Dalih Hak Individu ; Terorisme dan Keamanan Nasional
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMengelaborasi fenomena terorisme yang rentan terbentur dengan isu hak asasi.
Dunia barat – Eropa dan Amerika Serikat – kerap dianggap sebagai simbol kemajuan peradaban dan modernisme, meski peradaban Islam, China, dan Mesir juga punya klaim atas simbol itu. Mayoritas berbagai penemuan teknologi dan ideologi menjadi bukti konkret fenomena tersebut. Tak ayal, demokrasi yang dikonstruksi sebagai produk barat pun banyak diadopsi di Negara lain. Atas nama demokrasi, barat tentu surga bagi kebebasan dengan dalih hak asasi manusia (HAM). Manusia, dalam pandangan liberalisme – ideologi dominan di barat – merupakan subjek yang otonom, dengan substansi kebebasan individu. Maka dari itu, barat begitu permisif dengan ideologi dan ajaran-ajaran radikal yang justru memanfaatkan demokrasi untuk hidup. Bahkan melindunginya dengan konstitusi. Di Negara dengan konsepsi otoritarian yang sistemik dan monarki absolut, radikalisme yang menjadi akar terorisme akan sulit berkembang, tentu dengan memaknai bahwa hak privat dipegang oleh Negara.
Pasca tragedi 11 September 2001 (9/11, Amerika dengan konsepsi ideologis liberalismenya dihadapkan pada dua pilihan yang dilematis terkait radikalisme-terorisme. Yakni antara demokrasi (kebebasan, hak asasi) dan keamanan nasional (national security. Keniscayaan bagi demokrasi modern yang berhadapan dengan dua hal tersebut. Meski demikian, analisis tekstual tentang demokrasi bisa juga menjadi pegangan terhadap pilihan Amerika, yang secara praksis memilih keamanan nasional daripada demokrasi dalam konteks terorisme. Kebijakan Patriot Act Amerika pasca 9/11 yang mengizinkan penyadapan, perekaman, interogasi, menangkap dan menahan oknum yang dicurigai sebagai teroris adalah konsekuensinya.
Imbasnya, Amerika seperti paranoid terhadap hal yang berbau islami, yang teranyar, tentu akan sulit masuk ke negeri Paman Sam tersebut bagi nama yang berbau Arab. Begitu terpilih sebagai presiden, Trump bahkan menandatangani perintah eksekutif yang melarang warga dari Tujuh negara yakni Iran, Irak, Libia, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman untuk sementara masuk ke negaranya. Terorisme dan keamanan nasional menjadi alasan mutlak kebijakan itu dibuat, yang menarik, isu diskriminatif terhadap islam yang dibawa Trump saat mencalonkan diri menjadi Presiden, menjadi isu populis yang mendulang mayoritas suara, tentu anomali di negara dengan demokrasi yang mapan.
Friedrich Hayek (1899-1992) peraih nobel yang juga seorang ekonom Inggris, seperti diungkapkan Eugene Miller dalam Kondisi Kebebasan ; Liberalisme Klasik F. A. Hayek (2012) bahwa kebebasan untuk mayoritas masyarakat, demi kebaikannya sendiri, dapat memberi wewenang kepada pemerintah untuk menghilangkan kebebasan sipil dalam situasi darurat. Berbagai kecaman masyarakat terhadap praktik terorisme tentu membuat kepercayaan diri pemerintah meningkat, dengan demikian mengebiri kebebasan teroris dan kelompoknya untuk berserikat adalah hal yang lumrah.
Fenomena terorisme tentu tak lepas dari indoktrinasi kekuasaan ideologis dan teologis yang satu arah. Tanpa bahasan yang korektif, konsepsi tersebut menjadi hukum mutlak untuk dijalankan ditengah sifatnya yang anakronistis. Karena bersifat abstrak (isme), ia tak akan lekang ditelan zaman. Selalu ada di belahan bumi manapun, baik dari sisi agama atau ideologi apapun.
Di Eropa, perkembangan terorisme cukup meningkat, dilansir CNN Indonesia, sejak 2015 tercatat lebih dari 12 teror terjadi. Negara-negara kategori maju seperti Perancis, Inggris, Belgia, Swedia, Denmark hingga Jerman tak luput dari aksi teror dengan korban tewas kurang lebih 313 orang, dan ratusan lainnya luka-luka. Beberapa negara Eropa pun “meniru” gaya Amerika terkait ketatnya kebijakan bagi indikasi terorisme-radikalisme demi national security.
Radikalisme di Indonesia
Di Indonesia perdebatan hak asasi bagi teroris tentu kencang digaungkan berbagai aktifis demokrasi. Dari mulai penangkapan, penyiksaan dan ekses terhadap keluarga pelaku, yang terakhir, sikap pemerintah terkait pembubaran ormas radikal – dalam beberapa view disebut sebagai embrio dari terorisme – juga menuai pro kontra.
Fenomena Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) misalnya, organisasi dengan visi khilafah Islamiyah ini dibubarkan dengan Perppu no 2 tahun 2017 dan dikuatkan dengan putusan PTUN DKI Jakarta. Disinyalir, organisasi ini tidak sesuai dengan Pancasila. Tentu tidaklah fair menjustifikasi HTI sebagai bagian dari terorisme, tapi, dalil national security menjadi penting di negara demokratis seperti Indonesia untuk mendukung putusan PTUN. Karena bagaimanapun, banyak yang menilai bahwa HTI adalah organisasi politik dengan corak sosial-keagamaan yang disintegratif.
Polemik HTI dan serangkaian kejadian terorisme di Mako Brimob, Gereja di Surabaya, rumah susun di Sidoarjo, dan Mapolda Riau mengerucut menjadi satu perdebatan, yakni dasar hukum yang faktual untuk mengakomodir langkah preventif aparat di lapangan. Penyelesaian RUU terorisme dengan definisi yang mencakup motif ideologi, politik dan gangguan keamanan negara patut diapresiasi meski disangsikan dapat menjadi alat politik pemerintah. Namun, yang pasti, progres dari penyelesaian RUU tersebut adalah adanya harapan bagi national security kita.
Jadi, dengan ketuk palu RUU tersebut, bagaimanapun juga gerakan radikal dan terorisme tidak akan bisa berlindung di ketiak demokrasi dan hak asasi. Berkelindan dengan ormas, hak berserikatnya bisa saja digugurkan dengan definisi terorisme yang sudah disepakati legislatif.
Ciracas, Juni 2018
Rileks sejak dalam pikiran | [email protected]
0 Pengikut
Dalih Hak Individu ; Terorisme dan Keamanan Nasional
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBGus Musso dalam Labirinnya
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler