x

Iklan

Galuh Pandu Larasati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cebong vs Kampret, Mencari Rasionalitas Wacana

Sinisme 2 kubu nihil gagasan. Mencapai kesepakatan dalam simpang siur berita dan perang opini di pilpres 2018

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Teknologi telah membawa angin segar bagi publik turut berpartisipasi dalam demokrasi. Ada sebuah ruang baru bagi publik menyampaikan pendapat, ide, gagasan, serta opini dalam era keterbukaan informasi ini. Ruang publik yang sebelumnya dikenal dengan ruang tempat berkomunikasi secara real di suatu tempat yang nyata, dewasa ini berkembang seiring dengan kemajuan teknologi berupa cyberspace (dunia maya). Bersamaan dengan itu, internet pun lantas memainkan peran penting dalam perkembangan ruang publik. Artinya partisipasi demokratis juga terjadi melalui dunia maya. Perkembangan teknologi informasi yang ada memiliki kontribusi terhadap proses politik.

Televisi dan cyberspace adalah sebuah ruang, yang menelanjangi apa-apa yang dirahasiakan secara sosial di dunia nyata untuk massa. Ia adalah sebuah tempat, yang membongkar rahasia personal seseorang, rahasia-rahasia di dalam ruang pribadi (private space) dibawa dan dipertontonkan di dalam ruang publik (public space). Rahasia-rahasia ruang pribadi itu (tingkah laku, kebiasaan, gaya hidup) kini di ruang publik media menjadi milik massa (Piliang, 2009). Lebih-lebih masa kini yang terjadi adalah kegaduhan di dunia maya. Ada beragam argumentasi yang baur dengan candaan dan tidak rasional. Ada kebebasan atau terlalu bebas masyarakat menggunakan ruang publik baru ini di jagad maya sehingga ada begitu luas ide-ide yang muncul tanpa batas. Proses mental individu, dan kesamaan dengan bentuk visual eksternal yang dapat dimanipulasi, diproduksi secara massal, dengan standar yang dibuat oleh masing-masing orang. Apa yang sebelumya hanya sebuah proses mental, sebagai pernyataan khas dari individu, kemudian menjadi bagian dari ruang publik (Manovich, 2001).

Belum surut memperbincangkan soal pilkada, kabar deklarasi pasangan capres-cawapres kembali meriuhkan dunia maya. Tahun-tahun ini adalah tahun yang panas. Persaingan perebutan kursi jabatan legislatif dan eksekutif menimbulkan huru-hara di dunia virtual. Yang maju siapa, tapi yang bertengkar siapa. Bukan adu mulut yang terjadi tapi adu jempol antar lawan politik dan pendukung pasangan lawan politik. Pasang status, komentar sana-sini, adu argumentasi tanpa fakta dan data, berkata kasar, mencemooh, mengejek, hingga adu domba. Perebutan kursi RI 1 periode ini sedikit mengulang pilpres 2014 lalu dengan kandidat calon presiden yang sama Jokowi vs Prabowo, hingga menimbulkan polarisasi 2 kutub di Indonesia yang melahirkan cebong vs kampret.  Tahun ini cebong dan kampret kembali diadu. Masing-masing berlomba-lomba cari keburukan lawan politiknya, lalu dibuat tulisan atau yang sedang populer yaitu meme. Meme-meme politik beredar saling sindir, menyebut salah satu paslon antek aseng, haus kuasa, tidak bisa mewujudkan janji politik selama menjabat, sementara yang lainnya tergiur mahar politik, jendral kardus, pelanggar HAM, dan lain-lain. Opini-opini pribadi muncul dari status facebook akun personal, kicauan twitter, timeline line, kadang-kadang ig story, lalu semua-semua jadi pengamat politik dadakan. Subjektivitas opini mulai bermunculan di ruang publik baru.  Warga bingung dengan pemberitaan yang ada sebab setiap narasumber mengklaim kebenarannya masing-masing. Kebenaran macam mana yang seharusnya dianut dari wacana hasil dari perbicangan publik yang riuh dan simpang siur?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang tidak keliru menyampaikan pendapat maupun aspirasi di ruang publik melalui media-media yang ada, apalagi ini adalah negara demokrasi. Sementara, demokrasi dapat berjalan dengan baik jika dalam suatu negara terdapat ruang publik yang egaliter yakni setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan menyampaikan idenya (Littlejohn, 2009). Jika ditinjau secara politis maka setiap warga negara terlibat aktif dalam peristiwa sosial politik kenegaraan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Bentuk keikutsertaan tersbeut memang bisa dituangkan melalui opini di media online maupun media sosial, tapi bukan saling balas umpatan atau ujaran kebencian, melainkan argumentasi berdasar fakta dan data demi sebuah konsensus. Pendapat, ide, penilaian yang disampaikan semestinya objektif dan mengandung validitas kebenaran. Validitas kebenaran menurut Habermas dalam Uwe (2009) mencakup 4 hal diantaranya kompetensi linguistik atau validitas kejelasan dan kompetensi komunikasi yang terdiri dari tiga yakni kebenaran, legitimasi, dan ketulusan.

Dalam sebuah perbincangan publik ada yang disebut komunikasi komunikatif menurut Habermas yang memungkinkan adanya saling pengertian diantara partisipan yang terlibat sehingga menimbulkan kesepahaman atau konsensus. Griffin (2003) menyebut konsensus harus memenuhi 3 syarat yakni, akses yang sama, kebebasan berargumentasi., dan justifikasi.

  1.  Akses yang sama. Setiap orang, bahkan yang memiliki standar minimum dalam kompetensi komunikasi memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Sepanjang masing-masing orang menggunakan bahasa yang sama-sama dimengerti, maka setiap orang bebas menggunakan akses mendengar ataupun berbicara yang dimilikinya.
  2. Kebebasan berargumentasi. Setiap orang haruslah diberi kebebasan dalam menyampaikan ide, mempertanyakan ide-ide lainnya, dan menunjukkan sikap secara jujur, menyampaikan hasrat maupun kebutuhannya
  3. Justifikasi. Setiap orang yang berpartisipasi haruslah memiliki komitmen pada standar universalitas. Dalam artian, penerimaan tidak hanya terhadap orang-orang yang bersepakat namun juga terhadap siapa saja yang terkena efek dari proses partisipasi yang terjadi.

Lebih lanjut, Habermas (2009) menyebut proses validasi ini tidak hanya melihat konteks dari informasi yang disampaikan, namun juga menganalisis keseluruhan isi berita yang ada. Hal ini dikarenakan analisis terhadap satu artikel saja dapat menimbulkan bias. Menganalisa keseluruhan isi berita dapat membantu untuk memahami persoalan yang terjadi pada sebuah berita. Sementara itu sebuah ucapan dikatakan memiliki legitimasi jika dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang diterima bersama. Sebuah komunikasi dikatakan tidak memiliki distorsi apabila setiap argumen yang muncul memiliki kesempatan yang sama untuk didengarkan. Tidak ada satu suara pun yang dapat dikatakan lebih istimewa dibandingkan dengan pendapat yang lain sehingga dapat mendominasi perbincangan. Terakhir adalah klaim ketulusan, Klaim ketulusan ini merupakan pengujian yang sulit dan hanya dapat diduga saja. Dugaan atas ketulusan dapat dilakukan dengan menaksir apakah fakta, baik yang nyata maupun yang diasumsikan, konsisten dengan kandungan wacana. Habermas menyebut bahwa validitas-validitas tersebut merupakan standar ideal dalam perbincangan di ruang publik.

Dilihat dari standar ideal validitas kebenaran menurut Habermas, perbincangan ruang publik di Indonesia sama sekali jauh dari standarisasi tersebut. Partisipan belum menerapkan pemahaman keseluruhan analisis teks wacana. Tidak menekankan pada objektivitas melainkan subjektivitas masing-masing individu. Diskusi ruang publik dalam kolom komentar pembaca khususunya, tidak mendasarkan pada rasionalitas, sehingga perbincangan yang terjadi adalah simpang siur, terlepas dari kode etik dan nilai-nilai moral. Tidak ditemukan adanya konsensus atau kesepahaman disana dan tidak tercipta komunikasi yang komunikatif merujuk pada sebuah kesimpulan.

 

Finlayson, (2005), Habermas, A Very Short Introduction, New York, Oxford. University Press

Griffin, Jill. (2003). Member Loyalty. Jakarta : Erlangga

Littlejohn, Stephen W. 2009 . Teori Komunikasi Theories of Human Communication edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika

Muhammad, Goenawan. (2014). Kecapekan. Tempo.co dilansir melalui http://www.tempo.co/read/caping/2014/07/07/129412/Kecapekan

Piliang, Yasraf Amir. (2009). Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Jalasutra : Yogyakarta.

Steinhoff, Uwe. (2009). The Philosophy of Jurgen Habermas. Oxford: Oxford University Press.

Manovich, Lev. 2001. The Language of The New Media. Cambride: Massauchusetts Institute of Technology

Ikuti tulisan menarik Galuh Pandu Larasati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler