x

Iklan

Nadila Karina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demokrat Memilih Cuti disaat Incumbent, Kenapa Jokowi Tidak?

Aturan cuti kampanye diatur lewat PKPU Nomor 23 Tahun 2018 yang kini diubah menjadi PKPU No.28 Tahun 2018

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun 2019 akan menjadi sejarah bagi Indonesia. Tepatnya 17 April mendatang. Pesta demokrasi digelar. Presiden, legislatif dan DPD serentak dilaksanakan. Indonesia akan punya eksekutif dan legislatif baru untuk lima tahun kedepan.  

Suhu politik begitu hangat terasa. Berbagai isu propaganda, fitnah dan berita bohong tak habis-habis bermunculan di lini akun media sosial saya.

Begitu juga media mainstream. Perang statement para politikus dan pengamat banyak dijadikan amunisi. Saling serang statement antar kubu. Ya, kubu Jokowi- Amin dan Kubu Prabowo-Sandiaga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sorotan kamera televisi ikut meramaikan tahun politik. Calon presiden masing-masing kubu ramai dibicarakan masyarakat. Terlebih calon petahana Joko Widodo.

Terbaru, masyarakat mempertanyakan status Jokowi  yang tidak mundur atau cuti dari jabatan Presiden sebagai petahana. Apa benar melanggar undang-undang?

Jika kita menengok kebelakang. Disaat Partai Demokrat (PD) berkuasa, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil cuti saat maju capres untuk kedua kalinya disaat bersanding dengan Budiono sebagai wakil Presiden.

Hal ini tentu dikembalikan pada aturan yang berlaku. Aturan cuti kampanye diatur lewat PKPU Nomor 23 Tahun 2018 yang kini diubah menjadi PKPU No.28 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Yang didalam aturan tersebut jelas diatur capres yang berasal dari petahana harus cuti.

Jika tidak, tentu  tindakan pelanggaran yang dilakukan Capres "incumbent" itu sudah termasuk unsur pidana. Dan ini tidak berlaku bagi Jokowi. Saya melihat disini KPU kurang tegas dalam menjalankan peraturan PKPU tersebut.

Di Tanah air sendiri, seingat saya sudah punya 3 pengalaman nasib incumbent.

Pertama, jalan megawati. incumbent kalah.

Kedua, jalan SBY. incumbent menang selesai di dua periode.

Ketiga, jalan Pak Harto. incumbent menang lalu dijatuhkan rakyat.

Kini, Jokowi mencoba mengikuti para senior politiknya untuk incumbent dengan menabrak perundang-undangan pemilu. Belum tahu apakah akan menang atau kalah di pemilu mendatang.

Capres incumbent tidak menjadi jaminan untuk memenangkan pemilu. Sebab, hasil suara kemenangan berada ditangan rakyat. Jika calon presidennya disukai rakyatnya, tentu akan dipilih. Jika capresnya sering berbohong tentu akan kalah mendapatkan simpati rakyatnya.

Seperti incumbent kepala daerah tentunya. Harus dekat dengan masyarakat jika ingin menang.

Sebagai politisi senior, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu mengingatkan para calon kepala daerah incumbent dari partainya jangan tinggi hati dan memandang remeh pesaing. Sebab politik itu sifatnya dinamis dan cepat berubah.

Presiden ke-6 RI itu juga menyampaikan kepada para kader terpilih untuk senantiasa melakukan pendekatan kepada rakyat. Menurutnya, rakyat lebih senang memilih calon pemimpin daerah jika menaruh kepedulian besar terhadap kesejahteraan ekonomi.

Capres petahana seharusnya memberikan pendidikan politik yang taat hukum kepada rakyatnya. Bukan malah sebaliknya. Negara akan lebih disegani apabila kepala negaranya konsisten dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saya melihat di era Jokowi perundang-undangan tidak ditaati.

Sehingga menimbulkan pertanyaan yang lebih kearah prasangka tidak baik. Apakah disengaja, maupun tidak. Yang pasti, rakyat hanya sebagai penonton dan penentu nasib bangsa untuk lima tahun kedepan. Semua tergantung dari pemimpinnya nasib bangsa ini. 

Ikuti tulisan menarik Nadila Karina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu