x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Toko Buku, Kafe, dan Print on Demand

Tanda-tanda kebangkita toko buku konvensional semakin menguat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tanda-tanda kebangkitan kembali toko buku konvensional (off-line bookstore) di AS semakin terlihat. Setelah mengalami kemerosotan selama bertahun-tahun, yang ditandai oleh penutupan banyak toko buku terkenal, geliat kebangkitan itu kian terasa. Selain Amazon, yang mulai merintis toko buku off-line menyusul keberhasilannya membangun kerajaan bisnis online, sejumlah pelaku bisnis pun membuka toko buku baru.

Amazon membuka toko buku off-line pertamanya pada November 2015 di Seattle, negara bagian Washington, dengan nama Amazon Books. Hampir setahun kemudian, Amazon baru membuka toko kedua, dan hingga akhir 2017 jaringan Amazon Books sudah mencakup 13 buah toko, serta berencana menambah lagi di lebih banyak tempat. Maret ini, Amazon membuka toko di sekitar Washington, D.C., di gedung yang dulu ditempati toko buku terkenal Barnes & Nobles hingga toko ini tutup pada 2011. Ini merupakan toko ke-15 dan sejauh ini merupakan yang terbesar dan mampu menampilkan 5.600 sampul buku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbeda dengan konsep toko buku yang lazim, yang menekankan efisiensi tempat agar mampu menampung banyak judul buku, Amazon Books memberi ruang senyaman mungkin bagi pengunjung toko untuk melihat-lihat karya para penulis. Toko bukunya luas dengan ruang-ruang lapang yang memudahkan pengunjung berlalu-lalang di dalam toko.

Menarik bahwa Amazon juga mentautkan toko buku off-line dengan on-line. Bagi pengunjung yang berminat pada judul tertentu dan ingin mengetahui lebih dulu ulasan buku (book review) tersebut, pengunjung dapat memotret kode digital buku, atau memanfaatkan peranti tablet yang disediakan toko, yang kemudian terkoneksi dengan ulasan yang tersedia di amazon.com.

Lantaran kini era algoritma digital, toko off-line inipun juga memanfaatkan database pelanggan sehingga disediakan rak-rak seperti ‘If you like’. Inilah cara Amazon untuk meluaskan horison pelanggan dengan judul-judul lain untuk genre yang sama. Di ranah online, kebiasaan pelanggan dalam memilih dan membeli judul buku tertentu akan membuat komputer perusahaan mampu menyimpulkan perilaku pelanggan dan menawarkan rekomendasi di toko off-line. Misalnya, jika pengunjung menyukai 1984-nya George Orwell, maka pengunjung ini kemungkinan menyukai Mother Night karya Kurt Vonnegut, yang mungkin belum pernah dibaca oleh pengunjung ini. Untuk judul tertentu yang umum disukai, tersedia 24 judul rekomendasi terkait.

Di Washington, D.C., menurut Washington Post, toko-toko buku baru juga mulai melayani pengunjung, antara lain toko Politics and Prose. Beberapa perusahaan, antara lain Shakespeare & Company, juga akan menambah jumlah toko buku off-line mereka. Toko buku ini bahkan menargetkan mampu membangun jaringan toko berskala nasional. Toko buku ini memulai debutnya di kota Philadelphia lalu merambah kota New York.

Bila kafe sudah menjadi kelaziman di banyak toko buku agar pengunjung betah berlama-lama di toko, Shakespeare & Company memberi tambahan layanan yang menarik, yakni print on demand (PoD). Sebuah mesin cetak buku Espresso yang dilengkapi komputer dan database siap melayani permintaan pengunjung yang menginginkan judul tertentu tapi secara fisik buku tersebut tidak tersedia di rak toko. Layanan ini untuk mengobati kekecewaan pengunjung. Fasilitas print on demand juga tersedia di toko buku Politics and Prose.

Shakespeare & Co juga mempertimbangkan betul situasi komunitas tempat toko dibuka dan berusaha menyerapnya ke dalam desain toko buku. Pendekatan ini membuat jaringan toko mereka tidak persis sama satu dengan yang lain. Ada aroma lokal yang diserap dalam cara toko dirancang dan menyajikan layanannya kepada pecinta buku setempat. Konsep ini akan diterapkan pada tiga toko baru yang akan dibuka Shakespeare & Co tahun ini.

Trend perkembangan toko buku off-line di AS memang patut diamati, sebab AS merupakan produsen buku terbesar kedua di dunia setelah China. Dari data yang dirilis International Publishers Association (IPA), China menerbitkan 470 ribu judul pada 2015 atau 28% dari total produksi dunia, sedangkan AS menerbitkan 339 ribu judul atau 20% dari total dunia. Dalam perhitungan IPA, angka tersebut sudah mencakup buku lama yang diterbitkan ulang sebagai edisi baru. Walaupun begitu, dari segi jumlah judul baru per kapita, AS jauh lebih tinggi daripada China. AS mencatat 1.043 judul baru per sejuta orang, sedangkan China mencatat 335 judul baru per sejuta orang.

Pertumbuhan toko buku off-line itu juga menandakan bahwa pecinta buku masih sukar meninggalkan kebiasaan membaca buku cetak. Buku cetak memang memiliki keunggulan yang unik dibandingkan dengan buku elektronik (e-book). Situasi inilah yang memungkinkan toko buku konvensional kembali hidup dan memiliki prospek yang cerah. (sumber foto: publishersweekly.com/ shakespeare&co)**

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler