x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyoal Konten Kampanye Capres di Media

Konten kampanye capres apa saja yang penting untuk mendapat kritik dari publik?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konten kampanye calon presiden (capres) dan para pendukungnya di Pemilihan presiden (pilpres) 2019 adalah cerminan dari pemikirannya dalam melihat persoalan di masyarakat. Dari cerminan pemikiran mereka dalam melihat persoalan, publik akan bisa menebak apakah setelah capres itu menjadi presiden, akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Sebentar lagi perhelatan kampanye pilpres digelar. Tak lama lagi pula, kita akan dikepung dengan kampanye para capres. Media massa arus utama akan menampilkan kampanye mereka, baik secara terang-terangan dalam bentuk iklan ataupun secara terselubung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bukan hanya di media massa arus utama, kampanye capres juga akan marak di media sosial. Bahkan itu sudah terjadi jauh sebelumnya. Persoalannya kemudian adalah di media sosial, semua orang bisa memproduksi dan menyebarkan informasi tanpa melalui proses editorial seperti di media massa arus utama. Potensi disinformasi makin marak di media sosial yang hanya mengandalkan kecepatan namun mengorbankan kedalaman. Dalam konteka inilah kemudian kritik publik terhadap konten kampanye capres di media massa dan media sosial menjadi relevan.

Lantas, konten kampanye capres apa saja yang penting untuk mendapat kritik dari publik? Ada setidaknya lima konten kampanye capres di media yang perlu dikritisi. Pertama, konten tentang keberagaman. Keberagaman suku, agama, ras dan etnik (SARA) di adalah sebuah keniscayaan di Indonesia. Namun, tak jarang perbedaan SARA ini dieksploitasi untuk mendulang keuntungan politik.

Paling tidak sejak Pilgub DKI tahun 2012, saat pasangan Jokowi-Ahok maju menjadi cagub DKI, binih-binih konten kampanye yang mengeksploitasi SARA mulai muncul. Kampanye dengan mengeksploitasi isu SARA mencapai puncaknya pada Pilgub DKI 2017 lalu. Meskipun sebagian dari kampanye yang mengeksploitasi SARA itu merupakan informasi hoax, namun munculnya kampanye tersebut berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat.

Bukan hanya itu, kampanye dengan mengeksploitasi SARA juga tidak mencerdaskan publik secara politik. Emosi publik diaduk-aduk dengan isu SARA sementara isu yang sebenarnya lebih dekat dengan kepentingan publik justru dilupakan, seperti model pembangunan yang menguntungkan segelintir kelas menengah-atas. Di media massa arus utama, konten kampanye yang mengeksploitasi SARA mungkin saja bisa dihindari. Namun, di media sosial, konten kampanye yang mengeksploitasi SARA untuk menyerang lawan politik dengan mudah kita temukan.

Konten yang termasuk dalam kategori mengeksploitasi isu SARA itu misalnya menyerang lawan politik berdasarkan latar belakang agama, suku dan etniknya. Termasuk didalamnya memelintir tafsiran ayat-ayat di dalam kitab suci atau istilah-istilah agama untuk menggalang dukungan terhadap capres tertentu dan juga menyerang lawan politik. Kini konten-konten yang mengekploitasi SARA itu sudah marak sejak musim pilkada. Dapat dipastikan akan semakin marak menjelang pilpres 2019 mendatang.

Kedua, konten kampanye terkait isu perempuan. Perempuan bukan hanya sering mengalami diskriminasi tapi juga disingkirkan dalam kancah ekonomi-politik. Tak jarang diskriminasi dan penyingkiran perempuan dalam politik sudah dapat dilihat dari konten kampanye politik di media massa. Meskipun isu perempuan diangkat dalam kampanye capres, bukan berarti diskriminasi dan penyingkiran perempuan berakhir. Bukan tidak mungkin isu perempuan yang diangkat dalam kampanye capres justru mempertahankan wacana ketidakadilan gender yang ada di masyarakat.

Seperti halnya isu keberagaman, di media sosial kampanye yang bias gender kini juga banyak muncul. Kampanye itu biasanya berisi konten yang menyudutkan seorang politisi bukan karena pemikirannya, namun karena ia seorang perempuan. Bahkan di twitter seorang politisi muda perempuan sempat disudutkan karena statusnya dalam perkawinan.

Ketiga, konten kampanye terkait isu buruh. Tersedianya lapangan kerja adalah persoalan penting di masyarakat. Namun, tersedianya lapangan kerja tidak serta berbanding lurus dengan perlindungan dan pemenuhan hak kaum buruh. Publik perlu memantau sejauh mana konten kampanye yang terkait dengan isu buruh ini berdampak positif atau negatif bagi perjuangan hak-hak buruh. Termasuk dalam hal isu buruh ini adalah sejauh mana persoalan perlindungan buruh migran dan pembantu rumah tangga masuk dalam konten kampanye capres.

Keempat, konten kampaye terkait isu lingkungan hidup. Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi, seringkali mengorbankan keberlanjutan alam. Kehancuran lingkungan hidup ini pada akhirnya akan melululantakan angka-angka pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, kerusakan alam telah terjadi dari Sabang hingga Marauke, dari desa hingga kota. Bagi publik, kerusakan bukan saja berarti sebuah ancaman tersingkirnya mereka dari sumber-sumber kehidupannya namun juga ancaman bagi keselamatan hidup mereka.

Kelima, konten kampanye terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Indonesia memiliki sejarah kelam terkait pelanggaran HAM, terutama sejak Orde Baru berkuasa hingga 32 tahun kemudian. Bagaimana konten kampanye capres akan menempatkan persoalan pelanggaran HAM masa lalu tersebut? Akankah para capres menganggap persoalan HAM masa lalu sebagai persoalan yang tidak penting dan seraya tetap melindungi para pelanggar HAM?

Setelah publik melihat dan menganalisa konten kampanye para capres, publik akan tahu capres mana yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Selain itu, publik juga sudah mulai bisa bersuara mengkritik dengan keras pemikiran para capres dan pendukungnya dalam melihat persoalan masyarakat.

Publik perlu sejak awal bersuara lantang terhadap capres yang mengabaikan keberagaman, mempertahankan ketidakadilan gender, tidak peduli keberlanjutan lingkungan hidup, menginjak hak-hak buruh dan melindungi pelanggar HAM masa lalu. Publik harus terlibat aktif dalam menentukan pelayannya di lembaga kepresidenan sejak dari awal, bukan hanya saat di dalam bilik suara. Publik sebagai pembayar pajak adalah warga negara bukan sekedar angka.

sumber foto: http://www.tribunnews.com/images/editorial/view/1685496/aksi-kampanye-anti-hoax-di-cfd

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler