x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tanpa Perempuan, Semua Lini Kehidupan Akan Oleng

Pria yang tidak menghargai wanita akan mengalami ketidakseimbnagan spiritual. Tidak sempurna kelaki-lakian seorang pria yang tidak menghormati wanita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekitar sebulan dari hari ini, dunia akan memperingati Hari Ibu. Dan mungkin kita akan kembali mendengar ungkapan begini: Women, all the same! Padahal bisa juga dikatakan: Men, all the same!

Dan sebenarnya, hanya diperlukan dua alasan utama kenapa setiap pria wajib menghormati wanita. Begitu pula sebaliknya, wanita wajib menghormati pria, yaitu:

Pertama dan utama, tiap wanita siapapun dia (nenek, ibu, kakak-adik, cucu, bibi, ipar dan seterusnya) adalah sosok yang utuh dalam posisinya sebagai makhluk manusia. Prinsip ini saja sudah lebih dari cukup untuk menempatkan dan memperlakukan wanita dalam posisi terhormat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebab, kecuali perbedaan gender (dan turunannya), sesungguhnya tak ada satu pun alasan yang membedakan pria dan wanita.

Kedua, sudah menjadi sunnatullah bahwa selain Allah Sang Pencipta, seluruh makhluk pada dasarnya diciptakan berpasang-pasangan. Pesan teologisnya bahwa satu-satunya zat menyandang sifat ketunggalan (witir) yang utuh hanya Sang Pencipta. Artinya menghargai wanita sebagai pasangan pria sesungguhnya sarat dengan muatan teologis. Konsekuensinya, tidak sempurna kelaki-lakian seorang pria yang tidak menghormati wanita.

Dan pesan praktis dari konsep bahwa semua makhluk diciptakan berpasangan, adalah keseimbangan.

Maka setiap perlakuan yang mencederai keseimbangan alami (baca: sunnatullah) itu, pada akhirnya akan membuat seluruh lini kehidupan menjadi oleng.

Karena itu, saya termasuk orang yang tidak mempersoalkan argumen – yang acap dipahami tidak proporsional – yang mengatakan, wanita adalah pasangan seksual (baca: “pemuas nafsu pria”). Dan sesungguhnya ini bukan frasa yang merendahkan. Sebab pada saat yang sama, pria juga dapat disebut “pemuas nafsu perempuran”. Pernyataan di paragraf ini jangan dipahami dengan imajinasi jorok, tapi dipahami dalam konteks bagian dari prinsip keseimbangan alami.

Pria yang tidak memposisikan wanita sebagai mitra untuk mengemban misi keseimbangan dalam melakoni kehidupan, merupakan indikator utama bahwa pria itu menentang kodrat alam (sunnatullah).

Dan prinsip keseimbangan di sini bukan hanya dalam segi gender/seksual atau jenis kelamin, tetapi yang lebih utama adalah keseimbangan spriritual. Pria yang tidak menghargai wanita, akan mengalami ketidakseimbnagan spiritual. Oleng.

Ilustrasi: betapa buramnya kehidupan bila semua manusia hanya berjenis kelamin lelaki, tanpa wanita. Begitu pula sebaliknya: betapa buramnya kehidupan jika semua manusia hanya berjenis kelamin wanita, tanpa pria.

Karena alasan dua prinsip tersebut di atas, sebagai catatan penutup, saya ingin menyampaikan kritik: mestinya tanggal 22 Desember bukan hanya memperingati “Hari Ibu”. Tapi akan lebih tepat dirayakan sebagai “Hari Perempuran” tanpa kecuali. Karena semua wanita pada dasarnya adalah ibu atau berpotensi menjadi ibu kita semua.

Syarifuddin Abdullah | 21 Nopember 2018/ 13 Rabiul-awal 1440H

Sumber foto: Aliexpress

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler