x

Iklan


Bergabung Sejak: 1 Januari 1970

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Catatan Reformasi TNI Tahun 2018

Reformasi TNI ini bagaimanapun seharusnya berjalan maju dan tidak boleh terpengaruh oleh dinamika politik praktis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Ikhsan Yosarie

Tahun 2018 telah berganti menjadi 2019. Lembaran baru dimulai di tahun 2019 dengan pelbagai hal yang menjadi menjadi evaluasi bersama di tahun 2018 untuk 2019 yang lebih baik, terutama yang berkaitan dengan reformasi alat negara, yaitu TNI. 2018 menjadi tahun yang penuh dengan dinamika politik praktis, baik itu sebagai efek lanjutan tahun sebelumnya dengan gelaran pilkada serentak, maupun sebagai tahun pacuan menuju pemilu 2019.

Reformasi TNI ini bagaimanapun seharusnya berjalan maju dan tidak boleh terpengaruh oleh dinamika politik praktis, meskipun kondisi dan situasi ketika itu merupakan tahun politik. Hal ini perlu digarisbawahi untuk menjaga garis demarkasi antara TNI dengan politik praktis atau reformasi TNI dengan politik praktis. Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang menjadi catatan penting selama tahun 2018 yang berkaitan dengan reformasi TNI.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara institusional, di tahun 2018 TNI mendapat sorotan dalam tiga hal. Pertama terkait dengan pencalonan beberapa perwira dan perwira tinggi TNI dalam Pilkada 2018, ada yang diusung partai politik dan ada yang maju pada jalur perseorangan. Letjen Edy Rahmayadi, menjadi salah satu nama yang banyak disorot pada pilkada serentak 2018 lalu, karena telah mendeklarasikan keikutsertaan sebelum resmi pensiun. Mantan Pangkostrad tersebut maju pada Pilkada Sumatera Utara sebagai calon gubernur dan berhasil menjadi Gubernur terpilih. Edy Rahmayadi ketika itu diusung koalisi enam partai, PKS, Hanura, Golkar, PAN, Gerindra, dan NasDem. Kemudian, ada nama Brigjen Edy Nasution yang maju sebagai calon Wakil Gubernur Riau yang diusung PKS, NasDem, dan PAN. Pada jalur perseorangan, terdapat dua nama, yaitu Mayor Inf David Suardi, yang maju sebagai calon Wali Kota Bengkulu dan Kolonel Murianto Babay yang maju sebagai calon Wakil Bupati Bolaang Mongondow Utara.

Persoalan ini mendapat sorotan karena perwira-perwira alat negara ini telah mengajukan pengunduran diri ke institusinya, atau menunggu masa pensiun (pensiun dini), namun belum mendapat penetapan resmi, sehingga statusnya masih aktif. Meskipun beberapa saat berikutnya telah pensiun dini, namun keterlibatan dengan politik praktis semasa masih berstatus masih aktif ini yang kemudian menjadi soal, karena bertentangan dengan jati diri tentara profesional dan larangan prajurit aktif TNI untuk terlibat politik praktis sesuai dengan UU No.34 tahun 2004 tentang TNI.

Sorotan kedua terkait pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Dalam hal pelibatan pemberantasan terorisme, pasal 43I ayat (3) Undang-Undang Antiterorisme yang baru telah mengatur tentang ketentuan keterlibatan TNI dalam ranah pemberantasan terorisme diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden (Perpres). Sebelumnya, perihal keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dalam kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Sorotan kini mulai mengarah pada Perpres yang akan mengatur pelibatan TNI tersebut. Hal ini bukan tanpa alasan, terdapat narasi besar yang segaris dengan reformasi militer yang turut diperjuangkan. Poin pentingnya sederhana, ketika militer masuk kedalam ranah sipil sebagai pihak yang berstatus diperbantukan, dalam hal ini pemberantasan terorisme, secara serta merta militer juga masuk kedalam wilayah hukum sipil dengan model penanganan criminal justice system terhadap terorisme, karena militer akan bersinggungan dengan sesuatu yang berada dalam wilayah sipil. Sehingga, pasal 3 ayat (4) huruf a TAP MPR No.VII tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri yang mengamanatkan bahwa prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum, seharusnya dapat dilaksanakan.

Dan sorotan ketiga terkait dengan pengangkatan KSAD baru Jenderal Andika Perkasa. Dalam hal pengangkatan KSAD baru Jenderal Andika Perkasa. Setelah Presiden Joko Widodo melantik Jenderal Andika Perkasa sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada 22 September 2018 lalu menggantikan Jenderal Mulyono yang memasuki akan pensiun pada Januari 2019, pelantikan tersebut kemudian menuai sorotan banyak pihak, salah satunya Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan (RSK).

Dalam siaran persnya tentang “KSAD Baru : Jalan Panjang bagi Penegakan HAM” (23/11/2018), koalisi masyarakat untuk RSK menilai, seharusnya proses pergantian KSAD lebih mengedepankan pertimbangan dimensi profesionalitas dan kompetensi, ketimbang pertimbangan politis. Dalam hal ini, koalisi masyarakat RSK menilai pergantian KSAD yang baru ini justru mengedepankan pertimbangan politik ketimbang pertimbangan objektif demi membangun profesionalitas TNI. Lebih lanjut, persoalan netralitas dan profesionalitas TNI juga dipertaruhkan dalam konteks menghadapi pemilu 2019.

Sorotan tersebut dirasa wajar jika lihat dengan perspektif yang relevan, misalnya dalam konteks cepatnya kenaikan pangkat Jenderal Andika Perkasa. Dari pangkat Brigadir Jenderal (bintang 1) sewaktu menjadi Kepala Dinas Penerangan TNI AD sampai dengan pangkat Jenderal (bintang 4) pada 2018, hanya membutuhkan waktu enam tahun, dari 2013 ke 2018. Bahkan untuk beberapa fase kepangkatan dan jabatan, Jenderal Andika juga mendapat sorotan karena. Misalnya kenaikan pangkat yang tidak sampai setahun, kemudian selama tahun 2018, yang bersangkutan sudah tiga kali di mutasi, mulai dari Komandan Diklat TNI AD (bintang 3), Pangkostrad (bintang 3), dan empat bulan berselang, diangkat menjadi KSAD (bintang 4).

Reformasi Dua Sisi

Tiga sorotan yang mengarah kepada institusi TNI ini tidak dapat dilepaskan dari agenda reformasi TNI dalam konteks kepatuhan TNI kepada peradilan umum ketika berurusan dengan ranah sipil, serta keterlindungan institusi TNI dari pengaruh atau infiltrasi politik praktis.

Disisi lain, dalam catatan-catatan diatas, kita bisa melihat bahwa reformasi alat negara, khususnya TNI dapat berjalan maju-mundur jika berhadapan dengan kepentingan politik. Melalui beberapa kasus diatas, kita dapat menyadari dan membuka mata kita bahwa upaya menjaga reformasi dan profesionalitas TNI harus berjalan timbal balik, antara pemerintah dan internal TNI. Selama ini, kita cenderung mengarahkan upaya menjaga reformasi dan profesionalitas kepada internal institusi TNI, narasi-narasi yang tercipta berupa TNI harus netral dan jangan terlibat politik praktis.

Namun, sekali lagi melalui kasus-kasus diatas, seharusnya sorotan tersebut juga di alamatkan kepada pemerintah agar tidak menarik-narik TNI kepada agenda politik praktis. Pemerintahan sipil juga harus mampu menjaga profesionalitas institusi, serta menghormati profesionalitas yang tengah diupayakan oleh institusi TNI/Polri.

Sumber Gambar : Pxhere.com

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu