x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tidak Enak Jadi Antek

Semakin sering kita menyelenggarakan pileg dan pilpres, semestinya kita semakin matang dalam praktik berpolitik. Namun tampaknya itu tidak terjadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Rasanya sudah sangat lama, bertahun-tahun jika bukan berpuluh tahun, saya tidak mendengar kata ‘antek’ dipakai di muka umum. Hingga tiba-tiba kata ini mencuat lagi, dan bahkan mulai populer kembali. Menariknya, popularitas ‘antek’ diangkat melalui pertarungan kata-kata di antara dua calon presiden.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (online),  antek dimaknai sebagai ‘orang (negara) yang diperalat atau dijadikan pengikut orang (negara) lain; kaki tangan; budak’. Antek asing berarti kaki tangan asing. Artinya, apa yang dilakukan orang yang disebut antek asing itu adalah berpihak kepada kepentingan asing dan memudahkan tangan-tangan asing masuk ke dalam negeri sendiri. Memang tidak enak mendapat julukan antek asing dengan konotasi pengertian seperti itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika ditilik baik-baik, di balik kata antek asing tersimpan isu nasionalisme, apakah itu politik ataupun ekonomi, maupun kepentingan nasional yang lain. Sayangnya, pertarungan kata tidak berlanjut hingga menukik ke kedalaman isu ini, yang bila dieksplorasi lebih jauh dapat mencuatkan diskusi yang intensif mengenai kedaulatan pangan, kemampuan untuk mandiri dalam energi, penguasaan sumber daya alam, hingga soal impor-ekspor.

Justru gengsilah yang akhirnya lebih menonjol sehingga masing-masing capres menuding siapa sebenarnya yang antek asing. Diskusi tidak jalan dan berhenti pada tuding dan bantah tentang propaganda dan penggunaan konsultan politik asing. Rakyat tidak diajak untuk memasuki wilayah wacana yang lebih tinggi dan eksploratif, melainkan membiarkan rakyat disuguhi dengan tuding dan bantah tadi.

Pemilihan legislatif dan pemilihan presiden berpotensi jadi ajang pendewasaan praktik demokrasi kita. Semakin sering kita menyelenggarakan pileg dan pilpres, semestinya kita semakin matang dalam praktik berpolitik. Namun tampaknya proses pendewasaan itu tidak berjalan linier ke depan dan mendaki, melainkan naik turun dan berkelok-kelok. Boleh jadi ini tidak lepas dari tingkat kematangan kepemimpinan kita di tataran elite yang belum optimal.

Banyak elite politik yang berpikir dalam bingkai sempit kekuasaan dan memandang pileg serta pilpres sebagai cara yang absah atau terlegitimasi oleh rakyat untuk berkuasa atau pun melanjutkan kekuasaan. Banyak elite yang sudah lama berkecimpung di dunia politik namun belum beranjak menjadi negarawan yang berpikir dalam bingkai yang lebih besar dan melampaui sekat-sekat kepentingan individu maupun partai politiknya.

Berjalin kelindannya kepentingan politik dan ekonomi para elite menjadikan istilah antek asing begitu sensitif. Ketika sensitivitas tersulut, pertarungan kata yang terjadi. Penggunaan jargon ini memang efektif dalam memancing reaksi kompetitor maupun menarik perhatian publik, namun rupanya telah membangkitkan reaksi yang membuat perdebatan mengenai isu-isu substansial mengenai relasi negara kita dan asing dalam berbagai bidang lantas tersingkirkan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu