x

Iklan

Rofiq al Fikri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tegas Tidak Selalu Harus Keras. Jokowi atau Prabowo?

Siapa lebih tegas Jokowi atau Prabowo? Meluruskan Pola Pikir Akan Tipe Pemimpin yang Tegas

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang ahli strategi perang termahsyur pada Dinasti Kekaisaran China, Sun Tzu pernah berkata "Serangan yang hebat bukanlah serangan / pukulan yang keras, melainkan serangan yang tepat sasaran".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pernyataannya Sun Tzu seolah pas jika kita gunakan perumpamaannya saat membandingkan pemimpin negara. Ya, kita ibaratkan saja pemimpin negara ialah pemimpin rakyatnya dalam sebuah peperangan besar di dunia. Perang melawan kepentingan ekonomi global, adu kekuatan ekonomi untuk kemakmuran rakyatnya.

Sebagai pribumi yang termasuk ras melayu, saya seolah gerah melihat banyak orang Indonesia yang mempersepsikan Ketum Gerindra, Prabowo Subianto sebagai pemimpin yang tegas. Tidak lain, karena ia dikenal sebagai mantan perwira tinggi TNI (karirnya berakhir setelah melakukan pelanggaran kemanusiaan berat,) dan setiap pidato selalu tampil dengan suara keras, kadang bernada menakut-nakuti dan berapi-api di depan publik.

Pemandangan yang justru sebaliknya saat melihat Presiden Joko Widodo tampil di depan publik. Ia yang bukan mantan tentara, tampil sederhana, memposisikan diri seperti rakyat biasa, dan kadang tampil "friendly", bahkan kerap membuat para hadirin tertawa dengan lelucon ringannya.

Sangat mudah membedakan raut wajah massa saat Prabowo pidato yang seolah ketakutan, dan massa di depan Jokowi yang seolah bahagia tanpa beban.

Tapi, apalah arti berpidato keras tapi yang dilakukan tidak sesuai dengan penampilannya di kehidupan nyata. Agak kasarnya, apa manfaatnya berbicara keras namun fakta di lapangan justru sebaliknya.

Jokowi yang dipersepsikan sejak awal tidak tegas seolah menampar semua persepsi itu. Pertama kalinya di dunia, ada negara yang berani menenggelamkan kapal negara asing yang mencuri ikan di perairannya. Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti yang mendapat dukungan penuh dari presiden (karena kebijakan tenggelamkan kapal sempat dilawan para mafia kelas kakap) pun dipuji dunia internasional.

Hingga kini tak terhitung berapa kali ia diundang kampus besar di dunia (Harvard, US misalnya) untuk menyampaikan pengalaman keberhasilan kebijakan penenggelaman itu. Kebijakan itu berdampak langsung dengan tangkapan nelayan lokal yang naik lebih dari 200 kali lipat.

Jokowi yang sejak awal dipersepsikan tidak tegas pun dengan berani membubarkan Petral. Semacam perusahaan di bawah pertamina, namun diisi oleh mafia minyak dalam negeri dan luar negeri. Selama 10 tahun keberadaan petral, setidaknya negara rugi Rp 7 miliar per hari. Setelah Petral bubar, bahkan Pertamina bisa mensubsidi Premium dan Solar satu harga (di seluruh Indonesia) tanpa mendapatkan suntikan dana dari APBN.

Lagi-lagi Jokowi yang dipersepsikan tidak tegas mampu memutarbalikan stigma itu. Ya, setelah 50 tahun Freeport (tambang emas di Papua dengan cadangan emas terbesar di dunia) dikuasai oleh US. Kini, berhasil direbut pemerintah Indonesia, 51 persen saham kini dikuasai oleh BUMN.

 Negosiasi alot selama dua tahun bahkan ancaman US akan membawa ke Mahkamah Internasional seolah tidak diindahkan Jokowi. Ia dengan tegas mengatakan, kekayaan alam Indonesia harus dinikmati sebesar-besarnya oleh rakyat. Sesuatu yang cukup kontras bila dibandingkan dengan Prabowo yang justru pernah menasihati Jokowi agar MENGHORMATI AS

Jokowi pun seolah hobi mempertontonkan ketegasannya melalui tindakan nyata. Ya, beberapa hari yang lalu, pemerintah secara resmi mengumumkan BUMN Pertamina mengambil alih pengelolaan Blok Minyak Rokan, Riau, salah satu blok minyak terbesar di Asia Tenggara.

Selama 50 tahun, blok tersebut dikelola oleh perusahaan minyak asal AS Chevron. Chevron mengaku kecewa terhadap keputusan pemerintah Jokowi, namun Jokowi seolah peduli. Ia tegas demi kepentingan rakyatnya.

Jadi, ini mungkin yang dimaksud oleh Sun Tzu tentang berharganya serangan yang tepat sasaran, "tegaslah di hadapan asing demi kepentingan bangsa. Bukan hanya berteriak keras saat berbicara namun bak ayam sayur yang tunduk saat berhadapan langsung dengan asing".

Prabowo saat pidato dengan suara yang keras di depan warga Bandung

Bagi saya, lebih tepat membuat asing takut daripada rakyat takut. Rakyat harus diberi kasih sayang agar selalu bergembira. Jika raga sudah gembira, bekerja pun akan menjadi semangat kan? Rakyat tidak butuh teror atau rasa takut. Pidato keras dan menyeramkan di depan rakyatnya sendiri sangat tidak tepat sasaran. Kalau di depan asing pidato keras bolehlah.

Saya pun tidak akan lupa dengan Prabowo, seorang yang selalu dicitrakan tegas, namun tidak tegas terhadap dirinya sendiri. Hingga kini, puluhan sanak saudaraku yang bekerja di PT  Kiani (Pabrik kertas milik Prabowo di Berau, Kaltim) belum mendapatkan gaji (apalagi pesangon) karena di PHK tiba-tiba, buntut dari bangkrutnya perusahaan. (Mengelola perusahaan saja tidak profit kok mau kelola negara).

Di sini saya sebagai warga Indonesia perlu dan merasa bertanggung jawab untuk menyadarkan persepsi publik yang keliru selama ini. Tegas bukan berarti keras. Jokowi jauh lebih tegas (secara tindakan) melawan asing, dibanding Prabowo (yang hanya teriak di podium tanpa aksi nyata, bahkan kadang membela asing).

Rofiq al Fikri

Koordinator Jaringan Masyarakat Muslim Melayu (JAMMAL)

Ikuti tulisan menarik Rofiq al Fikri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler