x

Angka Golput Diperkirakan Naik

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Golput sebagai Kritik

Golput dapat dipandang sebagai kritik terhadap sistem politik yang berjalan, perilaku para politisinya, serta figur-figur capres-cawapres.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Semakin mendekati 17 April, semakin sering didengungkan ‘ayo, jangan golput!’, ‘ayo datang ke TPS!’. Menko Polhukam Wiranto bahkan sempat berwacana untuk memakai UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme jika ada orang mengajak golput, sebab orang itu dianggap mengacau. Jika tidak bisa pakai UU Antiterorisme ini, kata Wiranto, masih ada UU ITE. Sementara, Cawapres Ma’ruf Amien mengatakan bahwa golput itu haram.

Golput (golongan putih) alias orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih walaupun memilikinya memang merisaukan sejak dulu kala. Di masa Orde Baru, golput dianggap sebagai anomali yang harus diberantas. Hanya sedikit orang yang terang-terangan menyatakan tidak akan memakai hak pilihnya. Bagi penguasa masa itu, golput berarti ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang berlaku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bayang-bayang golput dalam pilpres dan pileg tahun ini barangkali dapat dilihat dari hasil-hasil survei, di mana banyak orang masih belum punya pilihan. Lazimnya, mereka disebut swing voters, tapi boleh jadi ketika hari pemilihan tiba, mereka jadi golputer. Entahlah. Yang jelas, dalam dua pilpres terakhir jumlah pemegang hak pilih yang tidak menggunakan haknya meningkat dari 27,9% (lebih dari 49 juta) pada pilpres 2009 menjadi 29,09% (lebih dari 55 juta) pada 2014—sebuah persentase yang besar.

Kekhawatiran bahwa jumlah golputer akan bertambah dapat dimaklumi mengingat setidaknya dua hal. Pertama, peningkatan golput akan memberi kesan bahwa penyelenggaraan pilpres dan pileg ini kurang dipercayai oleh rakyat sebagai sarana demokrasi. Kedua, mereka yang terpilih akan dianggap kurang mendapat legitimasi dari rakyat, karena sepertiganya tidak memakai hak pilihnya. Walaupun, boleh jadi, yang nanti terpilih tidak akan mempedulikan soal ini.

Apa yang tidak didiskusikan dalam wacana tentang golput ini ialah mengapa golput kian meningkat di era sekarang? Apakah kesadaran politik warga semakin meningkat ataukah warga tidak begitu peduli sebab merasa suara mereka tidak akan memengaruhi keadaan, siapapun yang terpilih nanti? Ataukah karena sosok-sosok yang terjun dalam kontestasi politik pilpres tidak memenuhi ekspektasi mereka tentang pemimpin Indonesia lima tahun ke depan?

Sayangnya, survei tentang alasan-alasan di balik pilihan golput belum cukup tersedia. Walau begitu, golput dapat dipandang sebagai kritik terhadap sistem politik yang berjalan, perilaku para politisinya, serta figur-figur capres-cawapres yang mungkin dianggap belum atau tidak mewakili ekspektasi mereka. Sistem politik ini terkait dengan aturan pencalonan presiden yang mempersempit peluang munculnya capres-cawapres lebih dari dua pasang, apa lagi capres dari non-partai politik.

Dominasi partai dan elitenya terhadap sistem politik juga menimbulkan kekecewaan, sebab rakyat ditempatkan sebagai penonton dan pesorak-sorai, bukan partisipan aktif dalam proses-proses politik. Menurunkan tingkat golput tidak cukup hanya dengan imbauan, ajakan, dan ancaman sanksi, tapi yang lebih mendasar dari itu ialah memperbaiki sistem dan proses-proses politik yang berjalan selama ini. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler