x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Erick vs Sandi: Main Cantik Tidak Identik dengan Main Fair

kita akan membohongi diri sendiri dan terlalu naif, jika membayangkan seluruh rangkaian Pemilu 2019 akan berlangsung fair dalam semua lini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhirnya kedua kubu memutuskan figur Ketua Tim pemenangan: Erick Thohir di kubu Jokowi-MA dan Joko Santoso di kubu Prabowo-Sandi. Dengan begitu, genaplah sudah variabel head-to-head antar dua kubu yang akan bertarung di Pilpres 2019:

Dan item pertarungan head-to-head secara individual itu dapat diringkas dalam tiga poin:

1. Capres Jokowi vs Capres Prabowo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

2. Cawapres Ma’ruf Amin (MA) vs Cawapres Sandiaga Uno

3. Dan Erick Thohir sebagai Ketua tim pemenangan di kubu Jokowi vs Joko Santoso di kubu Prabowo-Sandi.

Namun jika dicermati, pola head-to-head tersebut tidak berlaku matrix, sesuai posisi masing-masing. Sebab Cawapres MA di kubu Jokowi sebenarnya lebih pas diperhadapkan dengan Joko Santoso, bukan melawan Sandiaga Uno, di kubu Prabowo.

Sementara Erick Thohir bukan melawan Joko Santoso sebagai sesama ketua Tim Pemenangan, tetapi Erick Thohir akan diposisikan head-to-head melawan Sandiaga Uno.

Sandi dan Erick dipersepesikan head-to-head dalam beberapa lini. Karena Sandi dan Erick sebelumnya sudah saling mengenal secara dekat sebagai sesama pengusaha muda yang sukses, para pengamat akhirnya memperkirakan akan terjadi semacam pertarungan fair antar keduanya. Yup, tapi nanti dulu?

Mari melihatnya secara lebih faktual. Pertarungan antara Sandi dan Erick kemungkinan akan berlangsung dan diuji dalam empat field sekaligus, yang saling terkait antara satu dengan lainnya:

Pertama, pertarungan meraih suara milenial. Keduanya masih relatif mudah: Sandiaga Uno kelahiran 28 Juni 1969 (umur 49); sementara Erick Thohir kelahiran 30 Mei 1970 (umur 48). Usia keduanya hanya terpaut satu tahun. Dari segi usia, berdasarkan kriteria kelahiran milenial (mulai 1980), keduanya sebenarnya bukan lagi kategori milenial. Namun diasumsikan masih berterima di kalangan milenial dibanding figur-figur lainnya: Jokowi, Prabowo, Joko Santoso dan Ma’ruf Amin.

Kedua, pertarungan meraih suara emak-emak. Pada poin ini, Sandi sudah lebih dulu mencuri start dengan ide “Partai Emak-Emak”. Namun bisa dipastikan, Erick dan timnya akan bekerja keras dan kreatif untuk mencoba menggagas terobosan-terobosan baru terkait komunitas emak-emak ini.

Ketiga, pertarungan managerial, dengan asumsi bahwa kegiatan kampanye Pemilu sejatinya adalah persoalan managerial. Kandidat yang baik bisa keok sebelum bertanding jika melakukan kesalahan managerial yang fatal. Dan keduanya, Sandi dan Erick diasumsikan memiliki talenta managerial unggulan.

Keempat, pertarungan gagasan terobosan, untuk menggoda pemilih profesional yang rasional. Kata orang, usia 40-an adalah periode ketika seseorang memiliki segudang gagasan-gagasan segar. Dan jejak rekam keduanya membuktikan itu. Namun pertarungan gagasan ini, tidak akan terlalu mengemuka. Ruang geraknya relatif terbatas.

Pertanyaan kuncinya: apakah Erick dan Sandi akan bermain fair dalam mengelola empat field pertarungan tersebut di ajang Pilpres 2019?

Tentu saja kita berharap keduanya akan bermain fair, dengan sejumlah catatan sebagai berikut:

Ke-1, setiap Pemilu adalah momentum bagi setiap pelaku utamanya untuk mengerahkan segala sumber dayanya guna memenangkan pertarungan. Tentu saja ada acuannya, antara lain UU Pemilu dan seluruh peraturan KPU (PKPU). Namun UU dan peraturan Pemilu, biasanya akan sulit mengontrol semua perilaku selama periode kampanye.

Ke-2, sebagian pelaku utama Pemilu memperlakukan ajang Pemilu sebagai momentum hidup-mati, dengan ultimatum zero-sum-game: saya atau Anda. Dengan ultimatum seperti ini, pelakunya tentu berpotensi menggunakan segala cara untuk memenangkan pertarungan. Dan di sinilah terletak potensi terjadinya permaianan tidak fair itu.

Ke-3, secara faktual, tentu kita akan membohongi diri sendiri sekaligus akan terlalu naif jika membayangkan dan berharap seluruh rangkaian Pemilu akan berlangsung sungguh fair dalam semua lini.

Namun seandainya pun harus bertarung habis-habisan, dan itu normal saja, janganlah menyamai trick dan intric yang berlaku dalam Pilpres Amerika yang terakhir 2016. Ketika Donald Trump bertempur melawan Hillary Clinton, hampir semua kata dan kalimat cacian dan penghinaan dalam Bahasa Inggris habis digunakan. Tak ada lagi yang tersisa.

Ke-4, saya cukup yakin bahwa masing-masing kubu, terutama antara Sandi dan Erick akan bermain secantik mungkin. Karekter keduanya mengisyaratkan itu. Lagi pula, keduanya masih memiliki kesempatan kedua bahkan ketiga sebagai praktisi sentral dalam demokrasi di Indonesia beberapa tahun ke depan.

Hanya perlu digarisbawahi bahwa tidak semua permainan cantik identik dengan permainan fair. Dan keunggulan setiap permainan cantik, meskipun tidak fair, adalah bahwa pertarungan akan dilakoni sebagai sebuah persaingan yang tidak perlu memicu ketegangan sosial yang meluas. I hope.

Syarifuddin Abdullah | 09 September 2018 /  28 Dzul-hijjah 1439H

Sumber foto: diolah dari detikcom dan Jatmika.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB