Isu perempuan terus bergulir dan tuntutan hak perempuan semakin langtang disuarakan mulai dari bulan maret hingga april. Pada bulan maret serempak aksi pawai perempuan (women’s march) baik skala internasional maupun skala nasional yang berlangsung di Jakarta. Aksi women’s march dimulai di Amerika pada tahun 2017 hingga diikuti oleh perempuan di berbagai negara. Beberapa tuntutannya antara lain pemenuhan hak perempuan untuk bisa berpartisipasi lebih di ranah publik atau politik, menjunjung keberagaman dan toleransi, perlindungan perempuan dari kekerasan seksual, kebebasan mengatur hidupnya, hingga tuntutan tidak adanya diskriminasi terhadap kaum LGBT.
Selain pada momen women’s march, seruan perempuan juga terjadi setiap momen Kartini Day yang diperingati setiap tanggal 21 April. Tokoh pahlawan R.A Kartini dijadikan simbol pejuang hak-hak perempuan, terutama untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Kedua momen tersebut dimanfaatkan oleh kelompok perempuan tertentu untuk menyuarakan ide-idenya. Hal yang menonjol ialah keinginan hidup bebas tanpa batas, tidak ingin dikekang, kesetaraan gender (dimana posisi perempuan sama dengan laki-laki), bahkan mengkampanyekan ide feminisme secara masive.
Perkembangan ide feminisme pada konferensi perempuan sedunia di meksiko pada tahun 1975 memberi pandangan wanita diposisikan selalu dijajah oleh laki-laki, maka harus lebih aktif diranah publik dengan berkerja. Sekilas ide ini tampak tidak berdampak buruk bagi perempuan masa kini, namun apa yang tertulis dalam buku The Feminine Mystique lebih mengkerdilkan arti keluarga dan menganggap peran perempuan dalam sektor domestik (sebagai ibu rumah tangga) tidak akan membuat kepribadiannya berkembang.
Pandangan hidup perempuan tersebut nampak mengandung konsep liberal yang berasal dari narasi-narasi barat. Konsep yang juga dapat mengarah pada liberalisasi perempuan yang berusaha disebarkan ke negeri-negeri mayaoritas muslim. Adapun hal yang melatarbelakangi penyeruan liberalisasi perempuan tersebut antara lain paham sekulerisme yang muncul pada abad pertengahan. Paham ini ialah memisahkan urusan agama dari kehidupan. Selain itu didukung dengan adanya ide hak asasi manusia, dengan anggapan perempuan berhak menentukan aturan hidupnya sendiri. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam salah satu poster women’s march yang bertuliskan my body my authority , artinya perempuan berhak berpakaian sesukanya, baik sesuai syariat atau tidak. Bahkan perempuan seringkali dijadikan objek komoditas/promosi bisnis, seperti pemeran iklan berbagai macam produk atau dijadikan target market.
Apabila ide-ide ini terus dijadikan landasan kaum perempuan saat ini untuk menuntut hak atau keadilan hidup, maka tidak akan pernah bisa. Karena faktanya adanya aksi perempuan (women’s march) tersebut akibat dari ketidakadilan sistem tersebut. Seharunya perempuan kembali pada sistem yang telah terbukti mampu menjaga kemuliaan dan kehormata perempuan 13 abad lamanya, yakni sistem Islam. Islam mendudukkan makna hak bukan sesuai keinginan masing-masing orang (seperti hak bebas melakukan apapun dalam sistem kapitalis). Namun, hak adalah sesuatu yang layak diperoleh dan memposisikan perempuan pada kedudukan yang mulia.
Peran strategis perempuan dalam Islam ialah sebagai Al-umm warobbatul bait (ibu sekaligus pengatur rumah tangga), pencetak generasi emas penerus peradaban. Posisi perempuan bukan sebagai warga kelas dua selalu dibawah laki-laki, akan tetapi ditempatkan pada posisi disamping laki-laki sesuai dengan perannya masing-masing. Peran penting perempuan pada masa Islam bahkan diakui oleh kalangan barat dalam laman “A Secret History” oleh Carla Daya yang diterbitkan di New York Times Magazine 25 Februari 2007, disebutkan bahwa ulama-ulama perempuan ini mencapai peringkat tinggi di semua bidang ilmu tentang Dien dan menjadi ahli hukum terkenal, mengeluarkan putusan-putusan Islam, menafsirkan Al-Quran, meriwayatkan hadits, bahkan memiliki keilmuan yang mampu menantang putusan hakim. “Artinya perempuan tidak ada yang menuntut, namun mereka beragumen dengan dalil.
Bahkan menurut Muhammad Nadwi Akramdalam tulisannya menyatakan bahwa tidak seorang pun perempuan pada masa Islam dilaporkan telah menganggap rendah domain kehidupan keluarga, atau mengabaikan tugas-tugas di dalamnya, atau menganggap bahwa menjadi seorang perempuan adalah hal yang tidak diinginkan atau lebih rendah daripada menjadi seorang laki-laki, atau menganggap bahwa ia tidak punya tugas untuk masyarakat yang lebih luas di luar domain kehidupan keluarga. Semua itu dapat terwujud pula atas peran negara. Negara tetap memberikan kemulian pada setiap peran perempuan. Keamanan perempuan dijaga, kebutuhan financial di penuhi, bahkan ketika perempuan tidak ada yang menggung ekonomi, maka ditanggung oleh negara.
Maka berbagai tuntutan dalam rangkaian kegiatan perempuan baik dalam women’s march atau peringatan hari kartini untuk mengangkat derajat perempuan menjadi mulia akan dapat terealisasi dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh dalam semua aspek. Perempuan akan mampu terjaga kehormatan dan kemuliaannya sepanjang masa.
Ikuti tulisan menarik mimin diya lainnya di sini.