Menista diri dengan argumen adalah pernyataan paradoks. Sebab, tiap argumen mestinya merupakan konstruksi rasional untuk suatu persoalan. Argumen mestinya memuliakan penuturnya atau penulisnya, serta memajukan keadaban dan peradaban.
Namun ketika argumen disusun dan dikemukakan dengan konstruksi ngawur, bukan hanya akan kehilangan daya persuasi dan pengaruhnya, tapi juga sekaligus menista pengargumennya: penutur ataupun penulisnya. Alih-alih meraih simpati, yang terjadi malah menabalkan antipati.
Menista diri dengan argumen terjadi misalnya jika suatu argumen untuk persoalan X, coba digiring-giring dan dipaksakan menjadi argumen untuk persoalan Y. Gaya berdalil zigzag. Tentu saja, sedikit banyak bisa disambung-sambungkan. Namun ada konsekuensinya: akan terkesan dipaksakan. Proses memaksakan argumen inilah yang akan menista penutur dan penulisnya.
Menista diri dengan argumen juga bisa terjadi jika kesimpulan diambil dari sebuah proses analisis yang meloncat-loncat. Sebab kesimpulan yang meloncat-loncat, lambat atau cepat, akan berakibat zigzag dalam mengantisipasi konsekuensi yang muncul dari kesimpulan yang meloncat-loncat itu.
Jika seseorang mengalami puncak kelelahan, fisik atau psikis, maka analisis dan kesimpulan sederhananya adalah bahwa orang itu terlalu banyak menguras tenaganya. Dan langkah solusinya adalah orang itu harus istirahat.
Menista diri dengan argumen bahkan bisa lebih fatal. Jika penutur atau penulis mengemukakan argumen dengan mental yang penting asal nyahut, asal bunyi, asal nyambung, dengan mimik yang dipaksa-paksakan seolah serius, seakan argumennya merupakan hasil perenungan panjang yang dalam.
Tentu menista diri dengan argumen bisa saja meraih decak kagum perorangan. Tapi saya cukup yakin bahwa “kecerdasan publik” pada akhirnya akan menilai, memilah dan menentukan sikapnya: muak.
Syarifuddin Abdullah | 31 Agustus 2018 / 19 Dzul-hijjah 1439H
Sumber foto: Aquarius Learning
Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.