x

Iklan

Hans Z. Kaiwai

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Beda Tipis Antara Menghina dan Mengkitik

Pilihan kata (gaya bahasa) yang tepat menghindarkan orang dari tudahan menghina.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjelang tahun politik 2019, banyak sekali komentar beredar di sejumlah media terutama di media sosial (medsos)--facebook, twitter, instagram, WhatApp--yang mengandung penghinaan ketimbang kritikan. 

Tipisnya perbedaan antara menghina dan mengkritik mengakibatkan publik sering abai membedakannya. Dalam menyampaikan pesan dan pikirannya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, masih ada orang-orang yang lalai menggunakan gaya bahasa yang tepat untuk menyampaikan pesan dan pikirannya dan juga lupa akan perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akibatnya mereka dituduh telah melakukan tindak pidana penghinaan. 

Untuk itu ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu bagaimana gaya bahasa untuk menyampaikan pesan dan tuduhan penghinaan karena penggunaan kata-kata (gaya bahasa). Apalagi Saat ini beragam isu politik, ekonomi dan lain-lain mengundang siapa saja untuk terlibat menuangkan pikirannya dengan berbagai latar belakang, persepsi dan motif yang ada padanya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketidaktahuan orang dalam membedakan hinaan dan kritikan dapat tergambar dari penggunaan gaya bahasa untuk menyampaikan pesan dan pikirannya. Paling banyak kita jumpai di medsos paling banyak. Ada orang yang ingin menyampaikan kritikan tetapi ternyata yang disampaikan merupakan hinaan.

Gaya Bahasa

Kata menghina, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) diartikan "memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti memaki-maki, menistakan), sedangkan mengkritik adalah mengemukakan kritik; mengecam;" sementara itu kritik itu sendiri adalah "kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dari pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya." 

Biasanya kritikan itu bermakna positif, merupakan tanggapan atau pertimbangan terhadap sesuatu hal--orang atau keadaan--akan baik buruknya, sehingga perlunya perbaikan. Sementara hinaan lazimnya bermakna negatif, merupakan hal merendakan atau memburukkan nama baik dengan motif-motif tertentu.

Ketika seseorang ingin menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang, ia sebenarnya ingin mengkritik suatu keadaan atau seseorang. Menurut KKBI, gaya bahasa untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang disebut satire. Satire dapat diungkapkan dalam bentuk ironi--gaya bahasa sindiran-sindiran halus, penggunaan kata-kata yang bertentangan dengan makna sesungguhnya; atau dalam bentuk sarkasme--gaya bahasa yang mengungkapkan kata-kata secara langsung dan kasar.

Pemilihan untuk menggunakan gaya bahasa yang menggunakan sentilan-sentilan halus (ironi) dibandingkan memakai kata-kata secara langsung dan kasar (sarkasme) akan membebaskan seseorang dalam kasus tuduhan penghinaan. Untuk itu, setiap orang perlu memahami dengan baik bagaimana memilih dan menggunakan gaya bahasa yang tepat untuk menyampaikan kritikannya, sehingga kritikannya tidak berubah menjadi hinaan. 

Dalam berkomunikasi di dunia nyata maupun di dunia maya, kita perlu mengontrol diri kita sendiri sehingga tidak terjebak dalam suatu keadaan dimana kita membuat penghinaan ataupun juga berpartisipasi mendistribusikan penghinaan itu melalui medsos, karena baik si pembuat maupun yang turut mengedarkan hinaan itu dapat dituduhkan melakukan tindak pidana penghinaan. Ataupun sebaliknya secara tidak sadar, kita yang justru orang lain melakukan penghinaan kepada kita, padahal sesungguhnya apa yang dilakukan orang tersebut adalah sebuah kritikan. Jadi membedakan dengan baik bagaimana gaya bahasa untuk mengkritik dan menghina perlu dipahami dengan baik.

Tuduhan Penghinaan

Kita mempunyai banyak catatan sejumlah kasus hukum dengan tuduhan penghinaan di Indonesia. Kasus Ahok, misalnya, adalah kasus penghinaan agama yang terjadi akibat permainan kata-kata. Menghilangkan satu kata yang dapat merubah makna kalimat yang sesungguhnya, dari kalimat mengkritik berubah menjadi kalimat menghina.

Bukan itu saja, ada lagi kasus lainnya, yaitu kasus Meiliana, yang vonisnya menjadi perhatian kita, juga adalah tuduhan penistaan agama. Kasus dengan penghinaan agama ini pun berawal dari kata-kata Meiliana yang meminta pengurus masdjid mengecilkan volume pengeras suara adzan, ungkapnya kepada tetangganya" "Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid, sakit kupingku, ribut."

Sejumlah kalangan menilai bahwa ungkapan itu adalah ucapan penghinaan, bukan ungkapan kritikan. Mungkin karena Meiliana tidak menggunakan sentilan-sentilan halus (gaya bahasa ironi) dalam menyampaikan keluhannya. Sehingga kata-kata Meiliana, yang dinilai hinaan ini selanjutnya menjadi sumber kemarahan warga di tempat dimana Meiliana tinggal, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara dan akhirnya meluas menjadi amukan masa dengan membakar dan merusak sejumlah rumah ibadah dan harta benda lainnya.

Kita tahu jalan ceritanya bahwa setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa Meiliana telah melakukan penghinaan agama. Disini pun MUI berpandangan bahwa kata-kata yang digunakan oleh Meiliana untuk mengungkapkan keluhannya adalah gaya bahasa sarkasme, yaitu menggunakan kalimat atau kata-kata sarkastik dan bernada ejekan. Akibatnya Meiliana diadukan oleh MUI kepada pihak kepolisian.

Disamping penggunaan gaya bahasa yang tepat, publik juga perlu memperhatikan norma pemanfaatan teknologi informasi. Karena ada kemungkinan, misalnya, dalam pergaulan melalui medsos, ada pihak yang mengadukan kita karena merasa dihina oleh kicauan kita di twitter atau komentar kita di facebook yang dianggap menghina.

Apalagi saat di medsos banyak berseliweran berbagai ungkapan yang sulit dibedakan sebagai kritikan atau hinaan. Ada ucapan kebencian (hate speech), penghinaan, fitnah yang dibuat oleh pembuatnya sendiri, atau dibagikan oleh penyebarnya--mungkin kita ada didalamnya. Pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini memungkikan siapa saja dan dimana saja dapat menyampaikan isi hati dan pikirannya secara bebas dan langsung diketahui oleh publik di seantero bumi. Setiap orang dengan begitu gampang dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informalsi untuk berakrobat di medson dengan berbagai motifnya--baik politik, komersial maupun motif lainnya. Walaupun demikian kita perlu tetap memperhatikan norma pemanfaatan teknologi informasi dalam menyampaikan isi hati dan perasaannya kepada publik.

Perbuatan Yang Dilarang

Kita bersyukur karena telah memiliki Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dapat melindungi masyarakat dari penggunaan teknologi yang keliru, misalnya, melakukan penghinaan melalui medsos atau melalui informasi elektronik lainnya.

Berkaitan dengan informasi elektronik, dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 telah diatur tentang Perbuatan Yang Dilarang, yaitu bahwa "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Selanjutnya berdasarkan perubahan penjelasan untuk ketentuan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11/2088, sebagaimana diatur dengan Undang-Undang NOmor 19 Tahun 2016, berbunyi "ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)." 

Disamping itu, dalam perubahan ini juga diatur dengan tegas bahwa ketentuan ini bersifat delik aduan, bukan delik umum. Artinya orang tak bisa langsung ditahan saat dianggap mencemarkan atau menghina nama baik seseorang, tetapi harus diadukan terlebih dahulu, sehingga berdasarkan aduan tersebut maka dilakukan proses hukumnya. Hal ini berbeda dengan kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara. Penghinaan terhadap lambang-lambang negara adalah delik biasa, artinya aparat hukum bisa langsung melakukan proses hukum melalui penyidikan dan pengusutan.

Akhirnya, semoga dengan pemahaman kita yang semakin baik akan penggunaan gaya bahasa yang tepat dan ingatan yang baik kembali akan perbuatan yang dilarang menurut aturan perundang-undangan. Kita tetap dapat melakukan kritikan untuk melakukan perbaikan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa melakukan hinaan.

Dalam kehiduan berbangsa dan bernegara, kita memang membutuhkan kritikan, karena berdasarkan kritikan perbaikan dapat dilakukan. Namun kata-kata yang digunakan dalam melakukan kritikan haruslah kata-kata sopan dan dengan gaya bahasa yang tepat, misalnya, menggunakan gaya bahasa ironi dan bukan kata-kata secara langsung dan kasar sehingga dapat melukai hati orang lain dan berakibat pada tuduhan melakukan tindak pidana penghinaan.

Ikuti tulisan menarik Hans Z. Kaiwai lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler