Apakah Garis Kemiskinan BPS Realistis?
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Iklan
Di balik angka kemiskinan yang telah menyentuh satu digit masih banyak catatan pekerjaan rumah yang mesti dibereskan.
Profil kemiskinan yang baru saja dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menuai polemik. BPS menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan nasional per Maret 2018 telah menyentuh satu digit, yakni sebesar 9,82 persen dari total penduduk. Angka ini terendah sepanjang Indonesia merdeka.
Mereka yang skeptis mempersoalkan standar atau garis kemiskinan yang digunakan BPS. Diketahui, penduduk dianggap miskin jika memiliki pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil dari Rp401.220. Menurut mereka, ukuran ini tidak realistis karena itu artinya orang dianggap tidak miskin jika memiliki pengeluran per hari minimal Rp13.333. Padahal, harga gorengan saja bisa mencapai Rp2.000 per biji.
Lalu bagaimana mendudukkan persoalan ini secara obyektif dan ilmiah? Mari kita telaah dengan menggunakan angka kemiskinan periode sebelumnya dengan garis kemiskinan yang lebih rendah.
Pada Maret 2017, garis kemiskinan nasional sebesar Rp374.478 (angka rata-rata dari garis kemiskinan setiap provinsi yang tidak seragam). Penduduk (tanpa melihat umur dan jenis kelamin) dengan pengeluaran per bulan lebih kecil dari nominal ini terkategori miskin.
Dengan menerapkan aturan ini, diperoleh perkiraan jumlah penduduk miskin secara nasional sebanyak 28 juta orang. Padahal, ambang batas untuk terkategori miskin hanya sebesar Rp12.483 per hari (Rp374.478/30 hari).
Realistiskah?
Jangan hanya lihat besaran garis kemiskinannya, tapi lihatlah juga hasil perkiraan jumlah absolut penduduk miskinnya yang sebanyak 28 juta orang itu. Lalu renungkanlah apakah angka yang lebih besar dari jumlah penduduk Australia itu realistis.
Coba misalkan garis kemiskinannya kita naikkan 1.6 kali sehingga diperoleh Rp599.165 per bulan atau Rp19.972 per hari. Anggaplah ini sebagai ambang batas kemiskinan yang baru, yang rasa-rasanya masuk akal berdasarkan metode harga gorengan.
Ternyata, jumlah penduduk dengan pengeluaran per bulan lebih kecil dari nominal tersebut mencapai sekitar 93 juta jiwa. Realistiskah jumlah penduduk miskin sebanyak itu?
Angka itu lebih besar dari jumlah penduduk Malaysia dan Australia digabung menjadi satu.
Kesimpulannya, metode harga gorengan kurang tepat jika digunakan untuk menilai apakah garis kemiskinan yang digunakan BPS realistis atau tidak.
Perhitungan garis kemiskinan
Secara bebas, pehitungan garis kemiskinan berangkat dari definisi bahwa orang miskin adalah penduduk yang pengeluarannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.
Kebutuhan dasar makanan adalah pemenuhan kalori sebesar 2.100 kilo kalori per hari. Kelompok komoditas makanan yang menjadi sumber pemenuhan kalori tersebut ada daftarnya, yang tentu saja menggambarkan pola konsumsi masyarakat bawah. Daftar komoditas ini diperoleh dari hasil survei yang memotret kondisi lapangan. Jadi, tidak asal.
Mengapa kalorinya sebanyak itu? Menurut ahli gizi, dengan kalori sebanyak itu, secara umum manusia dapat beraktivitas normal, termasuk untuk bekerja dan mencari penghasilan.
Tentu saja, kebutuhan kalori setiap orang berbeda-beda, misalnya menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Dan disadari, hal ini merupakan salah satu kelemahan metodologi yang tak bisa dihindari. Tapi mana ada di dunia ini metode yang sempurna?
Garis kemiskinan adalah jumlah rupiah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut. Jadi, yang dihitung sebetulnya adalah harga kalorinya bukan harga gorengannya (harga makanannya), lalu ditambah pengeluaran untuk kebutuhan dasar non-makanan (sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan).
Patut diperhatikan juga, perhitungan garis kemiskinan dan estimasi jumlah penduduk miskin dilakukan satu paket dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret pengeluaran rumah tangga (makanan dan non-makanan).
Dengan menggunakan nominal garis kemiskinan yang berbeda, data ini juga dipakai oleh Bank Dunia untuk menghitung tingkat kemiskinan di Indonesia dan membandingkannya dengan negara-negara lain di dunia.
Sederhananya, garis kemiskinan dihitung oleh BPS dengan menggunakan data Susenas (secara teknis mengenai hal ini bisa ditanyakan kepada ahlinya di BPS). Kemudian diterapkan pula pada rumah tangga yang terpilih sebagai sampel Susenas.
Lalu, perkiraan jumlah penduduk miskin diperoleh dengan menerapkan kaidah survei (ilmu sampling) bahwa setiap rumah tangga sampel merupakan wakil dari rumah tangga lain yang memiliki karakteristik yang sama namun tidak terpilih sebagai sampel.
Dengan cara ini, didapat perkiraan jumlah penduduk miskin yang mencapai puluhan juta berdasarkan informasi dari ratusan ribu sampel rumah tangga.
Tahukah anda berapa rata-rata pengeluaran per kapita per bulan penduduk Indonesia yang dipotret Susenas?
Pada 2017, nilainya sebesar Rp1.036.497. Coba bandingkan dengan garis kemiskinan yang sebesar Rp374.478 itu, apakah realistis? Silakan renungkan sendiri.
Selain itu, dipahami bersama bahwa besar kemungkinan informasi pengeluaran yang diperoleh dari Susenas cenderung underestimate karena banyak orang kaya ogah untuk disurvei.
Jadi, isu utamanya bukanlah seberapa besar garis kemiskinan yang digunakan, yang sejatinya merupakan by product dari penerapan sebuah metode dan kerangka pikir yang memenuhi kaidah saintifik. Tentu ada kekurangan dan kelemahan di sana-sini.
Tapi, yang pokok adalah metodologi yang baku dan konsisten. Dengan demikian, perkembangan kemiskinan bisa dimonitor dan dievaluasi antar waktu secara obyektif tanpa perlu melihat siapa yang sedang berkuasa.
Catatan di balik angka
Selain itu, ketimbang mempersoalkan nominal garis kemiskinan yang digunakan, diskusi mengenai kemiskinan di Indonesia akan lebih produktif jika diarahkan pada sejumlah isu berikut. Karena di balik angka kemiskinan yang telah menyentuh satu digit itu masih banyak catatan pekerjaan rumah yang mesti dibereskan.
Pertama, meski angka kemiskinan sudah menyentuh satu digit dan terendah sejak Indonesia merdeka, secara absolut jumlahnya masih 26 juta orang. Ini bukan jumlah yang sedikit. Angka ini lebih besar dari total jumlah penduduk Australia. Bayangkan, sudah lebih dari 70 tahun merdeka, jumlah orang miskin masih puluhan juta. Ini bisa jadi karena pertumbuhan ekonomi yang gagal meroket dalam empat tahun terakhir.
Kedua, tingkat kemiskinan sebesar 9.8 persen itu angka rata-rata nasional yang tidak mencerminkan realitas kemiskinan di setiap provinsi. Faktanya, hampir 50 persen provinsi di Indonesia masih memiliki tingkat kemiskinan dua digit, lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Ketiga, disparitas kejadian kemiskinan masih sangat tinggi. Sebagai gambaran, 28 dari setiap 100 penduduk Papua terkategori miskin, sementara di Jakarta hanya 4 dari 100 orang yg miskin. Wilayah perdesaan juga masih menjadi pusat kemiskinan. Sekitar 60 persen penduduk miskin ada di desa. Itu artinya, kemajuan pembangunan belum merata.
Keempat, proporsi penduduk rentan miskin, pengeluaran per kapita per bulan lebih besar dari garis kemiskinan tapi tidak lebih dari 1.6 kali garis kemiskinan, masih cukup besar. Data BPS mencatat jumlah penduduk rentan miskin (termasuk hampir miskin) mencapai sekitar 65 juta orang atau sekitar 25 persen dari total penduduk pada Maret 2017. Bank Dunia bahkan mengklaim hanya 30 persen penduduk Indonesia yang benar-benar aman dari kemiskinan (economically secure and middle class).
Dengan ini, semoga diskusi tentang kemiskinan bisa mencarahkan masyarakat, bukan malah menggiring orang untuk menyalah-nyalahkan pegawai BPS secara membabi buta. Karena pekerjaan mengitung orang miskin itu sejatinya merupakan sebuah rangkaian proses yang tidak gampang.
Selain kerumitan dalam mencari metodologi yang dapat mengukur aspek multidimensional kemiskinan secara memuaskan, di balik setiap angka kemiskinan yang dipublikasikan, ada cerita tentang dedikasi ribuan anak bangsa yang tanpa lelah mensurvei 300 ribu rumah tangga dengan bertatap muka langsung tak kurang dua jam lamanya, tak kenal terik dan hujan, siang dan malam, di segala medan dari Aceh hingga Papua. (*)
Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. [email protected].
0 Pengikut
Solusi Kelangkaan Data Pertanian-Pedesaan Berkualitas Tinggi di Indonesia
Selasa, 26 Mei 2020 16:40 WIBMengamankan Pasokan Beras Selama Pandemi Covid-19
Senin, 13 April 2020 16:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler