x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepemimpinan yang Amanah di Era Demokrasi

Dalam sistem demokrasi, tantangan kita ialah bagaimana melahirkan pemimpin dengan karakter yang amanah, hafiz, berpengetahuan, dan adil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Andai orang memahami betapa berat pertanggungjawaban seorang pemimpin di hadapan Allah, mungkin banyak orang takut mencalonkan diri jadi pejabat publik. Tanggung jawab pemimpin jelas lebih berat dibandingkan tanggung jawab anggota masyarakat, sebab di dalam kepemimpinan yang baik melekat sejumlah karakter yang tidak sederhana seperti amanah, menjaga amanah (hafiz), berpengetahuan, dan adil—untuk menyebut beberapa di antaranya.

Kepemimpinan di masyarakat, sesungguhnya, bukanlah perkara perebutan suara pemilih semata sebagaimana dipraktikkan dalam sistem demokrasi dengan mengabaikan praktik-praktik yang punya konsekuensi ukhrawi. Manipulasi dapat terjadi dalam proses-proses yang berlangsung sebelum, saat, maupun sesudah pemilihan, sebutlah di antaranya manipulasi persepsi publik dan manipulasi data. Banyak orang menganggap bahwa proses-proses ini hanya perkara duniawi dan karena itu tidak peduli bagaimana proses itu berjalan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita tahu, demokrasi memungkinkan terpilihnya para pemimpin yang melenceng dari karakter tadi asalkan ia mampu meyakinkan pemilih bahwa ia layak dipilih. Hasil dari proses demokrasi ialah pemimpin yang mungkin saja memiliki sejumlah karakter amanah, tapi bisa pula ‘pemimpin’ (dalam tanda kutip) yang mengkhianati kepercayaan rakyat—korupsi, suap, hingga represi. Adolf Hitler adalah contoh ekstrem kepemimpinan represif yang dilahirkan dari sistem demokrasi. Demokrasi juga melahirkan banyak pemimpin yang akhirnya diberi rompi oranye oleh KPK. Tapi, demokrasi juga bisa melahirkan pemimpin hebat yang mengedepankan kepentingan rakyat.

Dalam sistem demokrasi yang kita sepakati sekarang, tantangan kita ialah bagaimana melahirkan pemimpin dengan karakter yang amanah, hafiz, berpengetahuan, dan adil. Pemimpin yang amanah atau dapat dipercaya akan menempuh proses pemilihan dengan cara yang benar, tidak manipulatif, tidak menghalalkan segala cara agar terpilih. Berpengetahuan berarti mengerti benar untuk apa ia menjadi pemimpin—lead the way, show the way, dengan cara yang benar dan untuk tujuan yang benar.

Pemimpin yang amanah menjalankan tugas kepemimpinannya dengan baik. Dalam perjalanan kepemimpinannya, ia menjaga kepercayaan yang diberikan rakyat (hafiz), tidak menyelewengkan kekuasaan yang diamanahkan untuk kepentingan apapun dan siapapun—kelompok partisan maupun individu. Ia tidak menyeleweng bukan karena takut kepada tekanan partai, pendukung di akar rumput, para penyokong finansial di masa pemilihan, maupun KPK, melainkan karena takut kepada Allah.

Seseorang bisa saja gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu menjaga amanah atau tidak memiliki ilmu yang terkait dengan kepemimpinannya—betapa banyak contoh di hadapan kita mengenai pemimpin atau pejabat publik seperti ini. Banyak pejabat publik yang mengabaikan motif ‘takut kepada Allah’ karena beranggapan bahwa kepemimpinan dalam masyarakat adalah perkara duniawi semata, dan karena berpendapat bahwa kepemimpinan dalam masyarakat tidak ada kaitannya dengan akhirat.  

Karena mengabaikan perhitungan di hari akhir nanti, banyak pemimpin abai untuk bersikap adil dalam menanggapi persoalan masyarakatnya. Begitu pula, banyak hakim (bahkan yang dilabeli ‘agung’ sekalipun oleh sesama manusia) tidak cukup memiliki kepekaan untuk bersikap dan bertindak adil dalam memutus suatu perkara karena ia mengabaikan urusan akhiratnya.

Beratus tahun yang silam, Rasulullah Muhammad SAW, dengan kepemimpinan yang meneladankan karakter-karakter tadi, maupun karakter kepemimpinan lain yang juga penting, sudah mengingatkan tentang beban akhirat yang melekat pada jabatan kepemimpinan yang diamanahkan. Pada hari kiamat, setiap pemimpin akan ditanya apakah ia menjaga amanah yang dititipkan kepadanya atau menyia-nyiakannya.

Karena itulah, Rasulullah pernah menasihati sahabat Abu Dzar al-Ghifari yang karena ingin berbakti ia menawarkan diri kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak memberiku jabatan apapun?” Sembari menepuk bahu sahabatnya yang dikenal zuhud itu, Rasulullah menjawab, “Hai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu amanah. Sesungguhnya, jabatan hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan bagi orang yang menerimanya, kecuali ia mengambilnya dengan cara yang benar dan menunaikan amanah itu juga dengan benar.”  Kelak, Abu Dzar tercatat dalam sejarah sebagai seorang zuhud yang kritis terhadap kepemimpinan yang tidak adil. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler