Teknologi Adiktif dan Kehancuran Kebebasan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pikiran Aldous Huxley tentang teknologi adiktif dan demokrasi masih relevan.

 

Akankah demokrasi terus bertahan dan apa yang mampu menghancurkannya? Aldous Huxley menyebut lima ancaman yang mampu menghancurkan demokrasi, yaitu jumlah penduduk yang berlebih (overpopulation), politik manipulatif, ketidakseimbangan kekuatan dalam masyarakat, obat-obatan adiktif, dan teknologi yang semakin adiktif. Bahkan, menurut Huxley, bukan hanya demokrasi yang akan hancur, tapi peradaban itu sendiri.

Brave New World, novel mashur Huxley yang meramalkan bahwa suatu hari seluruh dunia akan hidup di bawah kediktatoran yang menakutkan, segera menyita perhatian begitu terbit pertama kali pada tahun 1932. Pandangan Huxley mengenai potensi kehancuran demokrasi itu ia sampaikan dalam sebuah acara televisi AS semacam talk-show, The Mike Wallace Interview, pada 1958, saat ia mempromosikan kumpulan esainya, Brave New World Revisited (yang semula diterbitkan dengan judul Enemies of Freedom).

“Ada sejumlah kekuatan impersonal (Huxley menyebut overpopulation dan overorganization—birokrasi yang ketat dan berlebihan),” kata Huxley, “yang mendorong ke arah semakin berkurangnya kebebasan.” Menarik bahwa Huxley juga menyebut teknologi: “Saya juga berpikir bahwa ada sejumlah peranti teknologi yang siapapun ingin memakainya akan dapat menggunakannya untuk mempercepat proses meniadakan kebebasan dan memaksakan kontrol.”

Sebagaimana obat-obatan yang bersifat adiktif, teknologi inipun demikian—membuat orang mencandu untuk memakainya dan ini memudahkan masyarakat manusia untuk masuk ke dalam perangkap kontrol seperti yang dibayangkan Huxley. Apakah registrasi kita agar dapat memakai beragam media sosial termasuk hal yang dibayangkan Huxley? Bukankah medsos itu adiktif? Bukankah data pribadi kita masuk dalam server yang dikendalikan perusahaan dan pemerintah?

Huxley berbicara tentang potensi yang merusak kebebasan dan demokrasi ketika pada masanya belum ada smartphone, internet, komputer pribadi, maupun televisi kabel. Di tengah kemajuan teknologi itu, Huxley membayangkannya 60 tahun yang silam, akan ada orang-orang yang memburu kekuasaan-tak-terbatas (indifinite power) terhadap diri kita. Agar dapat meraih kekuasaan itu, kata Huxley, diperlukan ‘persetujuan dari yang diperintah’, dan hal ini mungkin terjadi karena tersedianya substansi adiktif—baik dalam pengertian farmakologis maupun teknologis—serta apa yang disebut Huxley sebagai ‘teknik propaganda baru’—propaganda komersial maupun propaganda politik.

Mengapa ‘yang diperintah’ bersedia menyerahkan kebebasan mereka? Huxley menyebut bahwa substansi adiktif itu (farmakologis maupun teknologis) menimbulkan efek yang melampaui sisi rasional manusia dan masuk ke dalam alam bawah sadar manusia serta menarik lebih dalam emosinya, bahkan fisiologisnya, sehingga membuat manusia ‘benar-benar mencintai perbudakan’. Propaganda memiliki kekuatan sihir yang membius masyarakat: Huxley mencontohkan bagaimana Adolf Hitler menyihir rakyat Jerman melalui pidato-pidatonya di radio.

Apakah dengan demikian demokrasi benar-benar tidak akan mampu bertahan? Itu bergantung, kata Huxley, pada pemilih individual yang membuat pilihan cerdas dan rasional terhadap apa yang ia anggap sebagai kepentingan pribadinya yang tercerahkan. Hanya saja, kata Huxley terdengar skeptis, propaganda politik dan komersial yang melumpuhkan demokrasi akan menarik langsung ‘kekuatan-kekuatan tak sadar di bawah permukaan’ sehingga seluruh prosedur demokratis itu hanya tinggal omong kosong. Meski begitu, Huxley percaya bahwa demokrasi masih bisa berjalan apabila ada orang-orang atas dan orang-orang bawah yang berpikir benar. **

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler