x

Massa pendukung Prabowo-Hatta mulai memadati kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta (21/8). Aksi massa untuk menunggu hasil keputusan MK terkait Pilpres 2014. TEMPO/Subekti.

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berebut Baju Putih: Biarlah Rakyat Nyaman Memilih

Ajakan berbaju putih dan memutihkan TPS akan membuat hari pemungutan suara terasa tidak nyaman.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ajakan berbaju putih saat datang ke TPS makin menaikkan suhu politik yang sudah hangat menjelang hari-H Pilpres. Tanggal 1 Maret, Al Khaththath, Sekjen Forum Umat Islam (FUI) yang mendukung capres Prabowo, menyerukan agar simpatisan FUI datang ke TPS 17 April nanti dengan berbaju putih. “Duduk-duduk saja, kita jaga TPS, kita putihkan TPS,” ujar Al Khaththath. Tanggal 25 Maret, capres Joko Widodo mengajak pendukungnya untuk mengenakan baju putih saat mencoblos. “Kita ke TPS pakai baju putih, karena yang akan dicoblos bajunya putih, karena kita adalah putih, putih adalah kita,” ujarnya, seperti dikutip media, saat berpidato di Lapangan Bukit Gelanggang, Kota Dumai, Riau.

Begitulah, baju putih jadi rebutan dua kubu capres karena diasosiasikan dengan kejujuran dan kebersihan. Kedua kubu sama-sama mengklaim sebagai ‘pemilik’ yang sah baju putih, saling menganggap yang sebelah nyontek gagasan. Jadilah warna baju kental beraroma politik, sebagai identitas, sebagai pembeda, sebagai penanda. Pertanyaannya: apakah ini ide yang bagus?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk menjawab pertanyaan ini, bayangkanlah Anda datang ke lokasi TPS nanti dengan memakai baju apapun, asalkan bukan warna putih. Begitu melihat banyak orang memakai baju putih, Anda mungkin terkejut, “Waduh kok orang-orang pada pakai baju putih? Apa memang harus pakai seragam?”

Anda mungkin merasa bahwa mata orang-orang berbaju putih itu memandangi Anda, dari ujung kaki hingga ujung kepala, terus balik lagi ke bawah. Pandangan ini membuat Anda merasa jengah dan tidak nyaman sembari bertanya-tanya: “Lho, apa harus pakai baju putih ya kalau mencoblos? Apakah saya tidak boleh pakai kemeja merah?”

Tatapan aneh orang-orang berbaju putih (atau berseragam warna lain apapun) berpotensi membuat suasana pencoblosan akan terasa tidak nyaman dan menegangkan. Mengapa? Karena seragam baju putih atau warna apapun atau simbol apapun yang menjadi penanda pendukung capres 01 atau 02 akan membuat warga lainnya merasa tidak nyaman. Pemakaian warna baju yang sama berpotensi menciptakan garis virtual yang memisahkan pemilih menjadi ‘kami atau kita’ dan ‘mereka’. Tercipta garis pemisah: Pemakai warna yang sama adalah bagian dari kita, pemakai warna yang lain adalah bagian dari mereka.

Pemakaian warna baju yang sama dapat menjadi petunjuk bahwa si anu ternyata memilih capres ini, si ani ternyata sama pilihannya dengan kita. Dengan cara seperti ini, rakyat diminta menunjukkan pilihannya sebelum menancapkan paku ke kertas bergambar pasangan capres-cawapres, bahkan sebelum pemilih memasuki bilik suara. Bukankah ini dapat menodai prinsip kerahasiaan dalam pemilihan yang demokratis?

Membawa alat peraga kampanye ke TPS tidak diperbolehkan, tapi yang mungkin luput dari antisipasi KPU dan Baswalu adalah warna baju dapat menjadi instrumen politik karena asosiasi identitasnya dengan capres tertentu. Bagaimana jika kedua kubu sama-sama memakai baju putih? Sama saja, keseragaman membuat suasana pemungutan suara tidak nyaman, memantik ketegangan, dan memicu saling curiga.

Tidak ada aturan yang melarang bukan berarti bebas melakukan apapun. Para elite politik hendaknya membuat keputusan dan ajakan yang bijak untuk rakyat dan untuk kematangan demokrasi kita. Sebagai pemimpin masyarakat, para elite hendaknya bertindak arif.

Hari pemungutan suara bukan lagi masa kampanye. Biarlah rakyat mengenakan warna baju apapun yang mereka sukai agar suasana pemungutan suara diwarnai kegembiraan dan bukan ketegangan, diwarnai persaudaraan walau berbeda pilihan. Warna-warni pakaian akan membuat suasana pemungutan suara jadi semarak, jauh lebih menyenangkan ketimbang diseragamkan. Jadikanlah pemungutan suara pesta demokrasi yang sebenarnya. Biarlah rakyat menentukan pilihan dengan nyaman, tenang, dan damai. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu