x

Iklan

Nadila Karina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pilpres Menjelang Magribnya UU Desa

Visi pembangunan desa lenyap dalam hiruk-pikuk Pilpres 2019. Kedua kubu asyik saling serang, tetapi hampir-hampir lupa subtansi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SBY punya iktikad baik untuk penguatan desa. Visi yang diusung SBY adalah menciptakan desa yang mandiri dan kuat. Bukan cuma anggaran sedikitnya Rp 1 milyar per desa yang dikejar tetapi bagaimana desa menjadi garda terdepan dalam pembangunan Indonesia.

Visi SBY ini yang ditangkap DPR. Lalu lahirlah UU No 6/2014 tentang Desa yang lantas diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Desa.

Tragisnya, visi ini lantas lenyap dalam hiruk-pikuk kampanye pilpres 2019. Kedua kubu asyik saling serang dan saling sindir. Alih-alih meributkan subtansi, kubu petahana banyak berkutat pada prestasi Jokowi yang masih perlu dilacak akurasi dan validitasnya. Sementara kubu oposisi cuma mengkritik habis-habisan sambil melemparkan janji-janji yang belum tentu pula bisa 100 persen dipenuhi jika kelak terpilih.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara visi pembangunan desa yang diusung SBY terus kandas di tengah jalan. Terjerembab jadi sebatas skema anggaran untuk desa. Padahal sedari awal SBY sudah menekankan bahwa UU Desa bukan cuma perihal anggaran. UU Desa adalah rekognisi, pengakuan akan kedaulatan desa. Dana Desa masih amat kurang dari cukup jika tidak diikuti dengan pengakuan dan kemandirian itu sendiri.

Sehingga, gawat jadinya jika Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandi tidak berani kasih komitmen soal desa. Bisa-bisa kejadian masa lampau terulang. Desa kembali terpinggirkan, hilang dari substansi pengakuan akan kesatuan masyarakat hukum yang bahkan telah ada sebelum negara dibentuk. Bahaya inilah yang mengancam masa depan pembangunan desa pada periodesasi pemerintahan 2019-2014.

Parahnya sudah mulai muncul politik cuci tangan. Pemerintah pusat berdalih bahwa mandegnya implementasi UU Desa akibat kesiapan desa serta perilaku korup dari pemangku jabatan di desa. Basisnya adalah rilis ICW bahwa ada 100 kasus korupsi dana desa sampai akhir 2017 yang melibatkan 102 kepala desa.

Padahal jumlah desa di Indonesia diperkirakan mencapai 82 ribuan. Artinya desa yang bermasalah cuma mencapai 0,12%. Apalagi, usia perjalanan UU belum panjang sehingga aparatur desa perlu proses lebih untuk memahami yang mengimplementasikannya dengan baik.

Jadi, kalau hari ini kubu petahana bicara bahwa desa sudah menjadi subjek yang berdaulat, bisa dipastikan itu cuma omong kosong. Cuma jargon kampanye. Klaim-klaim pemerintah saat ini tak ubahnya pemerintah orde baru yang mencekoki desa dengan kepentingan-kepentingan politik pragmatis semata oleh guna menjaga status quo.

Karena jika desa benar-benar berdaulat tidak akan muncul aksi petani Kendeng menolak pabrik semen atau tewasnya Salim Kancil terkait sengketa pertambangan pasir di Desa Selok Awar-awar, Lumajang. Persoalan-persoalan ini tidak akan muncul apabila desa sudah benar-benar berdaulat.

Celakanya, kubu oposisi pun terkesan gagap dalam menyikapi urusan desa ini. Prabowo-Sandi tidak mengelaborasi isu desa dalam kerangka transformasi paradigma dan perilaku politik yang fundamental terutama di level nasional.

Padahal membangun desa butuh komitmen politik yang transformastif dalam memandang desa sebagai subjek, bukan cuma rangkaian kalimat dalam visi misi capres dan cawapres. Jika transformasi ini belum kongkrit maka isu desa hanya menjadi objek/komoditas politik elektoralistik saat itu saja. Kita akan terus-menerus menyaksikan suatu pertunjukkan yang menampilkan sandiwara pembangunan atas nama desa seperti pemerintahan hari ini. 

Ikuti tulisan menarik Nadila Karina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler