x

Iklan

Natasya Sitorus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hari Anak Universal: Anak HIV Juga Berhak Untuk Bersekolah

Sebuah refleksi peringatan Hari Anak Universal yang diperingati setiap 20 November. Tulisan ini dikaitkan dengan hak anak HIV untuk bersekolah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tiga anak dengan HIV kembali mengalami penolakan di lingkungan pendidikan. H (11 tahun), SA (10 tahun), dan S (7 tahun) sudah sempat masuk dalam daftar penerimaan siswa di sebuah SD dan Paud di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Juli 2018 lalu. Baru sehari menikmati pendidikan, ketiga anak itu ditolak karena status HIV mereka oleh orang tua murid yang lain. Ketiga anak yatim piatu itu tidak mengetahui mengapa keesokan harinya mereka tidak lagi boleh bersekolah.

Penolakan itu terjadi lantaran orang tua murid yang mengetahui status HIV ketiga anak tersebut takut kalau anak mereka akan tertular. Mereka mendesak pihak sekolah agar mengeluarkan tiga anak tersebut. Beberapa audiensi serta proses advokasi sudah dilakukan untuk menangani kasus ini. Pelibatan tokoh masyarakat, pihak gereja, komite sekolah, LSM HIV, dinas pendidikan, dinas kesehatan, serta pemerintah lokal sudah dilakukan. Hasilnya? Alot. Komite AIDS HKBP akhirnya harus menjaga agar ketiga anak yang berada dalam pengasuhan mereka tersebut tidak keluar rumah agar tidak berhadapan langsung dengan warga. Di bulan Oktober lalu, warga bahkan memberi ultimatum, agar ketiga anak itu segera keluar dari Pulau Samosir. Untuk sementara waktu, ketiga anak itu diberi pilihan untuk mengikuti homeschooling saja. Tepatkah pilihan ini?

Kasus ini seakan tenggelam begitu saja. Koordinator  Koalisi Masyarakat Sumatera Utara Peduli Anak Dengan HIV AIDS, Samara Yudha Arfianto, memberikan informasi terakhir kasus ini pekan lalu. “Untuk saat ini anak-anak tetap di Nainggolan karena sudah dijamin oleh pihak kepolisian. Dua anak sedang berobat, satu anak sudah sekolah di sekolah yang berbeda, yang dua lagi masih menunggu proses sekolah namun mereka mendapatkan homeschooling dari Dinas Pendidikan setempat”, jelasnya. Lagi, anak yang harus mengalah. Padahal, dalam peringatan Hari Anak Universal 2018 yang jatuh di tanggal 20 November 2018 ini, ada pesan kuat tentang hak pendidikan bagi anak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

UNICEF mengajak setiap orang untuk peduli pada hak pendidikan anak. Mereka ingin menciptakan dunia di mana setiap anak ada di sekolah dan belajar, serta bebas dari kekerasan dan mampu memenuhi potensi mereka. Homeschooling sebenarnya bukan pilihan yang salah. Namun rasanya tak tepat jika pilihan tersebut diambil bukan atas kemauan orang tua atau pengasuh, tapi karena adanya tekanan, paksaan, atau penolakan dari orang tua yang lain.

Hak anak untuk mendapat pendidikan sepenuhnya telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia  No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Setidaknya ada empat pasal, yaitu Pasal 9, 59, 67, dan 76 yang memberikan jaminan perlindungan bagi anak termasuk pemenuhan haknya untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Tidak itu saja, pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara juga berkewajiban memberikan perlindungan khusus terhadap anak, termasuk anak dengan HIV. Pasal 76 A bahkan menegaskan bahwa setiap orang dilarang untuk memperlakukan anak secara diskriminatif, dan pelanggarnya seharusnya dipidana penjara paling lama lima tahun dan atau denda paling banyak seratus juta rupiah.

Kasus tiga anak di Samosir bukanlah kasus diskriminasi anak dengan HIV pertama yang terjadi. Ada kurang lebih tujuh kasus serupa yang didampingi oleh Lentera Anak Pelangi di Jakarta sepanjang tahun 2009-2018. Semua terjadi karena ketidaktahuan orang tua murid serta lingkungan sekolah tentang informasi HIV yang benar. Pemahaman bahwa HIV adalah penyakit yang mematikan dan sangat mudah menular, ditambah dengan isu moral serta akibat dari perilaku menyimpang masih kuat melekat. Lalu tanggung jawab siapa untuk memberikan edukasi pada setiap lapisan masyarakat, pemerintah lokal, hingga pemerintah pusat tentang HIV? Tanggung jawab itu ada di tangan setiap orang yang sudah mengetahui informasi yang benar tentang HIV. Jika masih ada orang yang melakukan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV, maka berarti masih ada pihak-pihak yang belum tersentuh oleh kampanye serta proses edukasi yang selama ini telah bertahun-tahun dilakukan.

Lalu apakah edukasi serta pemberian informasi yang benar tentang HIV akan segera melunturkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV? Nyatanya tidak. Edukasi HIV harus terus menerus dilakukan. Selain itu, pengarusutamaan isu HIV juga harus mulai dilakukan sehingga HIV tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang luar biasa atau tak lazim, namun dianggap serupa dengan penyakit kronis lain yang bisa dikendalikan. Pemberian sanksi tegas terhadap pelaku diskriminasi harus dilakukan sebagai bentuk penegakan hukum atas kasus-kasus terkait pelanggaran berat hak orang dengan HIV.

Jika anak sudah terdiskriminasi dari lingkungan sekolah, maka tugas terberat bukanlah menemukan sekolah yang baru atau menciptakan sebuah kurikulum homeschooling khusus anak dengan HIV. Hal terberat adalah mengobati luka dan trauma yang dialami anak atas penolakan tersebut serta mengedukasi masyarakat agar hal serupa tak terulang lagi.

Momentum Hari Anak Universal ini seharusnya bisa dilihat sebagai penguatan komitmen bersama setiap pihak untuk sungguh-sungguh mengupayakan pemenuhan hak anak, termasuk hak untuk pendidikan. Selain itu, peringatan Hari AIDS Sedunia 2018 yang sudah di depan mata adalah kesempatan emas untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk peduli pada isu HIV terutama pada anak. Satu, tiga, atau berapa sedikitpun jumlah anak, mereka layak diperjuangkan karena satu anak adalah satu nyawa dan setiap nyawa berharga.

Ikuti tulisan menarik Natasya Sitorus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler