x

Iklan

Putra Batubara

staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Seneng Nulis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Zulkifli Hasan, Marsinah, dan Nasib Generasi Muda

"Saya khawatir Pak, takut anak muda kita tidak dapat kerja (karena) direbut pekerja asing,"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Topik dan pembicaraan Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam kunjungan 12 hari ke Jawa Timur sangat relevan dengan isu-isu nasional yang menjadi sorotan publik. Khususnya pada hari Kamis, 19 April 2019 kemarin, saat dia menyambangi dua daerah di provinsi paling timur Pulau Jawa tersebut. Yaitu, Tuban dan Nganjuk.

Di Tuban, Zulkifli kongko bersama sejumlah komunitas anak muda. Mereka memanfaatkan pertemuan itu sebagai ajang curhat kepada tokoh nasional tersebut. Salah satunya mengeluhkan membanjirnya pekerja asing di Indonesia. "Saya khawatir Pak, takut anak muda kita tidak dapat kerja (karena) direbut pekerja asing," kata aktivis PMII Tuban, Habib, seperti dilansir banyak media.

Sementara di Nganjuk, Zulkifli Hasan berziarah ke makam aktivis buruh Marsinah di pemakaman desa Sukomoro. Bagi tokoh asal Lampung ini, Marsinah layak disebut sebagai pahlawan emansipasi perempuan. Marsinah menjadi martir karena konsisten membela hak-hak kaum buruh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Zulkifli Hasan sendiri tampaknya sengaja memilih hari Kamis itu berziarah ke makam Marsinah. Karena momentumnya sangat tepat, yaitu dua hari sebelum peringatan Hari Kartini dan sebelas hari jelang Peringatan Hari Buru Internasional atau Mayday. Dua hari nasional yang sangat terkait dengan sosok Marsinah. Karena itulah, dia mengajak seluruh rakyat Indonesia, memperingati Hari Kartini dan Hari Buruh nanti untuk bersama-sama mendoakan Marsinah.

Sejarah kelam, masa depan suram

Dua agenda Ketua MPR Zulkifli Hasan seperti mengenang kegetiran sejarah kelam tentang tragedi anak bangsa yang menjadi martir karena memperjuangkan nasib buruh. Pada saat bersamaan juga seakan menatap hari esok yang penuh ketidakpastian. Masa depan lapangan pekerjaan tampak suram karena membanjirnya tenaga kerja asing.

Marsinah sendiri ditemukan sudah tidak bernyawa di hutan Dusun Jegong, Desa Wlangan, Nganjuk pada tanggal 8 Mei 1993. Dia meninggal dunia secara mengenaskan dengan peluru menembus lubang kemaluannya. Sebelum dibunuh, Marsinah ditengarai diperkosa terlebih dahulu. Sadis.

Tiga hari sebelumnya, buruh PT Catur Putra Surya di Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo ini dicari-cari para koleganya. Marsinah diculik terkait dengan aktivitasnya sebelumnya yang mengorganisasi gerakan buruh pabrik arloji tersebut untuk menuntut perusahaan mematuhi Surat Edaran Gubernur Jatim Nomor 50 Tahun 1992 soal kenaikan gaji buruh sebesar 20% gaji pokok. 

Seperti dilukiskan penyair Sapardi Djoko Damono dalam sajak Dongeng Marsinah, "Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari."

Kematian Marsinah ini menjadi isu dan keprihatinan nasional. Bahkan Sapardi Djoko Damono butuh waktu 3 tahun lebih untuk menyelesaikan sajak tentang Marsinah tersebut. Karena dia diselimuti amarah pada saat menulis. “Sajak ini saya tulis tiga tahun lamanya, karena saya nulis, marah lagi. Nulis, marah lagi,” kata penyair terkemuka Indonesia tersebut sebelum membacakan sajaknya beberapa waktu lalu seperti dikutip dari Rappler.

Karena itu desakan agar pelaku ditangkap dan dihukum seberat-beratnya menggema. Tapi sampai saat ini siapa yang telah membunuh wanita berusia 24 tahun tersebut masih misteri. Marsinah menjadi martir. Nama dan semangatnya sampai saat ini terus diingat sebagai simbol perjuangan kaum buruh. "Detik pun tergeletak, Marsinah pun abadi," kata penyair Sapardi Djoko Damono masih dalam sajak Dongeng Marsinah.

Menurut orang bijak bahwa seburuk dan sekelam apa pun masa lalumu, masa depanmu masih suci. Tapi dalam konteks perburuhan/ketenagakerjaan di Indonesia ungkapan motivasi tersebut tampaknya belum tepat. Kekelaman masa lalu malah berlanjut seperti pengakuan para anak muda Tuban tersebut. Masa depan yang seharusnya suci tapi dibayangi kabut kekhawatiran karena membanjirnya pekerja asing.

Keluhan-keluhan yang disampaikan anak muda yang masih suci ini jangan dianggap remeh.  Pemerintah harus mendengar dan memberikan kepastian dengan 'menyetop' TKA selagi masih banyak anak negeri yang belum mendapat pekerjaan. Apalagi Indonesia sedang menikmati bonus demografi, jumlah usia produktif meningkat secara signifikan. Bila didiamkan, keluhan ini dikhawatirkan berubah menjadi kemarahan. Hal itu bisa menjadi bencana. Semoga tidak.

Memperkuat komitmen

Ziarah Zulkifli Hasan ke makam Marsinah di Nganjuk dan kongko bersama anak muda di Tuban semacam mengafirmasi apa yang telah diperjuangkannya selama ini. Malah mengenang sejarah masa kelam kaum buruh dan mendengar keluhan anak muda dalam menatap masa depan tersebut menjadi tambahan spirit bagi Ketua MPR tersebut untuk konsisten memperjuangkan nasib anak negeri.

Karena Zulkifli Hasan termasuk tokoh yang sejak awal menolak Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang baru diteken oleh Presiden. Tidak diatur dalam Perpres saja sudah banyak TKA asal Tiongkok membanjiri Indonesia. Apalagi semacam diberi lampu hijau. Dia sendiri bukan anti pekerja asing, asal memiliki keahlian khusus yang tidak bisa dikerjakan pekerja lokal. Itu pun jumlahnya harus dibatasi.

Namun faktanya, tenaga kerja asing khususnya dari Tiongkok merupakan buruh kasar, dari sopir hingga tukang gali tanah. Dan yang terbaru terungkap terkait insiden Helikopter milik PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP) yang mengangkut WN China jatuh di Morowali, Sulawesi Tengah kemarin. Ternyata perusahaan tersebut mempekerjakan ribuan TKA asal Tiongkok.

Apalagi yang menarik, penolakan-penolakan Zulkifli Hasan terhadap TKA asing berbasis konstitusi, yang menjadi tugas MPR untuk terus mensosialisasikan kandungannya kepada masyarakat. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan keberadaan pemerintah negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sementara pasal 27 ayat (2) UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Amanah yang dimandatkan kepada negara sudah sangat tegas. Karena itu rakyat tidak habis pikir kenapa aturan-aturan di bawah konstitusi tidak sejalan bahkan bertolak belakang. Seperti Perpres yang seakan membuka kran bagi masuknya TKA pada saat rakyat Indonesia masih banyak yang belum mendapat pekerjaan. Rakyat berharap banyak kepada MPR untuk terus mengingatkan pemerintah agar menjalankan roda pemerintahan tetap berada di rel konstitusi.

Ikuti tulisan menarik Putra Batubara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB