x

Iklan

Egy Massadiah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Begini Cara Letjen Doni Menghitung Laba Sawit Riau

Begini Cara Letjen Doni Menghitung Laba Sawit yang Sepatutnya Mensejahterakan Rakyat Riau

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Catatan Egy Massadiah

Cobalah melontarkan topik tentang bencana, penanaman pohon, sungai tercemar, kebakaran hutan atau laba kebun sawit ke Letjen Doni Monardo. Dengan fasih mantan Komandan Paspampres yang kini menjabat Kepala BNPB ini akan membagi ilmunya yang terbilang ngelotok di bidang tersebut.

Dua hari berada di Bumi Lancang Kuning Provinsi Riau awal Maret 2019 lalu, baik saat rapat kerja, kunjungan ke lahan terbakar maupun ketika silaturahim dengan tokoh masyarakat Doni tak henti hentinya menggaungkan mari menjaga alam dan alam akan menjaga kita

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat sarapan pagi, melenting obrolan aneka topik lingkungan. Salah satunya tentang alih fungsi lahan. Pulau Jawa dengan penduduk 150 juta jiwa sekarang ini berada pada kondisi yang tergolong "sangat sempit". Menurut Doni, mungkin pulau Jawa adalah salah satu pulau terpadat di dunia.

Lahan konservasi, hutan lindung, hutan produksi berubah menjadi perkebunan, sayuran, sawit, kentang, wortel, bawang dll. "Dulu kita jarang makan kentang, tapi karena sekarang banyak restoran fastfood yang menunya kentang, akhirnya kita pun latah makan kentang. Padahal dulu kita makannya singkong, ubi," ungkap pria berdarah Batusangkar Sumatera Barat ini.

Makanan Lokal dan Tambang

Mengapa ini terjadi? Kenapa kita mengalami sebuah perubahan? Apakah kita kurang menghargai makanan lokalkah? "Akibatnya banyak kawasan hutan berubah menjadi lahan pertanian semusim. Demikian juga tambang," ujar Doni dengan nada prihatin.

Di sektor pertambangan, Doni mencontohkan tragedi longsor awal Maret 2019 di Bolaang Mangondow Sulawesi Utara. Kecelakaan itu mengakibatkan belasan orang tertimbun, bahkan mungkin lebih dari 20 orang belum ditemukan.

"Yang paling banyak kerugian terjadi pada periode 2001-2015 di Gunung Botak, Pulau Buru Maluku. Korbannya mencapai lebih dari tiga ribu jiwa. Ada yang karena tertimbun, berkelahi saling bunuh. Tambang menimbulkan malapetaka pada masyarakat yang semestinya bisa memberi kesejahteraan," tambah lulusan Akabri 1985 ini.

Sawit Sepatutnya Mensejahterakan

Terkait perambahan hutan dan kebakaran lahan sebagai mana data Pemprov Riau: luas kebun sawit 2,8 juta ha, HTI 1,6 juta ha. Artinya ada 4,4 juta ha lahan perkebunan di daerah Riau.

"Sekarang saya tanya, 1 ha sawit kira kira menghasilkan berapa US Dolar setahun? Katakanlah misalnya 3000 US Dolar atau sekitar Rp 42 juta. Berarti kalau 4,4 juta ha x 3000 US Dolar, pendapatan seluruh perusahaan sawit yang ada di Riau ini mencapai lebih dari 12 miliar US Dolar sama dengan atau lebih besar dari anggaran pemerintah untuk sektor pertahanan yang jumlahnya Rp110 triliun. Jadi seluruh perusahaan yang berada di Riau bisa meraup 12 miliar US Dolar. Itu setara dengan Rp150 triliun. Hebat. Masyarakat Riau luar biasa karena telah memberikan dampak ekonomi yang besar bagi bangsa dan negara republik Indonesia," ungkap Doni secara detail.

Namun paparan itu menyisakan pertanyaan sunyi, seberapa banyak uang penghasilan sawit tersebut berdampak pada kesejahteraan rakyat Riau? Kepada infrastruktur Riau? Kepada penghijauan Bumi Lancang Kuning?

Apakah kita selamanya akan tergantung dari sawit, dimana sebagian besar pembukaan lahannya dilakukan dengan cara membakar? Data menunjukkan ada banyak jenis tanaman yang bisa tumbuh di Riau dan memiliki daya saing kuat di kancah perekonomian dunia.

VOC, Cengkeh dan Pala

Doni mengingatkan pelajaran sejarah saat masih di Sekolah Dasar dan SMP. Belanda dan VOC datang ke bumi nusantara karena adanya rempah rempah.

Cengkeh, pala dan aneka komoditas asli Indonesia menjadi magnit bisnis besar VOC ketika itu.

"Sepatutnya kampus dan akademisi segera bergerak cepat. Riau ini subur. Sawit saja bisa tumbuh apalagi tanaman lainnya yang nilai keekonomiannya juga hebat, " kata Doni seraya menginfokan bahwa di daerah Meranti sejumlah pengusaha sudah menanam sagu dan hasilnya berupa mie, bihun, aneka kue, serta produk turunannya.

Doni bermimpi suatu hari kelak produk sagu Riau bisa menguasai pasar pangan dunia dengan olahan olahan berkualitas. "Tidak banyak negara yang menghasilkan sagu. Memang yang terbesar di Papua, 5,5 juta hektar. Riau mungkin terbesar ketiga setelah Maluku. Ini kan potensi. Sehingga ke depan kita harapkan para pimpinan di Riau bisa mendorong agar tidak hanya tergantung dari sawit," ujarnya bersemangat.

Selain itu pinang dan kopi layak untuk ditanam di Riau, karena memiliki nilai keekonomian yang baik dan stabil. "Ternyata Indonesia masih mengimpor kopi. Setiap tahun mencapai 300-600 ribu ton kopi robusta. Saya pikir dengan lahan yang ada, ini bisa dikombinasi. Tanaman kopi tidak akan menimbulkan masalah terhadap lingkungan," papar Doni seraya menambahkan bahwa negara Cina dan India sangat membutuhkan pinang.

Pemadaman Karhutla Mahal

Data Worldbank menunjukkan kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan pada di Indonesia 2015 mencapai 16,1 miliar US Dolar. Angka ini lebih tinggi dua kali lipat dibanding kerugian ekonomi tsunami di Aceh 2004.

"Bukan hanya kerugian ekonomi tapi juga masalah sosial, penyakit, dsb terjadi. Kalau kita tidak siap sekarang, kemungkinan terjadi gagal panen di banyak daerah. Juga gagal panen di negara lain. Anggaplah pemerintah kita nanti punya uang, tapi belum tentu bisa mendapatkan kebutuhan pangan bagi rakyat. Karena di negara lain pun mungkin saja terjadi gagal panen, wabah penyakit, dan juga kebakaran. Hal ini yang harus kita antisipasi," kata Doni sambil menikmati sarapan paginya.

Limbah di Sungai

Doni pun blak-blakan menyampaikan bahwa hampir semua sungai sungai besar di Provinsi Riau, tercemar logam berat. Termasuk mengandung bakteri coliform.

Doni juga menyoroti penggunaan plastik yang berlebihan. Sebagaimana dilansir sebuah berita, ikan paus banyak yang terdampar di Indonesia. Mati. Dan ketika dibelah perutnya, terdapat timbunan potongan sampah plastik. Padahal ikan paus ini muntahannya - muntahnya saja - harganya puluhan bahkan ratusan juta rupiah per kg untuk bahan pembuatan parfum.

Begitulah Doni, tak pernah kering jika berdiskusi tentang merawat alam. Selalu menyala dan berapi api. Beberapa saat sebelum mendarat di Bengkalis, di atas helikopter yang mengangkutnya bersama rombongan, Doni mencorat coret sebait pantun yang kemudian ia bacakan di depan warga dan kepala desa sebagai mana tradisi luhur berpantun masyarakat Melayu.

Ini pantun versi Doni Monardo:

Bertandang ke Bengkalis sambil makan buah manggis

Banyak asap bikin mata nyaris menangis

Mari kita jaga hutan Bengkalis agar tetap rimbun dan harmonis

 

Egy Massadiah

Magister Komunikasi Paramadina University dan aktivis teater

Ikuti tulisan menarik Egy Massadiah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

5 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB