x

Iklan

Hamzah Zhafiri Dicky

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anomali Kebebasan Berekspresi di Yogyakarta

Kebebasan berekspresi di Yogyakarta kembali diuji, dengan adanya konflik antara pendiri grup facebook ICJ dan wartawan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Warganet yang sedang atau pernah tinggal di Yogyakarta pasti cukup mengenal grup Facebook Info Cegatan Jogja. Grup ini memang dikenal memberikan informasi cegatan alias razia yang dilakukan polisi di jalan-jalan Daerah Istimewa Yogyakarta. Seiring dengan waktu, grup ini pun juga rutin dijadikan wadah untuk berbagi informasi seputar kecelakaan, kriminalitas, isu sosial, dan kejadian penting lainnya yang kira-kira berhubungan dengan aneka kehidupan komunitas di Yogyakarta.

Grup yang kerap disingkat menjadi ICJ ini pun memang telah menjadi komunitas terpadu bagi masyarakat Yogyakarta untuk saling berbagi dan mengkonsumsi informasi. Bahkan pihak kepolisian pun memantau terus grup ini agar selalu dapat merespon berbagai laporan penting yang terjadi di lapangan.

Sosok di balik grup ini pun tidak lain adalah Yanto Sumantri. Beliaulah yang mendirikan grup ini dan menjadi admin untuk memoderasi jalannya forum grup yang sangat berguna bagi masyarakat ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun belakangan, telah terjadi hal yang kurang menyenangkan bagi segenap komunitas ini. Semua berawal ketika ICJ menyelenggarakan aksi damai menolak klitih di Yogyakarta. Klitih dikenal sebagai aksi kenakalan remaja yang sangat berbahaya di jalanan, seperti penganiayaan, penjambretan, hingga perampokan.

Beberapa waktu kemudian, turun pemberitaan di TV yang meliput aksi damai itu. Namun, entah kenapa aksi tersebut malah diberitakan oleh salah satu stasiun TV nasional sebagai aksi ajakan kampanye damai dan menjauhi hoax.

Yanto pun menangkap potongan gambar berita TV tersebut dan mengunggahnya di grup ICJ. Ia menyayangkan pemberitaan tersebut yang menurutnya juga ironi, karena seolah-olah stasiun TV itu menyerukan anti-hoax padahal sesungguhnya isi beritanya ya adalah hoax itu sendiri. Karena aksi ICJ yang diliput sesungguhnya menyuarakan tentang isu klitih dan tidak ada hubungannya dengan pemilu.

Grup pun menjadi ramai dan anggota komunitas ICJ banyak yang berang terhadap awak media beserta stasiun TV yang bersangkutan.Tidak berapa lama kemudian, pihak stasiun TV yang bersangkutan, yaitu MNC TV, mengirimkan permohonan maaf pada Yanto. Yanto pun menghapus postingannya di Facebook. Namun begitu, cibiran terhadap MNC TV terus bergulir. Barangkali gerah, wartawan MNC TV pun berbalik menuntut Yanto ke meja hijau. Undang-undang yang akan dipakai pun tidak jauh-jauh dari UU ITE, terutama pasal pencemaran nama baik. Sebuah pasal yang sering jadi sorotan dan polemik karena dianggap sering menjegal kebebasan berpendapat.

Kejadian ini tentu disayangkan banyak pihak. Di satu sisi, terjaminnya kebebasan berpendapat menjadi sesuatu yang lagi-lagi dipertaruhkan. Apalagi dipanasi dengan pasal karet UU ITE yang memang sudah sering bermasalah dalam banyak kasus. Kedua, kasus ini pun menjadi ironi karena penuntut adalah dari kalangan wartawan sendiri. Wartawan adalah profesi mulia yang begitu jadi harapan bagi keterbukaan informasi di era reformasi. Barangkali karena alasan itu pulalah, seringkali wartawan menemui berbagai tantangan yang berbahaya. Risiko dipersekusi hingga dituntut ke meja hijau pun sering dihadapi wartawan, dan selalu dipelopori oleh pihak-pihak yang berkuasa dan merasa kekuasaannya terusik.

Tapi di sini justru kenyataannya berbeda. Wartawan justru mencoba menyeret seorang warga ke meja hijau lantaran berekspresi. Yanto pun menyatakan siap untuk berhadapan dengan hukum jika memang harus menempuhnya. Tapi satu hal yang pasti, kebebasan bereskpresi di Yogyakarta kini telah menjadi anomali.

Yogyakarta dengan segala dinamika komunitasnya memang memiliki banyak keistimewaan di sana-sini. Sudah semestinya kita sebagai warga gotong-royong menjaganya. Termasuk, menjaga kebebasan berekspresi.

Salah satu yang bisa kita lakukan adalah memilih pemimpin politik dengan kredibilitas yang terjamin. Seorang pemimpin yang juga menjamin kebebasan berekspresi, tidak anti kritik, dan justru memperjuangkan hak siapapun untuk mengemukakan pendapat.

Sosok seperti itu memang langka. Tapi bukan berarti tidak ada. Contohnya saja, di Yogyakarta, ada sosok seperti Bambang Soepijanto. Pria yang menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia ini sedang maju dalam pemilihan umum sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah Dapil DIY (DPD DIY). Sebelumnya, Bambang Soepijanto menjabat sebagai Dirjen Planologi dan Kehutanan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sebagai mantan dirjen di kementerian tersebut, Bambang Soepijanto sudah terbiasa membela keberlangsungan hutan dan lingkungan hidup. Semasa ia menjabat, beliau juga sangat dekat dengan kehidupan masyarakat kecil. Ia terbiasa mendengar aspirasi rakyar dan paham seluk-beluk kehidupan mereka. Dengan bekal tersebut, Bambang Soepijanto maju sebagai calon anggota DPD DIY.

Tidak main-main, Bambang Soepijanto mengusung dirinya sebagai DPDnya Wong Cilik. Ia tidak ingin menjadi pemimpin politik yang asyik dengan kehidupan elit dan lupa dengan kepentingan rakyat. Dengan slogan “ngayomi, ngayemi, ngayani”, Bambang Soepijanto siap menjadi wakil rakyat yang menjamin kebebasan berpendapat rakyatnya.

Ikuti tulisan menarik Hamzah Zhafiri Dicky lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB