x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Selamat Jalan, Stan Lee

Stan Lee, orang di balik sukses berbagai karakter komik Marvel, berpulang pada umur 95 tahun. Jasanya pada dunia patut dikenang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kalau kita ditanya apakah kenal seseorang bernama Stanley Martin Lieber, rasanya majoritas di antara kita akan menggelengkan kepala.  Tetapi, bila disebut nama Stan Lee, siapa yang tak mengenalnya?  Lee—yang menurut saya adalah Einstein dalam dunia komik superheroes—beberapa jam yang lampau meninggal dalam usia 95 tahun.  Lahir di Manhattan pada tanggal 28 Desember 1922, dan meninggal tanggal 12 November 2018 jelas pertanda bahwa dia adalah manusia super.

 

Namun penanda ke-super-an itu bukan saja soal umur panjang.  Adlai Stevenson pernah menyatakan dalam pidatonya yang terkenal di Universitas Princeton tahun 1954,  "It is not the years in your life but the life in your years that counts."  Lee menjalani hidup panjang dengan karya yang menjulang tinggi dibandingkan siapapun di dalam dunia profesionalnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Semua sejarah hidup soal Lee dimulai dengan ingatan orang-orang terhadap bocah umur 10 tahun yang tergila-gila pada semua jenis bacaan dan film.  Selain menyikat habis majalah-majalah hiburan, dia sudah membaca karya-karya William Shakespeare, Mark Twain, Edgar Rice Burroughs, dan Arthur Conan Doyle di usia tersebut.  Orang-orang juga mengingat dia kerap menirukan percakapan dari film-film, terutama yang dibintangi pria paling gagah pada saat itu, Errol Flynn.

 

Tak mengherankan bila di usia 17 tahun dia sudah menetapkan cita-cita menjadi penulis literatur yang serius.  Tapi, cita-cita itu tak kesampaian lantaran tak ada yang mempekerjakan bocah 17 tahun untuk apa yang dia inginkan itu.  Maka, ketika Martin Goodman, kerabatnya sendiri, mau mempekerjakan dia di Timely Publications—sebuah perusahaan majalah hiburan yang sedang menimbang untuk masuk ke bisnis komik—akhirnya Lee merasa itu adalah peluang terbaiknya.  Dan dunia sudah seharusnya berterima kasih pada Goodman untuk membukakan peluang itu.

 

Sebagai pemuda yang otaknya berisi semua genre tulisan, dia mampu menulis dan menyunting dengan kemampuan yang jauh lebih tinggi dibandingkan siapapun.  Upah USD8 per minggu yang dia terima itu benar-benar tak sebanding dengan produktivitasnya.  Diapun naik jabatan dengan sangat cepat.  Bukan lantaran nepotisme, namun karena semua orang sadar bahwa tak ada yang memang bisa menandinginya.

 

Di Timely Publications itu dia bertemu dengan Jack Kirby (nama ‘panggung’ Jacob Kurtzberg yang paling terkenal), jagoan gambar yang sebelumnya sudah terlebih dahulu melambung namanya berkat Captain America yang dia ciptakan bersama dengan Joe Simon.  Bersama dengan Kirby yang sangat kreatif dan mampu menggambar dengan kecepatan kilat itulah Lee mulai membuat jejak yang sangat terkenal di dunia ini.  Lee, yang menulis dengan kecepatan sangat tinggi—sebagian besar cerita yang dia hasilkan itu selesai dalam waktu ‘sekali duduk’—cocok dengan Kirby yang sama kilatnya.  Dia sendiri pernah bilang, “I’m a fast writer. Maybe not the best, but the fastest.”  Obituari buat Lee yang dituliskan Jonathan Kandell dan Andy Webster di New York Times mengutip kalimat itu.

 

Kalau saya menyebut Lee sebagai Einstein dalam dunia komik, Kandell dan Webster mengingatnya sebagai PT Barnum-nya komik.  Mengapa?  Karena sifatnya yang “energetic, gragarious, optimistic and alternately grandiose and self-Effacing.”  Yang tak kenal siapa PT Barnum, mungkin bisa mengingat karakter yang dimainkan oleh Hugh Jackman dalam musikal terkenal, The Greatest Showman.  Begitu kira-kira sifat Lee yang diingat oleh kedua kolumnis New York Times itu.

 

Saya sendiri berpikir soal Einstein lantaran kejeniusan Lee dalam menggabungkan semua wawasannya ke dalam karakter-karakter komik yang dia ciptakan.  Saya sering menemukan jejak-jejak pemikiran yang sangat serius di dalam cerita dan dialog yang dibuatnya.  Hulk adalah cerita modern Dr Jekyll – Mr Hyde, sehingga bagaimana Robert Louis Stevenson membuat Jekyll-Hyde bisa dilacak dalam Hulk. Bukan peniruan apalagi penjiplakan, Lee membuatnya kontekstual dan believable sebagai perwujudan karakter Hulk. 

 

Kemudian, tentu saja, Lee juga mampu membawa semua pembacanya menjadi paham mitologi bangsa Nordik lewat Thor. Iron Man adalah hasil pembacaannya atas kemampuan manusia dengan teknologi tinggi.  Tony Stark, karakter di balik zirah dan topeng Iron Man bukanlah manusia super dengan kekuatan yang melekat pada dirinya, melainkan lantaran dia bisa menciptakan teknologi sebagai ekstensi dari benak dan tubuhnya.  Ketika pada dekade 1960an dunia sedang dilanda demam perjalanan ke antariksa, Lee membuat The Fantastic Four, juga dengan wacana yang sangat kuat terkait dengan semangat itu.

 

Hulk, Thor, Iron Man, dan The Fantastic Four adalah sebagian saja dari kerja kolaboratifnya dengan Jack Kirby—yang kemudian mereka satukan di bawah atap Marvel Comics.  Masih ada seabreg yang lain termasuk X-Men, Magneto, Doctor Doom, dan Black Panther.  Dengan hasil yang begitu, kita tahu bahwa mereka berdua telah membuat jejak yang sangat kuat di benak ratusan juta atau bahwa mungkin miliaran penggemar komik Marvel di seluruh dunia.  Cerita dan gambar yang mereka hasilkan jelas merupakan cerita fiksi yang paling terkenal di dunia.

 

Namun hubungan kolaborasi itu bukannya tanpa kerikil.  Batu karang bahkan.  Lee yang doyan tampil menjadi sangat dominan, dan kerap menganggap para penggambar karakternya hanya sebagai pekerjanya belaka.  Kerap Lee dianggap ‘lupa’ memberi kredit dan royalti kepada kolaboratornya.  Kirby yang lebih dahulu terkenal tentu meradang, dan sempat meninggalkan Marvel untuk bergabung dengan DC Comics antara tahun 1971-1975.  Mereka kembali berkolaborasi setelah kemarahan Kirby reda, antara tahun 1976-1978.  Kali ini Kirby memegang kendali penuh atas kreasi Captain America dan Black Panther, selain menelurkan The Silver Surfer bersama Lee, dan seabreg karya yang lain.

 

Black Panther sendiri adalah karya yang sangat kontroversial.  T’Challa, Raja Wakanda, adalah jagoan pertama berkulit hitam dalam dunia komik di Amerika Serikat.  Dan itu diciptakan di tahun 1966 ketika masalah rasial masih sangat kental di sana.  Lee-Kirby benar-benar nekat menciptakan karakter dari kalangan minoritas, ketika kebanyakan orang berpikir bahwa jagoan itu seharusnya berkulit putih.  Apalagi, Wakanda digambarkan sebagai negeri dengan kemajuan teknologi yang melampaui AS. T’Challa sendiri digambarkan mampu menggabungkan kecerdasan otaknya, kekuatan perjalanan ruhani yang diturunkan dari para leluhur, dengan kemampuan teknologi yang dikembangkan dari mineral bernama Vibranium.

 

Di bawah pengaruh Lee, Marvel terus maju, walau banyak kritikus yang menganggap Marvel masih kurang mengangkat diversitas sebagaimana seharusnya.  Setelah Black Panther yang sangat progresif, tak ada karakter besar lagi yang muncul.  Di tahun 2005, akhirnya Black Panther mengalami reboot, dan muncullah karakter Shuri, adik bungsu sang Raja Wakanda.  Reginald Hudlin dan John Romita membuat karakter yang sangat kuat—selain otot kawat dan tulang besi, dia punya kecepatan super, juga ahli bela diri—plus kecerdasan luar biasa yang kemudian dinyatakan tertinggi di dalam jagad komik Marvel.  Dengan kecerdasan itu, dialah yang mampu membuat berbagai alat canggih untuk membantu kakaknya.  Kalau Black Panther itu James Bond, Shuri adalah Q-nya.  Hanya, Q yang ini juga pandai berkelahi.

 

Sembilan tahun setelah Shuri terlahir di jagad Marvel, muncullah karakter Ms Marvel.  Bukan cuma jagoan perempuan biasa, Ms Marvel adalah alter ego dari Kamala Khan, seorang Muslim keturunan Pakistan berusia 16 tahun yang tinggal di New Jersey.  Ms Marvel diciptakan oleh Sana Amanat, yang betul-betul seorang Muslim, keturunan Pakistan, dan dibesarkan di New Jersey; dan G. Willow Wilson penulis buku dan komik, serta jurnalis terkemuka, yang juga Muslim dari New Jersey.  Amanat adalah direktur konten Marvel, sementara Wilson adalah penulis dan editor tertinggi di sana.  Keduanya, bekerjasama dengan beberapa orang dalam sebuah tim kreatif yang solid, berusaha membuat karakter yang mengalami beragam persoalan budaya di AS namun berkeinginan kuat menjadi jembatan budaya yang kokoh.   

 

Banyak pihak yang tadinya khawatir bahwa karakter ini tak akan disambut dengan antusias, mengingat kuatnya islamofobia di AS.  Kenyataannya, sejak kemunculannya, sudah lebih dari setengah juta seri ini yang terjual, dan selalu masuk ke dalam daftar komik terlaris.  Kritikus sendiri menyambutnya dengan antusias—bahkan ada yang menyatakan bahwa tahun 2014 adalah tahun terpenting dalam sejarah komik—dan di tahun 2015 dan 2016 tak ada penghargaan bergengsi atas komik yang tak mampir ke seri ini.

 

Selain memanfaatkan komik untuk membuat pengaruh budaya yang sangat kuat, Lee kemudian juga memanfaatkan layar perak.  Film pertama Captain America memang dibuat pertama kali di tahun 1944, dengan kesuksesan yang terbatas.  Setelah beberapa percobaan yang tak menggembirakan, akhirnya di tahun 2000 mulailah era gemilang dari film-film yang dibuat berdasarkan karakter Marvel.  X-Men muncul di tahun itu, Spider-Man muncul 2 tahun kemudian, lalu kita semua bisa menyaksikan film-film itu hampir setiap tahun.  Layar kaca pun dipenuhi dengan karakter-karakter dari komik Marvel.  Hingga Juli 2018, dari layar perak saja Marvel menangguk pendapatan lebih dari USD24 miliar, alias sekitar Rp360 triliun.

 

Soal film-film itu, hal yang paling menarik mungkin adalah cameo atau peran selintasan yang memunculkan Lee dalam adegan-adegan yang keren.  Sahabat saya, Noviansyah Manap, menggambarkannya sebagai “Beberapa detik yang membuat selalu tersenyum dan terus dinantikan.”  Karena kepergian Lee, kita tahu bahwa akhirnya beberapa detik itu tak akan ada lagi.  Tetapi itu juga yang akan membuat seluruh penggemarnya menantikan kemunculannya di Captain Marvel (Maret 2019) dan Avengers 4 (Mei 2019) yang beberapa bulan lampau sudah selesai pengambilan gambarnya dan dikonfirmasi bahwa Lee ada di situ.  Kita sekarang juga tahu bahwa Lee tak akan muncul di Dark Phoenix (Juni 2019), tapi belum tahu apakah Lee bakal muncul di Spider-Man: Far from Home (Juli 2019).  Kalaulah tetiba dia muncul, tentu para penggemarnya bakal kegirangan.   

 

Lee tentu saja menjadi sangat kaya lantaran karya-karyanya, baik itu komik, film layar kaca maupun layar perak, membawa pundi-pundi uang yang menggunung.  Tetapi dia jarang bicara soal itu.  Sejak beberapa tahun lalu dia lebih banyak bicara soal bagaimana memanfaatkan waktu yang tersisa dalam hidupnya untuk membuat pengaruh yang lebih baik lagi.  Dia ingin membuat cerita yang lebih manusiawi—pada beragam karakter yang dia ciptakan, sengaja dia buat memiliki kelemahan seperti manusia biasa—untuk memberi inspirasi bahwa hasil luar biasa bisa dicapai dengan kerja keras, bukan semata-mata lantaran kekuatan super.  Dia ingin lebih banyak memberi ceramah dan mengajar generasi baru komikus yang dia harapkan bisa membuat pengaruh positif bagi dunia. 

 

Lee adalah perwujudan dari kata-kata yang dituliskan untuk diucapkan Ben Parker, paman Peter Parker sang Spider-Man, “With great power comes great responsibility.”  Dia jelas punya kekuasaan yang besar, dan telah memanfaatkan kekuasaan itu sebertanggung jawab yang dia bisa lakukan.  Dunia berhutang terima kasih untuk mengajarkan soal perjuangan, keberanian, bertahan dalam penderitaan, pembelaan kepada yang lemah, kesetiakawanan, kecerdikan dan kegigihan dalam menghadapi tantangan berat, dan banyak hal positif lainnya.  Selamat jalan, Stan Lee. Excelsior! 

 

***

Sumber foto: http://variety.com/2018/biz/news/stan-lee-hospitalized-hospitalization-1202685164/

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler