x

Iklan

Sapto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kembalinya Freeport dan Inalum ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Jadi terasa aneh rasanya jika perusahaan yang dimiliki Indonesia harus membayar kepada negara Amerika

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhir tahun 2018 lalu berita tanah air dihebohkan dengan isu kepemilikan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sudah berhasil di akuisisi oleh pemerintah Indonesia.

Dalam hal ini PT Indonesia Asahan Alumunium atau Inalum (Persero) sebanyak 51 persen. Sudah pasti kedudukan Inalum berperan mewakili Pemerintah RI. Nah sedangkan PT Freeport Indonesia pun 51% saham sudah dikuasai oleh Inalum.

Dalam membuat tulisan ini pun saya masih bingung. Bukan tak beralasan, kedua perusahaan Badan Usaha milik Negara yang katanya besar ini punya Indonesia kan? Kenapa sahamnya tidak kita miliki semua?  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak hanya itu, salah satu komisaris terbaiknya pun harus diganti karena adanya perubahan komposisi direksi dan komisaris perusahaan. Nah loh!

Eks Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan melalui blog pribadinya membeberkan peran sejumlah pemangku kebijakan yang membuat akuisisi Freeport Indonesia tersebut akhirnya terealisasi.

Salah satunya presiden RI ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono. SBY disaat memangku jabatan berhasil menjadikan PT Inalum dikuasai 100 persen menjadi BUMN.

Di era SBY, perusahaan ini dikuasai Jepang. Dengan memakai nama Nippon Asahan Aluminium (NAA). Lalu pemerintah mengakuisis NAA pada 1 November 2013.

Dan pemerintah pun berhasil mengambil alih 58,87% saham NAA sekaligus menjadikan seutuhnya Inalum milik Indonesia.

Untuk mengakuisisi saham NAA, pemerintah menggelontorkan dana sebesar US$ 556,7 juta atau ada yang menyebut SU$ 558 juta. Angka ini lebih rendah dari harga yang ditawarkan NAA US$ 626 juta.

Keberhasilan SBY mengakuisisi 100% saham Inalum kala itu, dipandang bos Harian Jawa Pos tersebut sebagai cikal bakal berhasilnya akuisisi Freeport saat ini. 

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan di era Jokowi telah menargetkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi PT Freeport Indonesia bisa terbit sebelum akhir 2018. 

Jadi terasa aneh rasanya jika perusahaan yang dimiliki Indonesia harus membayar kepada negara Amerika yang mana negara ini hanya bersifat mengontrak. Sedangkan Indonesia sebagai pemilik.

Dan disini sudah jelas pemerintah telah menentukan empat hal yang harus dipenuhi sebelum IUPK OP diterbitkan. Pertama, proses pelunasan transaksi divestasi saham sebesar 51 persen kepada PT Inalum selesai. Kedua, kewajiban pembangunan smelter dalam lima tahun disepakati. 

Ketiga, kewajiban perubahan rezim kontrak karya ke IUPK yang telah disepakati oleh Freeport Indonesia. Keempat, penerimaan negara harus lebih besar setelah perubahan rezim yang ketentuannya telah diselesaikan oleh Kementerian Keuangan. 

Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu, melalui akun twitternya, @saididu, menjelaskan terdapat 3 pilihan bagi Indonesia mengakuisisi 51% saham Freeport.

Pilihan pertama, hentikan kontrak dengan Freeport-McMoRan (FCX) dan ambilalih sepenuhnya. Kedua, ubah kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan ambil saham langsung mayoritas. Ketiga, ubah Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK dengan pengambilan saham bertahap.

Dan pemerintah pun memilih optional ke dua, ubah kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan ambil saham langsung mayoritas.

Dengan berhasilnya Indonesia meraih separuh saham Freeport ini tentulah tak terlepas dari tangan dingin SBY dimasa menjabat. Satu-persatu perusahan besar berhasil dikuasai sepenuhnya dari pihak asing. Termasuk Inalum dan Freeport. 

Ikuti tulisan menarik Sapto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler