x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lupakan Melodrama Pilpres, Ingat Tumpang Pitu

Ambil buku, kemudian periksa dan catat, apakah pasangan capres dan cawapres junjungan kita memiliki jejak ekologi di Tumpang Pitu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lupakan Pilpres, paling tidak sejenak, ingatlah Tumpang Pitu. Kita mungkin tidak pernah mendengar kata Tumpang Pitu. Kalaupun mendengar mungkin sudah lupa. Mungkin kita lebih ingat tentang kicauan Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief yang kemudian menjadi melodrama pilpres. Sebuah kicauan di twitter  tantang dugaan mahar Sandiaga Uno kepada dua parpol koalisi pendukung Prabowo daripada kata Tumpang Pitu.

Ya, Tumpang Pitu, salah satu hutan lindung yang tersisa di Pulau Jawa. Sayang, anugerah alam itu kini terancam hancur tak berbekas. Jejak-jejak hutan Tumpang Pitu menuju kehancurannya dimulai pada tahun 2013 silam. Pada tahun itu hutan lindung itu terancam dialihfungsikan menjadi areal pertambangan emas.

Menurut Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan secara jelas melarang kegiatan open pit mining (penambangan terbuka) di hutan lindung, termasuk tentu saja hutan lindung di Tumpang Pitu. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin kita sebagai orang awam bingung, bagaimana sebuah hutan lindung bisa dialihfungsikan menjadi areal tambang? Idealnya sih hutan lindung Tumpang Pitu  tidak bisa dialihfungsikan menjadi kawasan pertambangan. Tapi larangan itu nampaknya tidak menyurutkan segelintir pemilik modal untuk menambang di kawasan lidung Tumpang Pitu. Tapi apa coba yang tidak bisa diatur di Indonesia. 

Bagi segelintir orang super kaya di negeri ini, caranga mudah saja. Caranya, dengan menurunkan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) menjadi hutan produksi. Melalui surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut-II/2013 Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, pemerintah menurunkan status Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi. Luas hutan lindung yang diturunkan statusnya itu tidak tanggung-tanggung, seluas 1.942 hektar. Singkatnya, pola perusakan alam di Tumpang Pitu adalah menurunkan status hutan lindung ke hutan produksi. Dari hutan produksi kemudian dialihfungsikan lagi menjadi kawasan pertambangan.

Sudah dapat diduga kehancuran alam pun akan dituai ketika hutan lindung dijadikan kawasan tambang. Pada 2016 misalnya, terjadi banjir lumpur di kawasan itu. Pada tahun 2016, Pantai Pulau Merah, salah satu destinasi wisata di Kabupaten Banyuwangi dilanda banjir lumpur. Akibatnya, air pantai yang biasanya terlihat bening menjadi keruh dan coklat.

Banjir lumpur saat itu tak hanya berpengaruh buruk terhadap denyut pariwisata pantai Pulau Merah (sebuah tempat wisata yang berada di kaki Gunung Tumpang Pitu), tetapi juga berdampak pada pertanian. Kurang lebih 300 hektar ladang jagung mengalami gagal panen. Catatan dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), banjir lumpur yang melanda kawasan wisata Pantai Pulau Merah, Kabupaten Banyuwangi, tidak lepas dari aktivitas aktivitas pertambangan emas PT. Bumi Suksesindo (BSI) milik pengusaha Sandiaga Uno, Boy Thohir dan Soeryadjaya.

Akankah muncul bencana yang lebih besar lagi setelah banjir lumpur di 2016 di Tumpang Pitu Banyuwangi? Entahlah. Tapi yang jelas Tumpang Pitu butuh perhatian dan uluran tangan kita untuk diselamatkan. 

Perhelatan pilpres memang sesuatu yang penting. Tapi lebih penting lagi mencegah kerusakan alam di Tumpang Pitu semakin parah. Lha apa coba kaitannya pilpres dengan penyelamatan alam di Tumpang Pitu?

Lupakan sejenak hiruk pikuk pilpres dengan segenap melodrama tentang mahar politik di dalamnya. Ambil buku, kemudian periksa dan catat, apakah pasangan capres dan cawapres junjungan kita memiliki jejak ekologi di Tumpang Pitu?

 

 

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler