x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepemimpinan: Soal Karakter atau Kompetensi?

Banyak pemimpin terkemuka yang menilai karakter sebagai modal pokok terpenting dalam kepemimpinan, melebihi kompetensi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Norman Schwarzkopf, jenderal Amerika yang memimpin pasukan Sekutu dalam Perang Teluk (1990-1991), pernah berujar: “Kepemimpinan adalah perpaduan erat antara strategi dan karakter. Tapi, jika kamu terpaksa tidak punya salah satunya, biarlah tanpa strategi.”

Dalam sejarah, banyak pemimpin terkemuka yang menilai karakter sebagai modal pokok terpenting dalam kepemimpinan. Mengapa karakter memainkan peran yang kritis dalam kepemimpinan? Karena karakter merupakan hasil internalisasi seseorang sepanjang hidupnya, sedangkan kompetensi dan strategi dapat dipelajari lebih cepat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meminjam pendekatan Sigma Assessment Systems Inc., karakter berarti perpaduan antara sifat-sifat, nilai-nilai, dan kebajikan yang memungkinkan seseorang membuat penilaian dan mengambil keputusan dengan benar. Secara fundamental, karakter membentuk cara kita memandang dunia sekeliling kita, bagaimana kita memperhatikan orang lain, bagaimana kita menilai sesuatu, bagaimana kita memilih dan bertindak, bagaimana kita memutuskan, dan banyak lagi.

Dalam konteks yang lebih luas, strategi dapat dipahami sebagai kompetensi. Meskipun penting dalam kaitan pengambilan keputusan pada umumnya maupun kualitas kepemimpinan, namun karakter dianggap lebih mendasar. Karakter justru dianggap sebagai kapasitas dasar yang diperlukan untuk mengembangkan kompetensi, untuk menunjukkan komitmen terhadap sesuatu, serta untuk menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan.

Karakter pula yang menjadi fundamen kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW, yakni jujur, amanah atau dapat dipercaya, teguh menyampaikan kebenaran, serta cerdas. Unsur yang terakhir, kecerdasan, lebih terkait dengan kompetensi, ilmu, penguasaan, keterampilan dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan, namun tidak sepenuhnya lepas dari karakter.

Mengapa seorang pemimpin harus jujur? Sebab kejujuran membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat. Para guru kepemimpinan mengingatkan benar betapa penting bagi pemimpin untuk menyampaikan kebenaran secara jujur dan bukan menyembunyikan kebenaran hanya karena ingin menyenangkan orang lain atau menghindari konflik. Ketidakjujuran hanya akan melahirkan ketidakjujuran selanjutnya.

Amanah bermakna mampu menjalankan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Seorang pemimpin semestinya tidak akan mencla-mencle atau berkianat kepada yang memberi kepercayaan. Ia tidak akan memanipulasi kepercayaan kepada dirinya. Karakter jujur dan amanah membentuk apa yang disebut integritas—kata yang sering diucapkan oleh para pemimpin (‘pakta integritas’), tapi terbukti paling sering dilanggar.

Menyampaikan kebenaran atau tabligh merupakan karakter ketiga yang patut dipunyai seorang pemimpin. Konteksnya adalah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Dibutuhkan keberanian dan kejujuran untuk mewujudkan karakter ini dalam perilaku. Karena itu, sifat tabligh tak bisa dipisahkan dari dua sifat yang lain—jujur dan amanah. Pemimpin jenis ini tidak akan menyembunyikan kebenaran atau bersiasat dengan maksud buruk. Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad merepresentasikan kepemimpinan yang bercirikan tabligh ketika menyuarakan ketauhidan. Karakter tabligh juga ditunjukkan oleh Bung Hatta ketika pada 1 Desember 1956 ia mengundurkan diri dari posisinya sebagai Wakil Presiden karena menilai langkah Bung Karno semakin jauh dari UUD 1945. Dengan mengundurkan diri, Bung Hatta mengingatkan kawan seperjuangannya sedari muda itu.

Karena seorang pemimpin harus mampu menunjukkan arah yang benar kepada rakyat yang ia pimpin (show the way, lead the way), seorang pemimpin mestilah cerdas (fathanah). Kecerdasan ini bukan hanya secara rasional, tapi juga emosional. Ia memahami masalah yang dihadapi rakyatnya, ia mengerti apa yang harus dilakukan, ia menguasai strategi maupun cara yang harus ditempuh untuk mengarahkan dan membawa rakyatnya kepada tujuan yang ingin dicapai. Ia juga merasakan dan berempati pada penderitaan rakyatnya yang fakir, miskin, maupun terpinggirkan.

Bila sejumlah karakter tadi ditarik dalam konteks sekarang, apakah masih relevan? Para pakar kepemimpinan tidak dapat membantah bahwa relevansi karakter-karakter tadi dengan perkembangan masyarakat sekarang maupun ke depan sangatlah kuat. Mengapa? Karena, karakter-karakter tadi menjadi modal utama seorang pemimpin untuk membawa masyarakatnya menuju kesejahteraan duniawi-ukhrawi.

Pertanyaan selanjutnya: mudahkah menemukan pemimpin di masa sekarang yang melekat pada dirinya keempat karakter tersebut? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler