x

Iklan

Desy Rahmawati Aziz

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bolehkah Hakim “Ultra Petita” dalam Putusan Pengujian Undang

Karena pada hakikatnya, tujuan reformasi hukum tidak lain dan tidak bukan adalah kemaslahatan masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pasca perubahan UUD 1945 (1999-2002) membawa perubahan yang fundamental dalam upaya pengawalan konstitusionalitas norma di Indonesia. Perubahan tersebut pula lah yang membawa dampak constitutional reform secara besar-besaran di negara ini termasuk ditandai dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi pada 16 Agustus 2003. MK dibentuk berdasarkan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C dan Pasal 7B Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 yang disahkan pada 9 November 2001. Ia didirikan dalam rangka untuk menjamin tahta konstitusi sebagai hukum tertinggi yang harus ditegakkan sebagaimana mestinya melalui salah satunya kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945. Melalui kewenangan tersebut, MK menjamin terpenuhinya hak konstitusional warganegara serta melindungi mereka dari undang-undang buatan legislator yang dapat menimbulkan kerugian konstitusional dari padanya.

Sejak awal didirikan, kewenangan menguji UU terhadap UUD NRI 1945 merupakan salah satu kewenangan yang paling banyak dilakukan oleh MK. Tak jarang, dalam mengeluarkan putusan MK melakukan terobosan-terobosan hukum. Terbukti, dari 591 Undang-Undang yang telah diuji di MK, kerap kali MK memberikan putusan ultra petita. Contoh, Putusan No. 072-073/PUU-II/2004, Putusan No. 006/PUU-IV/2006, Putusan No. 5/PUU-V/2007, Putusan No. 102/PUU-VII/2009, dan Putusan No. 65/PUU-VIII/2010. Putusan-putusan tersebut diantaranya adalah putusan yang melebihi apa yang dimohonkan, putusan yang membentuk norma baru, maupun putusan yang terkait dengan kepentingan MK sendiri.

Apakah ultra petita itu? Ultra petita sendiri dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR ini merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata Indonesia. Mengapa dalam hukum acara perdata dilarang? Karena di dalam hukum perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim “tidak berbuat apa-apa”, dalam artian ruang lingkup sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada prinsipnya ditentukan oleh pihak yang berperkara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bertolak dari paparan tersebut, lalu apakah ultra petita dalam pengujian undang-undang diperbolehkan? Mari kita lihat terlebih dahulu perspektif dari hakim yang putusannya ultra petita. Pertimbangan hukum yang digunakan pada pokoknya yaitu: 1) UU yang diminta diuji merupakan “jantung” UU sehingga seluruh pasal tidak dapa dilaksanakan; 2) praktik ultra petita oleh MK lazim di negara-negara lain; 3) perkembangan yurisprudensi pengadilan perdata ultra petita diijinkan; 4) pengujian UU menyangkut kepentingan umum akibat hukumnya bersifat erga omnes, berbeda dengan hukum perdata(privat); 5) jika kepentingan umum menhendaki hakim tidak boleh terpaku pada permohonan (petitum); 7) permohonan keadilan (ex aequo et bono) dianggap secara hukum diajukan pula dan mengabulkan hal yang tidak diminta. Selain itu, berdasarkan prinsip independensi dan kebebasan hakim, MK dalam memutus sebuah perkara dapat secara bebas menggunakan penafsiran hukumnya. Maka Oleh karena itu, hakim (tidak hanya hakim konstitusi) wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Sebenarnya, ketentuan mengenai hal ini sempat diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Perubahan Undang-Undang tersebut menggariskan dengan tegas bahwa MK “dilarang” untuk melakukan putusan ultra petita. Namun, ketentuan larangan ultra petita tersebut kemudian dilakukan judicial review dan dikabulkan oleh MK melalui putusannya Nomor 48/PUU-IX/2011 dan 49/PUU-IX/2011. Sehingga dengan demikian secara normatif, saat ini tidak ada ketentuan hukum positif yang melarang atau memperbolehkan MK untuk mengeluarkan putusan yang ultra petita.

Atas dasar inilah kemudian terbuka ruang bagi MK untuk dapat melakukan ultra petita pada putusannya, walaupun secara expresis verbis tidak diatur secara jelas dan tegas dalam rumusan UUD NRI 1945, UU, ataupun Peraturan MK yang mengatur secara khusus mengenai hukum acara pengujian undang-undang. Selama putusan yang ultra petita tersebut mendaulatkan kepada tujuan sosial, maka sah-sah saja hakim MK melakukannya. Karena pada hakikatnya, mengadili menurut hukum dalam negara hukum sekalipun, tidak hanya terpaku pada peraturan tertulis saja, akan tetapi juga peraturan yang tidak tertulis. Artinya, hakim tidak hanya menjadi “corong UU” dalam tugas penerapan hukum. Hakim harus aktif menemukan hukum, jika tidak menemukan dari hukum yang tertulis, maka ia wajib menemukannya dalam hukum yang tidak tertulis dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Karena pada hakikatnya, tujuan reformasi hukum tidak lain dan tidak bukan adalah kemaslahatan masyarakat.

Ikuti tulisan menarik Desy Rahmawati Aziz lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB