 1 Januari 1970

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Orientasi TNI dalam Visi-Misi Panglima Hadi

Ada yang menarik dalam visi-misi yang disampaikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pada fit and proper test di Komisi 1 DPR RI.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Ikhsan Yosarie

 

Ada yang menarik dalam visi-misi yang disampaikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pada fit and proper test di Komisi 1 DPR. Dari data Litbang Kompas edisi 07/12/2017, yang diolah dari rekaman langsung pembacaan visi-misi calon Panglima TNI, buku “Memahami Lingkungan Strategis Menuju TNI yang Profesional dan Modern, Panglima Hadi dalam visi-misinya menekankan pada diksi “perang”. Penekanan itu tampak pada seringnya diksi ini disebut-sebut dalam visi-misinya, yaitu sebanyak 51 kali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bukan hanya dari diksi perang, tetapi upaya menyiapkan TNI untuk menghadapi perang modern tampak cukup kompleks dalam materi visi-misi Panglima TNI. Kompleksitas tersebut tampak dalam urutan diksi terbanyak setelah perang yang dicatat Litbang Kompas, yaitu diksi TNI (48), Negara (39), Kekuatan (30), Indonesia (27), Global/Dunia (27), Ancaman (26), Militer (24), Doktrin (21), Teknologi (17), Perubahan (16), Laut dan Organisasi (15), Strategis dan Kemampuan (11), kemudian diksi Modern, Pertahanan, Pengembangan, Regional, dan Persenjataan yang tiap-tiapnya 10 kali penyebutan.

Perihal perang, pembahasan dan persiapannya bukan lagi hanya dalam konteks perang konvensional yang menyiapkan alutsista sedemikian rupa, tetapi juga telah mengarah kepada perang modern, seperti Cyber war dan Psywar. Generasi perang telah berkembang, dan memasuki generasi keempat. Generasi Pertama disebut perang massal. Perang generasi ini mengadu kekuatan jumlah prajurit yang maju ke medan tempur. Terumuskan secara matematis, komposisi ideal dalam perang ini adalah 3 : 1 (tiga banding satu). Generasi kedua disebut Perang Teknologi, yaitu mengadu kekuatan dalam teknologi persenjataan. Andalan dalam perang ini adalah daya tembak. Puncak gaya seperti ini ada pada PD 1. Kemudian generasi ketiga adalah Perang Mobil. Perang generasi ini bukan hanya soal daya tembakan, namun mengadu kekuatan dalam daya tembak, gerak, dan gempur. Andalannya bukan lagi tank berat dan besar, namun tank kecil dan ringan dengan manuver yang maksimal. Senjata pemusnah massal juga menjadi andalan perang jenis ini. dan Perang Generasi keempat adalah Perang Psikologis, yang merupakan perang masa kini. Perang ini bukan merebut teritorial, tapi hegemoni kultural (A.M. Hendropriyono : 2013).

Perang jenis keempat tersebut menggambarkan bahwa pola untuk menguasai ruang, tidak lagi dilakukan dengan cara-cara frontal. Tren menguasai suatu negara kini dilakukan dengan menggunakan ‘senjata’ asimetris yang dibangun secara sistematis. Perang tidak lagi simetris, dimana jelas diketahui siapa melawan siapa. Perang telah bersifat asimetris, yang tidak jelas siapa melawan siapa, apa melawan apa, serta wujud konkretnya. Penciptaan kondisi lewat propaganda dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan ruang siber seperti media sosial. Perang terhadap teror menjadi wujud dari perang ini.

Menghadapi Perang Modern

Berdasarkan analisa strategis dan identifikasi terhadap hakikat ancaman, memungkinkan akan terjadinya penggabungan berbagai jenis ancaman. Sistem pertahanan Indonesia menggolongkan ancaman menjadi tiga jenis, yaitu ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida (BPPI tahun 2015). Dalam kurun waktu lima tahun ke depan, sesuai dengan prediksi dan prioritasnya, ancaman-ancaman tersebut dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu ancaman nyata dan ancaman belum nyata. 

Ancaman nyata merupakan ancaman yang sering terjadi dan dihadapi setiap saat, dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman nyata merupakan bentuk ancaman yang menjadi prioritas dalam penanganannya, meliputi: terorisme dan radikalisme, separatisme dan pemberontakan bersenjata, bencana alam, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian kekayaan alam, wabah penyakit, serangan siber dan spionase, serta peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Sementara ancaman belum nyata merupakan bentuk ancaman berupa konflik terbuka atau perang konvensional, dimana yang berhadapan adalah kekuatan angkatan bersenjata kedua negara, saat ini dan ke depan kemungkinannya masih kecil terjadi terhadap Indonesia.

Salah satu bentuk ancaman nyata yang sedang dihadapi negara adalah terorisme dan radikalisme. Dari kasus bom Bali sampai dengan bom Sarinah, serta aksi-aksi kekerasan yang berlatarbelakang SARA menggembosi tataran pertahanan dan keamanan negara Indonesia dari dalam. Terorisme dan radikalisme ini kemudian juga menjadi ancaman aktual dalam, serta semakin berkembang dan massif dengan perkembangan teknologi informasi. Peristiwa-peristiwa, doktrin, provakasi, dan hoax tersebar dengan cepat di media melalui teknologi informasi. Acapkali persebaran ini tidak diimbangi dengan daya kritis masyarakat. sehingga,  teknologi informasi juga mempeluas cakupan kesiap-siagaan perang kepada ranah ideologi, politik, ekonomi, keuangan, sosial, seni, dan budaya. Artinya, perang bukan lagi sebatas konsep negara atau state, tetapi juga bangsa atau nation.

Dalam visi-misi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, selain menyorot penggunaan diksi, hal yang tak kalah penting adalah poin-poin dalam visi-misi tersebut. Dikutip dari Kompas edisi 7/12/2017, salah satu poin dari empat poin dalam visi-misi tersebut adalah tentang revolusi dalam isu-isu militer. Dalam hal persiapan menghadapi perang modern, poin ini menjadi sangat layak untuk diamati. Terdapat lima sub-pembahasan dalam poin ini, dua diantaranya adalah topik perang berbasis pengetahuan. Tentang bahasan ini, Sun Tzu dalam bukunya Art of War pernah mengatakan “Kenali dirimu, kenali musuhmu. 1000 pertempuran 1000 kemenangan.” Peran dunia intelijen dalam konteks negara maupun nasional akan sangat penting.

Sub bahasan berikutnya adalah demafikasi perang. Dalam hal ini, perang mengalami perubahan dan penciutan dalam skala. Hal ini bisa kita pahami dengan menimbang hal-hal penting yang menopang perang tersebut, misalnya nyawa prajurit dan masyarakat, kerusakan infrastruktur, biaya perang, dan persediaan logistik maupun alutsista. Perang generasi keempat menempatkan hegemoni dan dominasi kultural sebagai tujuannya, bukan lagi penguasaan wilayah layaknya masa penjajahan. Bahkan, negara yang bersaing secara hegemoni dan dominasi, mampu memindahkan arena perang mereka kepada negara atau wilayah yang tengah mereka perebutkan. Pemenuhan alutsista berada pada penguatan posisi tawar negara dalam hubungan internasional.

Kesiapan TNI

Perang yang semakin modern mengharuskan TNI selaku alat negara di bidang pertahanan untuk terus mengikuti perkembangan dan kemudian berbenah guna menangkal ancaman tersebut. Ini sesuai dengan pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, bahwa TNI berfungsi sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.

Visi-misi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sangat menarik dan patut kita dukung bersama, sebagai bagian dari sistem pertahanan rakyat semesta.

Note :

Telah diterbitkan di Koran Padang Ekspres, Edisi 17 Januari 2018

Sumber Gambar: Istilah Seputar Human Resource

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu