Virus Kebencian, Sales Panci, dan Jargon Politik
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMencuatnya beragam kasus yang berawal dari kebencian, semakin menunjukkan betapa lalu-lintas kedamaian yang semestinya lancar dan nyaman semakin tersendat
Mencuatnya beragam kasus yang berawal dari kebencian, semakin menunjukkan betapa lalu-lintas kedamaian yang semestinya lancar dan nyaman semakin tersendat. Bagaimana tidak, kebencian dan sakit hati dapat saja menjadi pemicu runtuhnya ikatan-ikatan solidaritas sosial yang telah sekian lama terjaga. Kasus seorang mantan sales panci misalnya, seakan memberi pelajaran penting soal dampak kebencian yang tak hanya merugikan teman sepekerjaannya karena difitnah, tetapi juga meresahkan dan mengganggu banyak orang. Ungkapan kebencian yang belakangan kian marak, juga menambah segmentasi sosial, sebagai “barisan sakit hati” yang selalu melihat sisi negatif dari siapapun yang tidak disukainya.
Sulit untuk tidak mengatakan, benci dan cinta seperti dua sisi mata pisau yang saling berdekatan, tetapi keduanya saling berlawanan. Ketika seseorang mencintai, bisa jadi akan menutup seluruh keburukan dari hal yang ia cintai, begitupun sebaliknya, membenci sesuatu tentu saja menutup apa saja yang membuat anda sendiri jatuh cinta kepadanya. Dua sisi yang saling berlawanan, sehingga sangat tipis sekali jaraknya mengakibatkan cinta dan benci kadang selalu datang secara bersamaan. Anda mungkin saja memandang sesuatu yang disukai atau sesuai dengan selera yang diinginkan, lantas dengan mudahnya anda mencintai. Sebaliknya, apa yang anda pandang sebagai sesuatu yang tidak disukai, maka virus kebencian senantiasa menyertai, bahkan seringkali tak ada celah untuk melihat sisi kebaikan lainnya melalui pandangan cinta.
Ibarat lalu-lintas kendaraan di jalan raya, virus kebencian seperti penghalang di tengah jalan yang kemudian membuat seluruh laju kendaraan terhenti, macet disana-sini! Mereka yang menebar virus kebencian, tentu saja menghambat laju jalan kedamaian yang sejauh ini justru sangat diharapkan. Diakui maupun tidak, soal politik ternyata penyumbang paling besar dalam hal tumbuh suburnya kebencian di tengah masyarakat. Kita tentu masih ingat, betapa kasus-kasus ujaran kebencian berada pada level yang sangat mengkhawatirkan dibanding kasus-kasus kriminal lainnya. Virus kebencian menjalar cepat, mengikuti setiap sel darah dan bahkan meracuni otak kita sendiri dan itulah fenomena yang seringkali kita saksikan sehari-hari.
Jika politik menjadi penyumbang virus kebencian nomor satu, maka peringkat keduanya adalah kebencian terhadap salah satu agama. Entah, kenapa ada orang yang begitu membenci agama, lalu agama diolok-olok padahal dirinya sendiri mengaku beragama. Apa yang salah dari agama? Kenapa harus agama yang dibenci dan menjadi bahan olok-olok? Ajaran agama sejatinya mengajarkan kasih sayang, kedamaian, mengajak kepada kebaikan dan mencegah tindakan buruk, lalu dimananya yang salah? Itulah persepsi pribadi yang terjangkiti virus kebencian, yang seringkali hitam-putih dalam memandang banyak hal. Virus kebencian ternyata sanggup menutup kejernihan akal, membuntukan rasa, bahkan menutup segenap aliran darah menuju muara kasih sayang.
Saya tak habis pikir, kenapa harus agama yang menjadi sasaran kebencian? Padahal tak ada satupun agama yang mengajarkan kebencian, kecuali kasih sayang. Munculnya video di salah satu akun populer media sosial yang memasak daging babi dan kurma, sepertinya memang sedang mengumbar kebencian kepada agama. Lalu, cukupkah dengan meminta maaf? Lalu selesai semua urusan? Ya, saking mudahnya menjadi pembenci karena virus kebencian telah menutup akal sehatnya, lalu secara sadar meminta maaf karena khilaf. Kekhilafan memang erat dengan kondisi dimana hati yang tertutupi rasa kebencian, sehingga tak ada sama sekali rasa cinta untuk mendamaikan dan menyalurkan rasa kasih sayang.
Begitu tipisnya antara nilai cinta dan benci, sehingga hampir tak dapat dibedakan kapan kita dalam kondisi mencinta dan membenci. Ada sementara politikus yang giat menyuarakan narasi kemiskinan, kebobrokan, atau kemunduran suatu masyarakat dengan alasan bahwa mereka sangat mencintai masyarakatnya. Tetapi disisi lain, justru sedang menebarkan virus kebencian kepada pihak-pihak kompetitor lainnya. Hebatnya, disisi lain, pihak yang disasar malah melakukan pembalasan dengan jargon-jargon politik yang tak kalah rendahnya karena sama menebar virus kebencian kepada khalayak. Jargon-jargon politik itu muncul dalam suasana bermotif kebencian, jauh dari nilai-nilai kedamaian dan kasih sayang.
Tengoklah media sosial atau media-media konvensional lainnya yang hampir sulit dikatakan mengacu pada nilai-nilai objektivitas sebagai media pemberi informasi kepada masyarakat. Yang didapatkan, betapa mereka telah menebarkan virus-virus kebencian karena ketidaksukaan mereka kepada salah satu pihak, lalu secara buta karena mencintai pihak lain, menonjolkan secara tidak berimbang kebaikannya. Para politisi berlomba-lomba membuat jargon politik yang saling sindir, saling nyinyir, dan saling plintir. Masyarakatpun ikut-ikutan terbawa arus menjadi penyebar virus kebencian, sehingga hampir-hampir lalu lintas kedamaian dan kenyamanan di seantero negeri ini tak pernah mulus laju perjalanannya. Padahal, sungguh tak ada ruginya menebarkan kasih sayang, cinta, dan kedamaian, karena efek vibrasinya dapat mendorong orang lain melakukan hal yang sama.
Mereka yang terpapar virus kebencian tentu saja hampir seluruh segmentasi masyarakat, tak peduli elit, tokoh masyarakat, tokoh agama, penguasa, pegiat media, bahkan hingga sales panci tiba-tiba menjadi pribadi pembenci. Tak peduli orang pintar atau ahli agama, mereka yang dipercayakan menjadi pemimpin-pun tak kalah hebatnya terpapar virus kebencian yang sedemikian menjalar. Yang paling memilukan, ketika ada ungkapan “Tuhan masih menyayangi keluarga saya yang selamat dari sebuah kecelakaan pesawat”, justru dibalas dengan ungkapan kebencian dengan menyebut, “gue paling benci ungkapan ini, seakan-akan Tuhan tidak sayang kepada mereka yang terdampak musibah”. Betapa virus kebencian ini tak sekadar menjadi fakta dalam dunia politik, tetapi dalam suatu musibah-pun ia kerap menutup kendali akal sehat seseorang.
Wajar memang, karena begitu luasnya paparan virus kebencian yang menulari masyarakat, maka proses ke arah perdamaian menjadi semakin sulit. Masyarakat akan terkotak-kotak menjadi agen-agen penebar virus kebencian yang memacetkan seluruh lalu lintas keadaban dan kedamaian. Betapa sulitnya kita menjadi pribadi yang senantiasa memandang setiap masalah dengan pertimbangan kekuatan akal sehat, yang ada justru perasaan yang semakin menguat mengalahkan apapun termasuk perasaan cinta yang memang telah mulai berkarat.
Kita seakan tak ada pilihan, hanya rasa cinta dan benci yang terlampau berlebih, sehingga wajar jika akal sehat kita memang telah tertutup rapat-rapat. Saya jadi teringat sebuah pepatah lama, “Manis jangan lekas dilulur, pahit jangan lekas diluahkan, gumam-gumamlah dahulu”. Pepatah ini tentu saja memberikan pelajaran, anda jangan terlampau mencintai atau membenci, sewajarnya saja, dan yang terpenting gunakanlah akal sehat sebagai pertimbangan dalam menyelesaikan banyak hal, bukan perasaan yang lambat laun mendorong anda lebih jauh tersesat. Jadi, selamatkan generasi kita dari penyebaran virus kebencian, karena bagaimanapun kita tentu saja lebih menyukai perdamaian dimana lalu lintas keadaban dan kedamaian tentu akan berjalan mulus.
Menulis, Mengajar dan Mengaji
0 Pengikut
Ramai Makelar Doa di Tengah Politisasi Ulama
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBagimu Capresmu, Bagiku Capresku, Baginya Golputnya
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler