x

Iklan

Yudel Neno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membedah Pendidikan dan Ekonomi Liberal Dalam Kerangka Panca

Pancasila menjunjung tinggi martabat manusia, karena itu pendidikan dan ekonomi pun harus demikian

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rhiky Asa

(Mantan Ketua LMND Komisariat Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang)

 

 

Tersembunyi seribu satu rahasia di balik senja yang sunyi, bisu nan indah. Senja itu tidak lain adalah ambang menuju gelapnya malam.  Dalam kegelapan yang paling gelap, seringkali aksi tanpa timbang adalah bentuk penyesuaiannya. Jika senja itu, kedatangannya ditandai dengan segerombolan orang ataupun lembaga dengan prioritas yang lebih pada keuntungan uang daripada kualitas pendidikan, sebagai hasilnya, pendidikan hanya bisa dienyam oleh mereka yang berduit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sesungguhnya inilah rezim pembungkaman nalar, di mana manusia yang seharusnya merupakan subyek pendidikan justru menjadi obyek permainan ekonomi pendidikan. Pendidikan memang setali mata uang dengan ekonomi tetapi manusia tetaplah merupakan subyek pendidikan. Prinsip ini mengelemir otomatis anggapan sebagian orang bahwa pendidikan berhenti hanya pada wisuda. Anggapan yang terlalu mendewakan wisuda di satu sisi menguntungkan pihak tertentu karena yang dipentingkan adalah uang sebagai sarana untuk melancarkan dan memudahkan wisuda. Walaupun demikian, tetap diyakini bahwa pemanfataan nalar yang baik akan membuahkan wisuda tepat pada waktunya.

Inilah efek dari pendidikan ekonomi liberal bahwa setiap orang diberi kesempatan seluas-luasnya untuk bermain-main dalam air keruh, mengantongi sejumlah kekayaan dengan seperangkat jabatan yang dimiliki. Nalar akhirnya terbungkam pada rezim ekonomi. Nalar yang terbungkam pada rezim ekonomi inipun tidak hanya berkutat pada soal wisuda melainkan pada sisi lain, nalar pun seringkali terbungkam atau nalar menjadi budak dalam visi, misi dan strategi pada perusahaan-perusahaan. Menyikapi persoalan ini, kebijakan pemerintah yang adil turut berandil dalam memberantas pola-pola kerja yang terlalu mengagungkan keuntungan pada segelintir orang ketimbang kualitas manusia Indonesia seluruhnya.

Tuntutan bagi pemerintah adalah, perlu membuatkan kebijakan ekonomi yang benar-benar prorakyat agar pendapatan daerah bertambah tetapi rakyat tidak boleh ditindas atas kebijakan itu, atau rakyat tidak boleh dirugikan oleh pihak yang bernaung di bawah kebijakan itu. Pemerintah yang terlalu memberi peluang pada ekonomi liberal, akibatnya keuntungan akan menjadi usaha sendiri-sendiri tanpa adanya suatu fungsi kontrol yang intens dan memadai. Dalam situasi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, para koruptor pun tak kalah saingnya. Di tengah sistem ekonomi liberal, keuntungan yang diperolah sebesar-besarnya atas usaha pribadi bisa menjadi ajang untuk melakukan konspirasi dengan kekuatan uang. Hasilnya, terjadi konpirasi kepentingan antara penguasa dan pengusaha, akibatnya, pendidikan menjadi ruang bagi pengusaha untuk mengembangkan proyeknya dan  penguasa bermitra dengan pengusaha untuk mendapatkan keuntungan.

Tentu anda bisa bayangkan seperti apa maraknya praktek sistem ekonomi liberal.  Sebagai akibatnya, manusia diperjual belikan ibarat benda atau hewan. Sumber daya manusia justru dipergunakan, semata hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar atau komoditi. Otak manusia Indonesia dalam dunia pendidikan yang seharusnya berpikir cerdas karena tujuan pendidikan yang dicantumkan dalam preambule UUD 1945 alinea ke empat; kecerdasan bangsa, tetapi tidak sepenuhnya dilaksanakan.

Menyikapi praktek seperti ini, Pancasia sama sekali tidak menginginkan hal itu.  Pancasila menginginkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan itu hanya dapat tercipta kalau sumber daya manusia Indonesia benar-benar diperhatikan dalam semangat pembangunan nasional manusia Indonesia yakni mencerdaskan manusia Indonesia melalui pendidikan yang seutuhnya dan seluruhnya. Pencerdasan ini pun tidak melepaskan diri dari daya dukung ekonomi, karena itu, Pancasila menginginkan suatu sistem ekonomi kerakyatan, ekonomi yang berasaskan kekeluargaan demi kesejateraan rakyat indonesia bukan untuk segelentir orang. Walaupun demikian, tetap disadari bahwa status Indonesia sebagai negara berkembang, masih dalam upaya secara bertahap dan menjangkau seluruh dan bila perlu hingga tingkat pendidikan gratis.

          Pendidikan dan ekonomi dalam kerangka Pancasila justru menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan yang mesti ditempuh secara bertahap melalui pendidikan dan pencerdasan manusia Indonesia. Di sini, anggapan bahwa manusia sebagai sarana untuk pendidikan dan ekonomi merupakan suatu pola pikir yang keliru dan bahkan tidak pancasilais. Mengapa demikian? Karena upaya terhadap martabat manusia yang paling nyata justru melalui pengerahan potensi manusia itu sendiri dalam bingkai marwah Pancasila. Kebutuhan pasar mau setinggi apapun, martabat manusia tidak dapat dipertaruhkan sebagaimana  yang lazim terjadi melalui berbagai kasus human trafficking. Manusia bukan benda karena itu keuntungan pada manusia pertama-tama, diandaikan bahwa ia diuntungkan karena penghormatan akan martabat dirinya sendiri.

Dalam kerangka Pancasila, adapun catatan kritis yang dapat diberlakukan terhadap ekonomi liberal yakni manusia Indonesia perlu cermat untuk mengkritisi mitra kerja bersama pihak luar atau pihak asing, agar atas keterlibatan mereka, Pancasila sebagai dasar negara dan manusia Indonesia sebagai subyek pembangunan tidak boleh dirugikan. Seringkali karena kevakuman ekonomi, pihak pemerintah merasa perlu untuk membagun mitra dengan pihak asing. Pihak asing  yang terlalu diberi andil ini, pada sisi tertentu terkesan “mampu membeli otoritas pemerintah Indonesia” dalam penyelenggaraan pendidikan. Efeknya lanjutnya, biasa ekonomi bisa makin murah tetapi konsentrasinya tidak pada manusia pancasilais melainkan pada keuntungan yang perlu diperloeh sedikit-sedikit tetapi melalui suatu tahapan yang tetap sifatnya dan terus berkelanjutan. Hasilnya, ekonomi asing makin maju, ekonomi Indonesia tetap di tempat dan bahkan mundur, sementara manusia Indonesia sebagian tetap tidak dapat menyenyam pendidikan karena biaya yang terlampau mahal.

Oleh karena itu, seluruh rakyat Indonesia perlu sepakat bahwa 2019 hanya akan lebih baik kalau manusia-manusia tidak hanya cerdas melalui pendidikan kampus melainkan cerdas pula menghayati nilai-nilai Pancasila serentak mengkritisi mitra kerja mana yang memang benar-benar prioritas pada manusia Indonesia seluruhnya dan seutuhnya. Tuntutan ini merupakan suatu tuntutan kognitif pancasilais, karena itu peranan aktif pendidikan dalam menguji kecerdasan para kader bangsa perlu diprioritaskan dalam kaca mata demokratis.

 

 

Penulis         : Rhiky Asa

Editor          : Yudel Neno

 

Ikuti tulisan menarik Yudel Neno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB