x

Iklan

Natasya Sitorus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jangan Minta Anak dengan HIV untuk Mengalah

Tidak pernah ada yang benar dalam diskriminasi. Anak dengan HIV sudah terlalu sering ditolak dan diminta untuk mengalah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Jadi Pak, karena kami HIV, kami ga boleh sekolah? Jadi kalo HIV itu ga bisa sekolah ya, Pak?” kata Puger Mulyono, koordinator rumah Yayasan Lentera Surakarta (YLS) menirukan seorang anak dampingannya. Pak Puger bercerita, bagaimana anak-anak yang tinggal bersamanya di sana sering merasa ditolak, tidak layak, dan tidak pantas karena status HIV mereka. Sejak 2013, sudah 21 kali YLS berpindah-pindah tempat, mengalami ancaman, penolakan, dan pengusiran karena menjadi tempat menampung anak dengan HIV. Pak Puger hanya bisa menjawab, “Ya, nanti bisa sekolah lagi, kalau sudah dapat sekolah yang baru.”

Bagi Pak Puger, diskriminasi dalam bentuk penolakan, pengusiran, dan hujatan sudah menjadi hal yang biasa dialami oleh anak-anak serta pengasuh di YLS. “Bukannya tidak ada upaya mengedukasi, tapi masyarakat memang susah sekali bisa menerima. Ditambah lagi, seakan tidak ada pembelaan dari negara.” Jumat, 8 Februari 2019, 14 anak asuhan YLS resmi tidak boleh lagi bersekolah di SD Negeri Purwotomo, Laweyan, Solo. Sebagian besar orangtua siswa merasa keberatan dengan keberadaan 14 anak HIV ini di sekolah tersebut.

Dalam kasus diskriminasi anak dengan HIV di lingkungan pendidikan, hal tersulit sebenarnya bukan untuk mencari sekolah yang baru, namun bagaimana memulihkan trauma yang dialami oleh anak, apalagi jika penolakan itu berulang. Anak akan merasa tidak pantas, tidak layak, serta memiliki konsep diri yang negatif. Namun di sebagian besar kasus diskriminasi di sekolah, anak dan keluarga hampir pasti diminta mengalah, memaklumi keadaan, serta pindah ke tempat lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pindah ke tempat lain atau ke sekolah yang baru juga bukanlah hal yang mudah. Anak harus melakukan penyesuaian kembali dengan lingkungan baru. Belum lagi jika kabar kepindahan anak disertai informasi bahwa pindah dari sekolah yang lama karena HIV. Diskiriminasi berulang sangat mungkin terjadi, seperti yang dialami oleh seorang anak laki-laki berusia 9 tahun yang didampingi oleh Lentera Anak Pelangi (LAP) di Jakarta. Kejadian di akhir 2013 lalu membekas dalam ingatan Nabil (bukan nama sebenarnya). Ia harus pindah sekolah tiga kali dalam waktu kurang dari 6 bulan karena status HIVnya diketahui orang tua siswa. Nabil akhirnya mengalami trauma dan ketakutan sehingga sempat menjalani terapi antidepresan selama 2 minggu, di samping terapi antiretroviral (ARV) yang harus ia dijalaninya setiap hari.

Berdasarkan pengalaman pendampingan LAP selama 10 tahun terakhir, tidak ada satupun anak di sekolah yang terinfeksi HIV dari teman sebangku atau sekelasnya. 99% anak dengan HIV terinfeksi dari orang tua mereka, dari ibu yang sebagian besar tidak mengetahui status HIVnya pada saat hamil. Pada dasarnya, kemungkinan penularan dari anak kepada anak lain atau orang dewasa sangat kecil. HIV hanya bisa menular melalui 4 cairan dalam tubuh manusia yaitu darah, cairan vagina, cairan mani, dan air susu ibu. Virus HIV juga hanya bisa menular melalui aktivitas yang memungkinkan cairan yang mengandung virus tersebut keluar dari tubuh orang dengan HIV dan segera masuk ke tubuh orang lain sesuai jalurnya. Dalam kontak sosial anak di sekolah, sangat kecil kemungkinan terjadinya penularan HIV ini.

Tidak ada yang benar dalam isu diksriminasi. Pemakluman dan diminta mengalah karena status HIV jelas-jelas melanggar hak seseorang, termasuk anak dengan HIV. Tak pernah ada benarnya meredam gejolak dengan cara merampas hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Adanya Undang Undang Perlindungan Anak, juga Undang Undang Pendidikan Nasional, seperti tumpul, tidak sepenuhnya menjamin perlindungan serta pemenuhan hak anak. Tidak adanya sanksi tegas terhadap pelaku diskriminasi membiarkan diskriminasi ini semakin subur di masyarakat.

“Setelah mendapat penjelasan dari dokter, tingkat waswas kami tidak berkurang. Justru semakin meningkat. Ini yang kami alami setiap hari saat anak-anak bersekolah. Kami tidak ada maksud diskriminasi. Tapi kami sayang sama masa depan anak-anak kami,” ungkap salah satu orang tua siswa, seperti yang dikutip dari Radar Solo, 1 Februari 2019 lalu. Pendapat orang tua siswa seperti ini yang seakan menjadi alasan pihak sekolah untuk tidak mempertahankan anak dengan HIV untuk bisa tetap bersekolah di sana.

Berapa lama lagi anak-anak ini harus mengalah? Sudah waktunya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pendidikan menyikapi kasus diskriminasi yang terus terjadi pada anak HIV di sekolah secara serius. Sanksi tegas seperti teguran terhadap sekolah hingga pada mempertimbangkan kembali status akreditasi sekolah rasanya layak dicoba. Status sekolah ramah anak yang menjadi salah satu indikator kota atau kabupaten layak anak seharusnya juga menjamin bahwa tidak ada satupun anak yang mengalami diskriminasi atas alasan apapun di lingkungan sekolah.

Pembiaran, pemakluman, serta upaya meredam gejolak ini hanya melemahkan perlindungan serta pemenuhan hak anak dengan HIV.  Jangan minta anak dengan HIV untuk bersekolah di sekolah khusus atau menempuh jalur homeschooling karena anak dengan HIV tidak membutuhkan hal tersebut. Mereka butuh diterima di masyarakat sebagaimana layaknya anak Indonesia yang lain. Mereka bukan makhluk menyeramkan dengan virus mematikan dalam tubuh mereka yang bisa kapan saja menularkan HIV kepada semua orang termasuk teman sebangku dan sekelasnya. Anak dengan HIV adalah anak-anak yang di dalam darahnya terdapat virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh mereka. Dengan mengikuti terapi ARV secara teratur, mendapatkan asupan gizi yang cukup, serta memperoleh kesempatan yang sama dengan anak yang lain, anak dengan HIV bisa tumbuh sehat, dan bukan tak mungkin menjadi seorang pemimpin di kemudian hari.

Semoga suatu hari nanti, tak lama lagi, anak-anak HIV termasuk anak-anak di YLS tak perlu lagi bertanya kenapa mereka tak boleh pergi ke sekolah. Semoga tak ada lagi orang yang bertanya kepada anak-anak ini kenapa mereka di rumah dan bukannya bersekolah. Semoga suatu hari nanti, semua anak dengan HIV, juga semua anak Indonesia benar-benar terjamin haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

 

Ikuti tulisan menarik Natasya Sitorus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu